Kamis, 23 Juni 2011

Anjing Menyelamatkan Nyawaku


                                  
           ANJING itu sejak kecil suka berada di kebun kami. Ayah sebenarnya sudah beberapa kali mengusir anjing itu, namun entah mengapa , ia kembali lagi ke kebun. Warnanya kehitam-hitaman dengan  sedikit kecoklatan di bagian belakang. Dia sering berada di kebun mengincar tikus  yang memang banyak di situ.
            Aku kurang  begitu suka dengan anjing itu. Berulangkali, aku pun pernah mengusir dan melempar anjing agar segera meninggalkan kebun. Tetapi ia datang lagi. Akhirnya kami mengalah,
            “Biar sajalah dia berada di kebun, asal tidak menganggu kita saja,” ujar ibuku ketika aku kesal dengan anjing yang tidak mau pergi.
            “Aku gila melihat anjing itu, “ kataku.
            “Ya sudah, jangan kamu lihat saja. Biarkan,”
            Aku pun tidak pernah menghiraukan anjing itu lagi. Namun sesekali kami kerap  terganggu bila malam hari mengonggong dengan suara yang cukup keras, mungkin ada sesuatu yang membuat dia mengeluarkan suara.  Tetapi lama kelamaan, kami sudah terbiasa lagi.
            Meskipun aku tidak suka dengan anjing itu, namun setiap pagi sudah menjadi kebiasaan  memberi makanan seadanya. Bahkan ketika aku berada di kebun untuk bermain, dia selalu menemaniku. Terkadang, ketika aku bermain ke rumah teman yang cukup jauh jaraknya, ia suka mengikuti dari belakang.
            Lama kelamaan aku menjadi suka kepada anjing yang kuberi nama si hitam, sesuai dengan warna kulitnya yang hitam. Walau begitu aku tetap menjaga jarak dengan si hitam, terutama agar mulutnya tidak kena dengan badanku. Sebab kalau terkena dengan jilatan anjing, maka aku harus membersihkan dengan 7 kali menggunakan tanah dan 1 kali dengan air, itulah ajaran Islam. Oleh karena itu, aku agak hati-hati dengan anjing.
            Di kebun, aku menyediakan kandang untuk anjing itu agar tidak kehujanan dan kedinginan di malam hari. Kandang kubuat dengan sederhana dari kayu yang ada di kebun. Aku tidak pernah mengunci, kandang itu dibiarkan terbuka, khawatir kalau ada apa-apa, dia bisa segera keluar.
            Untung juga kami memiliki anjing, setidaknya kebun bisa dijaga terhadap gangguan orang-orang yang berniat jahat. Apalagi di kebun kami yang luas, banyak sekali tanaman dan pohon yang tumbuh. Selain tanaman pisang, kami juga menanam berbagai jenis sayuran atau buah-buahan.
            Si Hitam selalu mengawasi keadaan kebun kami dari gangguan orang yang akan mencuri., khawatir kalau ada apa-apa, dia bisa segera keluar.
            Untung juga kami memiliki anjing, setidaknya kebun bisa dijaga terhadap gangguan orang-orang yang berniat jahat. Apalagi di kebun kami yang luas, banyak sekali tanaman dan pohon yang tumbuh. Selain tanaman pisang, kami juga menanam berbagai jenis sayuran atau buah-buahan.
            Si Hitam selalu mengawasi keadaan kebun kami dari gangguan orang yang akan mencuri. Pernah suatu  hari ada beberapa anak nakal yang akan mencuri jambu yang sudah berbuah. Mereka mengendap-endap di sudut kebun untuk mencuri jambu air. Mereka tidak menyadari kalau si Hitam tengah mengawasi dari kejauhan.
            Ketika dua orang sudah naik ke atas pohon jambu dan dua orang lagi menunggu di bawah untuk mengawasi , saat itulah si Hitam berlari sambil mengeluarkan gonggongan. Sudah barang tentu keempat anak itu tegang dan ketakutan, dua orang yang sedang menunggu, langsung berlari tunggang langgang kocar-kacir. Namun dua orang lagi yang sudah diatas pohon, langsung saja menangis ketika anjing terus menggonggong akan memburu mereka.
            Kebetulan saat itu aku baru saja pulang dari sekolah. Aku bergegas ke kebun. Kulihat si Hitam tengah berusaha naik ke pohon, meski berkali-kali jatuh lagi. Kulihat dua anak yang ada di pohon wajahnya pucat pasi dan badannya bergetar.
            “Hitam…sudah kamu ke sana!” bentakku. Si Hitam sangat penurut, ketika aku membentak dia berhenti mengeluarkan suara dan langsung pergi menjauh.
            “Hai kamu sedang apa di atas pohon hah?” bentakku dengan suara keras. Aku sudah tahu, kalau mereka akan mencuri jambu.
            “Maaf…maaf aku hanya bermain di pohon ini!” ujar anak yang kepalanya gundul dan gemuk.
            “Kalian turun cepat!” kataku. Mereka bergegas  turun. Sepintas aku sering melihat mereka adalah anak-anak dari desa lain yang suka membuat onar dan seringkali mencuri barang milik orang lain.
            “Jangan coba-coba mencuri di kebun ini, nanti kamu akan digigit anjing yang galak. Dan aku ingatkan, perbuatan kalian itu sama sekali tidak akan menguntungkan kalian. Justru kalian akan menjadi penjahat kalau sudah membiasakan mencuri sejak kecil. Kenapa kalian tidak minta saja? “
            “Maaf…maaf kami lupa!” ujar keduanya hampir berbarengan.
            “Sudah sekarang kalian pulang,” kataku.
            Mereka pun segela membalikkan badan dan berjalan cepat karena merasa malu akan mencuri jambu air.
            Memang ada untungnya juga memiliki si Hitam bisa membantu menjaga kebun. Itu sebabnya, kami semakin memperhatikan dan menyayangi anjing itu. Kendati sebagai hewan yang tidak memiliki akal, namun ternyata binatang juga merasakan adanya perhatian besar dari majikan.  Tidak heran, kalau si Hitam sangat patuh dan penurut, serta selalu menjaga keadaan rumah kami. Kalau ada orang asing atau yang baru dikenal, ia tidak segan-segan menggonggong dengan suara khasnya.
            Tetapi suatu ketika kami tidak menyangka kalau akan mengalami suatu kejadian yang sangat mendebarkan jantung, yaitu ada perampok yang datang ke rumah kami pada malam hari.
            Tidak kurang 5 orang perampok itu  berniat untuk menguras kekayaan kami. Entah tahu darimana  kalau pada saat itu bapakku baru saja mengambil uang dari bank setelah sawahnya ada yang membeli.
            Aku agak was-was juga tatkala di malam hari terdengar di belakang rumah ada orang yang sedang berbincang-bicang. Aku terbangun sebab samar-samar terdengar si hitam menggonggong, namun tidak lama ia diam seketika. Aku kaget, tidak seperti biasanya si Hitam begitu. Jangan-jangan ada yang sengaja menyakitinya. Aku curiga.
            Di kebun aku mendengar suara orang yang sedang berjalan kaki menuju rumah. Aku bergegas bangun, sebab perasaanku lain. Aku takut ada apa-apa. Aku bergegas membangunkan bapak dan ibu yang tengah tertidur. Tentu saja mereka kaget ketika aku bangunkan,
“Ada apa? Malam-malam begini kamu membangunkan?” tanyanya.
“Pak dengar di kebun seperti ada orang. Sejak tadi aku dengarkan dan si Hitam tidak terdengar menggonggong!” kataku dengan suara pelan. Ibu terlihat kaget.
“Siapa mereka?”
“Kita harus waspada Pak!”
Kami bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
Ayah dan ibu terdiam dan terlihat bingung.
“Apakah mereka akan berniat jahat kepada kita?”
“Siapa tahu…soalnya malam-malam begini mereka berada di kebun!”
Kami pun lebih hati-hati dan waspada, apalagi samar-samar kami mendengar mereka membongkar pintu belakang.
“Wah, gawat kalau begitu!”   ujar ayah yang nampak terlihat wajahnya pucat, demikian pula dengan ibu.
“Aneh mengapa si Hitam diam saja dan tidak mengeluarkan suaranya?” kataku.
“Jangan-jangan mereka telah membunuh atau mengikat si Hitam sehingga tidak berdaya,” ujar Ibu dengan suara ditekan.
Di belakang rumah, kami mendengar suara benda yang dipukul beberapa kali.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku dengan suara bergetar, ketakutan.
“Kita harus segera menyelamatkan diri dari sini. Sekarang ambil perhiasan dan uang yang di simpan di lemari,”  ujar ibu seraya bergegas menuju lemari dan menyimpan uang serta perhiasan di kantong.
“Cepat kita keluar dari rumah ini….sebelum mereka masuk,” kata ayahku dengan nada suara ketakutan.
Kami pun bersiap-siap untuk bisa ke luar dari rumah ini. Pintu yang menuju ke ruangan tengah, kami kunci dan kami akan keluar dari arah pintu depan yang langsung menuju ke halaman rumah.
Kami mengenda-endap dan langkah kaki kami pelan, khawatir mereka mengetahui keberadaan kami. Kunci pintu oleh ayah dibuka dengan pelan.
“Bagaimana kalau mereka ada diluar?” tanyaku.
“Kita lihat dulu saja?”
Tidak ada siapapun di halaman rumah. Suasana sangat sepi karena tengah malam, semua sedang tertidur pulas.
Ketika kami sudah membuka pintu, ayah dan ibuku pelan-pelan keluar rumah. Namun rupanya salah seorang perampok mengetahui keberadaan kami, sehingga mereka berteriak,
“Wah, mereka kabur?” ujar salah seorang diantara mereka.
Mendengar suara itu, kami segera berlari sambil berteriak “Ada rampok….rampok….rampok”  suara ayah dan ibuku terdengar keras, yang tentu saja mengagetkan warga yang ada di sekitar tempat itu.
Sambil berlari kencang, ayah dan ibu terus berteriak-teriak. Warga desa segera terbangun dan seketika langsung keluar rumah seraya  masing-masing membawa senjata tajam.
Sementara itu aku ketinggalan di halaman rumah. Kulihat seorang perampok berlari mendekatiku  dan segera memegang tanganku.  Aku berusaha untuk lepas dari cengkeramannya, tetapi dia semakin keras pegangannya.
“Lepaskan aku!” teriakku.
“Diam kamu, “ bentaknya seraya menampar mukaku.
“Aduh,” aku kesakitan sebab tamparan itu cukup keras di wajahku.
Sementara itu warga desa sekeketika telah mengepung rumahku. Mereka tahu kalau perampok masih ada di dalam.
“Ayo kita bunuh saja perampok itu…tangkap! Habisi saja” teriakan penduduk terdengar di sana sini. Suasana menjadi ramai dan beberapa orang mengacung-acungkan senjata tajam.
 Perampok itu menjadikan aku sebagai sandera. Tanganku diikat dengan tali plastik.
“Awas siapa yang berani mendekat, maka anak ini akan dibunuh!” teriak seorang perampok ketika melihat beberapa warga mendekati mereka.
Tentu saja mendengar ancaman itu, mereka tidak berani mendekati.
“Semua mundur, tidak ada yang coba-coba mendekati!” teriak mereka.
Warga desa terpaksa menuruti keinginan perampok, sebab mereka takut kalau saja mereka nekat membunuh. Suasana menjadi tegang, tatkala warga desa semakin banyak yang berdatangan untuk mengepung perampok.
“Wah kalau begini, risikonya berbahaya,kita lebih baik menunggu saja apa yang akan dilakukan  mereka!” ujar warga.
“Apa yang harus kita lakukan?” ujar warga yang lain.
“Tenang saja, kita kepung mereka, sebab  mereka akan ketakutan  melihat jumlah kita yang lebih besar,” kata yang lain.
Aku dalam posisi terjepit dan tidak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah dan takut kalau-kalau mereka nekat membunuhku.
Kepalaku dipegang dengan kuat, sehingga membuat aku kesakitan. Pisau tajam berada dekat leher, sehingga  jantungku berdebar-debar. Nyawaku berada di tangan perampok.
Tengah malam itu suasana desa menjadi ramai. Lima orang perampok itu berusaha untuk bisa melarikan diri dengan mengancamku. Warga desa pun tidak bisa berbuat banyak; khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Awas jangan sekali-kali ada yang mendekat ke sini, anak ini bisa mati !” teriak perampok dengan suara keras dan terdengar oleh seluruh warga.
Mereka menyeretku ke belakang rumah dan berusaha melarikan diri melalui jalan belakang. Aku hampir kehabisan napas, sebab mereka menggusur dengan memegang leherku.
Aku terus dibawa ke kebun dan melewati kandang si Hitam. Rupanya si Hitam melihat keadaanku yang diseret perampok, seketika mendadak ia menggonggong keras dan kulihat ia keluar kandang seraya mengejar perampok yang menyeretku.
Si Hitam langsung menggigit tangan perampok yang memegang leherku. Ia nampak kaget dan meringis ketakutan, apalagi gigitannya tidak dilepaskan. Sementara 4 orang perampok, segera berlarian dan berpencar.
Warga desa yang melihat mereka lari, segera saja berteriak :”Kejar terus….mereka melarikan diri…!”  beberapa pemuda yang mempunyai keberanian langsung mengejar para penjahat itu.
Anjing itu tak henti terus menggigit perampok, sehingga aku bisa terlepas. Segera saja aku berlari ke depan. Beberapa warga yang ada di situ, segera memburu perampok yang sedang digigit anjing. Tanpa berpikir panjang,   mereka langsung memukul  dan menendang perampok secara bertubi-tubi.
Si Hitam segera mendekatiku, ketika kulihat aku selamat. Ia mengeluarkan suara seolah gembira kalau aku tidak terkena luka yang berbahaya.
Berkat kecepatan warga desa memburu para perampok, akhirnya kelima penjahat itu dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa ditangkap. Mereka digiring ke pos desa dalam keadaan babak belur  dan wajahnya lembab bekas pukulan bertubi-tubi warga desa. Bahkan dua orang perampok jatuh pingsan karena mendapat pukulan yang keras di ulu hati. Darah mengucur di kepalanya.
Ketika ayah dan ibuku melihatku dalam keadaan selamat, wajah mereka nampak diliputi kegembiraan. Aku dipeluk dan dicium; karena mereka bahagia aku bisa selamat.
“Ibu khawatir kamu disakiti perampok…untunglah kamu tidak apa-apa!” kata ibu.
“Si Hitam Bu yang menolongku!” kataku seraya mengelus-elus  punggung si Hitam.
Aku bangga dan bahagia memiliki anjing yang ternyata bisa menyelamatkan nyawaku.*** Tamat
                                                                        Selasa, 13 Mei 2008


  
 
           
           
           
                         
           
           
              

Aku Anak Pemulung Sampah

          ENTAH sejak kapan aku selalu mengikuti bapak di gerobak sampah yang selalu dibawanya setiap hari. Aku sendiri tidak tahu, mengapa ayahku menjadi pemulung sampah, apakah tidak ada pekerjaan lain? Namun aku sering sedih bila ayah mengeluh karena tidak memperoleh uang, sementara  kebutuhan makan tidak bisa ditunda.
            Ibuku setiap hari membantu ayah membereskan kardus dan koran bekas, termasuk botol bekas dan plastik air minum  yang dikumpulkan. Biasanya seminggu dua kali barang-barang bekas itu dijual dengan harga yang cukup lumayan untuk kebutuhan kami sehari-hari. Namun itu pun kalau sampah yang kami peroleh cukup banyak.
            Usiaku sudah menginjak sekolah, berkali-kali aku meminta kepada ayah agar di sekolahkan, tetapi ayah selalu berlasan tidak mempunyai biaya. Aku kecewa karena keinginanku tidak kesampaian.  Di waktu-waktu senggang berada di bawah jembatan setelah kembali berkeliling mencari sampah, aku sering belajar mambaca buku yang dibimbing ibu.
            Lama kelamaan aku sudah bisa membaca berkat bimbingan ibu yang hampir setiap hari mengajari cara membaca. Ayah dan ibusering mengumpulkan buku-buku bekas yang diperoleh di tempat-tempat sampah. Mereka menyimpan baik-baik setiap buku yang didapat di tempat sampah atau terkadang saling tukar dengan sesama pemulung.
            Kami tidak mempunyai rumah tetap. Kami berpindah-pindah dari satu tempat yang lain. Sekarang sudah lebih satu tahun kami tinggal di kolong jembatan bersama pemulung lain. Ayah membuat tempat tidur yang sangat sederhana terbuat dari kardus besar yang ditutup dengan plastik, cukup untuk kami bertiga.
            Yang paling menyedihkan ialah kalau air sungai meluap dan hujan deras, kami terpaksa harus menyingkir dari tempat itu, karena terdesak oleh besarnya air sungai yang kotor dan bau. Kalau sudah begini aku seringkali mencucurkan air mata, betapa hidup kami merana dan tidak ada yang peduli kepada kami.
             Meski pekerjaan kamu pemulung sampah, namun ayah dan ibu selalu rajin beribadah dan tidak pernah meninggalkan kewajiban shalat. Ayah bangun sebelum terdengar suara azdan di mesjid. Ia selalu mengajakku shalat di mesjid yang kebetulan tidak terlalu  jauh.
            “Menjadi pemulung bukanlah pekerjaan hina. Pekerjaan yang hina itu adalah mencuri milik orang lain atau korupsi uang negara. Kita harus bangga menjadi pemulung yang berusaha mencari makanan yang halal,” ungkap ayahku suatu ketika saat kami berkumpul bersama.
            “Tapi apakah kita akan terus begini? Kenapa kita tidak bisa seperti orang lain  yang mempunyai rumah sendiri?” tanyaku.
            “Kita juga ingin seperti orang lain, maka sejak sekarang kamu harus rajin belajar dan tekun beribadah. Ayah dan ibu akan berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Mudah-mudahan saja kita bisa berubah!”
            Aku mengangukkan kepala bahagia karena berharap agar tidak selamanya berada di kolong jembatan. Hidup di sini sangat memprihatinkan dan kadang-kadang harus kuat menahan baunya kotoran yang menyebar dari sungai. Tidak sedikit juga orang yang melecehkan kami sebagai pemulung, padahal sebenarnya kami tidak ingin hidup seperti ini.
            Dalam hatiku ada satu tekad kuat untuk mengubah nasib agar tidak menjadi pemulung seperti ayahku. Aku ingin menjadi orang yang berhasil dan tidak hidup susah, itu sebabnya aku pegang teguh ucapan ayahku agar rajin belajar terutama membaca buku. Setiap kali ayah memperoleh buku, aku selalu membacanya, meskipun buku itu untuk siswa SMP atau SMU, bahkan juga perguruan tinggi.
            Yang membuat aku mencucurkan air mata adalah bila aku melihat anak-anak  mengenakan seragam sekolah sedang berjalan bersama. Aku tak kuasa menahan air mata, apalagi ketika mereka saling bercanda. Pernah aku mengikuti mereka dari arah belakang, sekedar ingin tahu sekolah mereka. Ternyata tempat sekolah tidaklah terlalu jauh dari jembatan tempat aku tinggal, cukup berjalan 2 km.
            Di belakang sekolah, diam-diam aku mendengarkan suara guru yang sedang menerangkan pelajaran. Terbayang dalam benakku, betapa ceria anak-anak yang sedang belajar di kelas, apalagi sesekali kudengar anak-anak tertawa.
            Berulang kali aku mengajak ibu agar aku didaftarkan menjadi siswa SD, namun berulangkali pula ibu menggelengkan kepala,
            “Darimana biaya sekolah? Untuk makan sehari-hari saja kita kekurangan!” ujarnya dengan mata berlinang air mata. Ibu menguasap kepalaku seolah menghibur keinginanku.
            Mendengar jawaban itu, aku hanya menundukkan kepala dan tak kuasa menatap wajah ibu. Aku memaklumi, namun aku tidak pernah berputus asa, aku akan berusaha untuk terus  membaca buku-buku yang kumiliki. Dari situ aku mulai belajar tentang ilmu-ilmu sosial, matematika, IPA dan segala macam buku yang kami peroleh di tempat sampah. Setiap hari aku selalu membaca buku dan mengkaji apa yang ada dalam buku. Lama kelamaan, aku merasa ketagihan untuk membaca dan tidak ada kesibukan yang aku lakukan selain membaca.
            Tidak itu saja, aku pun membaca koran bekas yang mudah kuperoleh dari ayah. Aku pun rajin mengumpulkan Koran bekas yang berisi tulisan yang bermanfaat. Aku menggunting dan mengkliping artikel yang penting untuk aku ketahui, sebab aku yakin suatu ketika aku bisa bersekolah.
            Kebiasaan aku berada di belakang sekolah sekedar untuk mendengarkan guru yang sedang menerangkan di kelas, rupanya diam-diam telah menerbitkan rasa kasihan dan prihatian seorang guru yang kebetulan suka melihatku.
            Ketika suatu hari aku didatangi seorang guru perempuan, bukan main aku kaget dan takut. Bahkan tubuhku bergetar takut guru itu marah. Namun dengan senyum yang ramah dan bersahabt, rasa gugup dan takutku hilang,
            “Kamu anak siapa? Dan mengapa kamu ada di sini?” tanyanya.
            Aku menatap guru yang berkerudung itu.
            “Aku…aku ingin sekolah…namun aku anak miskin…ayahku pemulung sampah. Aku ke sini sekedar mendengarkan guru yang sedang mengajar di kelas,” kataku dengan suara berat.
            Guru itu nampak kaget dan terlihat rasa simpati dan tertarik dengan ucapanku.
          “Kamu ingin sekolah? Jadi kamu ada di belakang kelas itu, ingin mendengarkan guru yang sedang mengajar?” tanyanya.
            “Betul, Bu! Aku ingin sekolah di sini, namun ayah dan ibu tidak mempunyai biaya untuk sekolah,”
            “Kalau begitu…yuk sekarang kamu ikut ke ruang guru…kamu bisa sekolah di sini!”
            “Hah!… benarkah itu Bu!” aku kaget dan sekaligus gembira tidak menyangka sama sekali. Ibu guru itu telah memberi harapan dan impian yang selama ini aku rindukan.
            Aku dibawa ke ruang guru. Dia menanyakan tentang asal-usulku dan keadaan kedua orangtua. Secara jujur aku terangkan kepadanya. Sesaat aku disuruh menunggu, kemudian ibu itu masuk ke ruang kepala sekolah. Rupanya  ada pembicaraan dengan kepala sekolah tentang aku. Tidak lama dia sudah keluar, dan mengabarkan kalau aku harus menghadap kepala sekolah. Ada rasa minder dan malu ketika aku diajak untuk menghadap kepala sekolah oleh ibu guru yang baru kukenal yang namanya Ibu Erna itu.
Dibalik semua itu, tetap ada rasa bahagia sebab aku teringat ucapan Ibu Erna kalau aku bisa sekolah. Ketika sudah bertemu langsung dengan kepala sekolah, Ibu Nita. Dia bertanya,
“Apakah kamu sudah bisa membaca?”
“Aku sudah lancar Bu…boleh ibu coba?”
“Boleh kalau begitu. Nih bacakan buku ini?” katanya seraya menyodorkan sebuah buku pelajaran.
Tanpa ada kesulitan aku membacakan dengan suara keras buku itu.
“Sudah…sudah…kalau begitu kamu besok ikut saja dengan anak-anak kelas satu di sini…kamu belajar di sini,”
“Tapi aku belum mempunyai seragam sekolah?”
“Enggak apa-apa. Pakai saja baju yang kamu miliki. Besok akan ibu beri baju seragam bekas yang kebetulan tidak dipakai oleh anak ibu,”
Betapa riang gembira dan berbunga-bunga hati dan perasaanku, sebab impianku akhirnya bisa terwujud; aku bisa sekolah. Aku bersyukur kepada Allah, ternyata memberi jalan kemudahan.
Ketika berita itu kusampaikan kepada ayah dan ibu yang kebetulan sedang ada di kolong jembatan, betapa mereka kaget dan terkejut.
“Bagaimana kamu ini? Siapa yang akan membiayai?” kata ayah bengong.
“Aku sudah bertemu dengan kepala sekolah dan aku sudah disuruh sekolah besok. Pokoknya aku akan sekolah…aku ingin sekolah Bu!” kataku.
Kulihat ayah dan ibuku menarik napas; seolah tak percaya dengan apa yang terjadi denganku.
“Tidakkah aku salah dengar?” tandas ibu.
“Tidak Bu. Aku bisa sekolah, bahkan besok aku akan diberi seragam sekolah,”
Kulihat kedua bola mata mereka berlinang air mata; tak mengira kalau keinginanku selama ini bisa tercapai juga. Padahal sudah setahun yang lalu keinginanku sekolah itu disampaikan kepada mereka.
Hari itu menjadi hari yang paling berbahagia dan aku sangat berharap sekali bisa belajar bersama di kelas. Aku tidak lagi mendengarkan guru di batasi tembok dinding kelas. Ada keharuan menyelimuti dadaku dan aku bertekad untuk menjadi siswa berprestasi. Aku akan belajar keras dan rajin ke sekolah setiap hari.
Selesai shalat, aku sudah bersiap-siap ke sekolah. Ayah dan ibuku hanya memperhatikan saja apa yang aku kerjakan. Entah bagaimana perasaan mereka aku bisa sekolah, aku tidak tahu. Hanya saja, ibu kerapkali berlinang air mata setiap kali aku mengatakan ingin sekolah.
“Kalau begitu, ayah akan berusaha agar kamu tetap bisa sekolah. Meskipun ayah pemulung, kamu harus memperlihatkan sebagai anak yang jujur, ulet, rajin dan berprestasi. Ayah yakin suatu ketika hidup kita akan berubah! Ayah juga tidak ingin terus menerus menjadi pemulung…kita harus berubah!” katanya.    
            Aku berangkat ke sekolah dengan tekad kuat ingin menjadi siswa yang berprestasi. Ingin menjadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Ingin menjadi siswa teladan dan aku yakin bisa menjadi anak berprestasi. Waktuku akan kuhabiskan dengan belajar dan banyak membaca buku-bulu.
            Aku juga ingin memperlihatkan kepada para guru dan kepala sekolah; kalau aku adalah anak pemulung sampah yang bisa berprestasi dan mengharumkan nama sekolah. Aku pun bisa menjadi anak kebanggaan sekolah.
            Aku tersenyum dengan tekadku yang sudah bulat; aku harus menjadi siswa yang memiliki prestasi bagus di sekolah. *** Tamat
Kamis  15 Mei 2008
           

Bapakku Tukang Becak


            TERKADANG aku kasihan melihat bapak yang sedang mengayuh becak membawa penunpang dan barang-barang yang cukup berat. Kulihat keringatnya bercucuran dari dahi dan wajahnya. Dari kejauhan saat aku pulang sekolah aku menatapnya dalam-dalam,  tak terasa kalau bola mataku telah basah dengan air mata. “Ya Allah, berilah kekuatan dan ketabahan pada bapakku, aku ingin sekali membantu, tapi apa yang harus aku lakukan!” bisikku dalam hati seraya berjalan kaki hendak pulang ke rumah.
            Aku seorang siswa SD yang kini duduk kelas 5. Aku memang anak miskin yang tidak memiliki harta. Aku mempunyai adik laki-laki bernama Ahmad yang kini duduk di kelas 1 pada sekolah yang sama. Kami mengontrak rumah yang sangat kecil, yang cukup untuk kami berempat. Meski sempit namun bapak dan ibuku selalu mengingatkan agar kami tidak lupa untuk rajin beribadah dan menuntut ilmu setingg-tingginya.
            “Ibu berharap agar kamu Fitri menjadi anak kebanggaan orangtua, meski kita hidup seperti ini,” ujar Ibu saat kami berkumpul di rumah. Ibuku selalu menekankan agar rajin belajar dan tidak boleh banyak bermain, apalagi menonton televisi. “Jangan terlalu banyak menonton TV, lebih baik waktu dipergunakan untuk membaca buku. Membaca akan membuka cakrawala kamu tentang kehidupan ini,”  ucapnya.
            Aku sangat penurut apa yang dikatakan ibu. Pernah satu kali aku pulang sekolah agak sore dan tidak memberitahu dulu kepada ibu, beliau marah-marah. Aku ditanya mendetail, apa saja kegiatan yang dilakukan? Aku menjawab kalau esoknya ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan sehingga tidak sempat pulang dulu ke rumah. “Lain kali, kamu harus memberitahu, soalnya bukan apa-apa, kamu seorang wanita, ibu takut ada apa-apa sama kamu,” katanya.
            Aku memahami betapa ibu sangat perhatian sekali, sampai-sampai setiap pulang sekolah, beliau selalu memeriksa kantong sekolah dan melihat catatan yang kubuat. Bahkan nilai yang aku peroleh harus diberitahu kepada ibu, baik nilai jelek maupun bagus. “Ibu menanamkan pada kamu, yang penting jujur dalam hidup ini. Itu yang bapak kamu tanamkan kepada ibu; harus berbuat jujur dalam segala hal. Kalau jujur kamu akan menjadi orang yang dihormati, dihargai dan dibutuhkan,” ungkapnya.
            Sebagai tukang becak, bapak memang pekerja keras dan tidak kenal lelah. Kadang-kadang pulang larut malam bila masih ada penumpang yang minta diantarkan. Meski berat dijalani sebagai penarik becak, namun aku jarang mendengar bapak mengeluh, tetapi sebaliknya selalu memberi dorongan kepada kami agar sabar dan tabah menjalani hidup ini.
            “Bapak sudah capai menjadi penarik becak. Bapak ingin mengubah nasib, bekerja di pabrik atau dimana saja, tetapi zaman sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. Bahkan perusahaan pun banyak yang gulung tikar menghadapi perekonomian sekarang ini. Banyak pekerja yang di PHK dan pengangguran semakin membengkak. Namun kita tetap harus mensyukuri karena ada keluarga yang berada di bawah kita. Tuh lihat orang-orang yang tidur di kolong jembatan , kita masih beruntung bisa mengontrak rumah dan ada pendapatan setiap hari,” kata bapakku ketika kami sedang berkumpul di rumah. Bapak pada saat sedang ada di rumah sering mengajak kami  ngobrol dan menceriterakan pengalaman hidupnya.
            Aku suka tertarik kalau bapak sudah berceritera tentang pengalaman semasa kecil yang seringkali membuat kami tertawa. “Bapak dulu pernah diam di pesantren, bapak masih ingat saat itu para santri sudah tidak mempunyai lauk pauk untuk makan malam, sehingga ada yang berinisiatif untuk mencuri ikan di kolam milik pak Kyai. Di malam hari, kami berlima mencuri ikan di kolam itu dan mendapat ikan beberapa ekor yang besar-besar, sekedar untuk makan malam. Setelah mendapatkan ikan, kami segera memasaknya. Kami tidak menyangka ketika sudah masak dan ikannya sudah selesai dibakar, Pak Kyai mendatangi kami untuk ikut makan bersama kami…tentu saja kami ketakutan soalnya ikan itu hasil curian…namun pak Kyai berkata : Abah ridho ikan itu dimakan oleh para santri, tetapi lain kali harus bilang dulu. Yuk kita sekarang makan bersama. Mendengar itu kami merasa malu, sebab Pak Kyai tahu kalau ikan itu diperoleh dari kolam renangnya,” ceritera bapak.  Aku yang mendengar hanya tersipu-sipu. “Jadi jangan sekali-kali kita mencuri…toh akhirnya ketahuan juga.” Katanya.
            Banyak pelajaran yang kami peroleh dari obrolan dengan bapak. Aku sendiri selalu memegang teguh nasihat bapak untuk selalu menjaga harga diri, meski kami sebagai orang miskin.
             Banyak suka dukanya yang dialami bapak sebagai pengayuh becak, namun yang membuat kami menangis, adalah kejadian yang pernah menimpa  bapak  tatkala ditabrak oleh kendaraan kijang. Bapak selama sebulan berada di rumah sakit, karena kakinya patah. Untung saja penabrak mau bertanggungjawab membiayai seluruh perawatan sampai bapak sembuh lagi.
            Meskipun sudah kecelakaan, namun bapak tidak berhenti menjadi pengayuh becak dengan alasan, tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan.”Bapak mampunya hanya menjadi tukang becak, mau apa lagi?” ucapnya dengan suara datar dan menatap kearahku. Aku hanya terdiam tak sepatah katapun keluar dari mulut. Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan menundukkan kepala. Aku ingin sekali membantu meringankan beban berat bapak.
            Pernah  aku ingin membantu bapak dengan bekerja sebagai pengasuh anak balita milik tetangga, namun bapak langsung melarangku: “Jangan…bapak tidak ingin kamu terganggu sekolah karena menjadi pengasuh. Tugas kamu sekolah dan belajar yang rajin, itu sudah membuat bapak bangga dan bahagia. Bapak akan berusaha agar kamu menjadi orang yang berhasil,”
            Namun aku berusaha untuk mandiri. Aku sudah membiasakancmenghadapi kekurangan. Itu sebabnya, setiap berangkat ke sekolah aku tidak sarapan pagi, karena di rumah tidak mempunyai makanan. Tetapi aku tidak banyak menuntut, aku hanya minum teh manis saja. Terkadang juga aku tidak membawa bekal uang ke sekolah. Tetapi di sekolah, ada saja teman yang baik hati. Aku tidak pernah meminta-minta, mereka yang memberi jajan atau mentraktir makanan kalau aku sudah membantu menerangkan matematika karena kebanyakan para siswa sulit belajar matematika.
            Aku beruntung diberi otak cemerlang dan mempunyai prestasi di sekolah. Sejak kelas 1 aku selalu menjadi juara kelas. Aku bersyukur  dengan kelebihan ini dan aku akan berusaha untuk menjadi anak yang berhasil di sekolah. Itu sebabnya, betapa aku gembira ketika mendengar dari Kepala Sekolah, Pak Nurman akan mendapat beasiswa karena prestasiku yang bagus. 
            “Mudah-mudahan kamu berhasil akan bapak ajukan kamu untuk mendapat beasiswa dari PT Pikiran Rakyat,” katanya.
            Mendengar kabar itu, tentu saja aku bahagia. Ketika aku menyampaikan kepada bapak dan ibu, tentu saja wajah mereka ceria dan bersinar terang, “Bapak doakan semoga kamu berhasil!” katanya.
            Beasiswa  yang kutunggu tidaklah terlalu lama, seminggu kemudian aku mendapat panggilan dari  kepala sekolah dan mengabarkan kalau aku berhasil memperoleh beasiswa. Hatiku riang tiada terkira. Soalnya bukan apa-apa, beasiswa akan meringankan beban hidup kami.
            “Kamu akan diberi beasiswa di Hotel Papandayan Bandung oleh Direktur PT Pikiran Rakyat . Nah kamu harus berangkat besok hari dengan kedua orangtua kamu. Jangan khawatir semua ongkos ditanggung oleh perusahaan,” kata Pak Nurman.
            Sulit membayangkan kebahagiaan yang aku rasakan saat itu, aku tak kuasa meneteskan air mata karena beasiswa sangat aku dambakan selama beberapa tahun. Dulu pernah Pak Nurman menjanjikan kepadaku  akan mendapat beasiswa, tetapi selalu gagal, dengan alasan banyak sekali saingannya. Aku sendiri memaklumi.
            Pulang sekolah aku bergegas pulang ke rumah ingin segera mengabarkan kepada bapak dan ibuku. Wajah mereka terlihat riang gembira ketika aku memberikan selembar surat panggilan untuk menghadiri acara pemberian beasiswa di Bandung.
            “Tapi bagaimana kita pergi ke Bandung. Kita kan tidak mempunyai uang…” kata ibu.
            “Kata pak kepala sekolah, ongkos akan diganti oleh perusahaan, jadi kita pinjam saja dulu,” kataku.
            “Pinjam kepada siapa?” tanya ibu.
            Aku terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan ibu. Hari itu  kebetulan ayah dan ibuku tidak mempunyai uang, sekedar untuk ongkos ke Bandung. Kami terpaksa berpikir keras bagaimana mendapatkan uang untuk ongkos.
            Ibu sekuat tenaga mencari beberapa orang tetangga yang bisa dipinjami, namun hingga sore, uang belum juga didapat. Bapak sejak tadi sudah pergi untuk menarik becak dan berharap pulangnya membawa uang.
            Sampai larut malam, kami menunggu bapak di rumah sebab satu-satunya tumpuan harapan untuk bisa mendapatkan uang. Namun tidak seperti biasanya, bapak belum juga pulang padahal sudah jam 9 malam. Kami menjadi was-was, takut ada apa-apa terjadi pada bapak.
            “Aneh, mengapa bapak belum pulang?” tanya ibu.
            “Ada apa ya Bu?” kataku penasaran.
            “Mudah-mudahan saja tidak ada sesuatu  yang terjadi pada bapak. Kita berharap bapak pulang membawa uang buat  ongkos besok!”
            Kami hanya berharap dan selalu berdoa agar bapak segera cepat pulang serta membawa uang untuk ongkos besok kami ke Bandung.
            Kami tidak sabar menunggu, bahkan kepala ibu sudah terasa pegal karena setiap mendengar bunyi diluar selalu saja menengok ke jendela ingin melihat siapa yang datang. Namun sampai larut malam, bapak belum juga pulang, tentu saja kami  khawatir, cemas dan bingung.
            Perasaan kami pun menjadi tak menentu, apalagi waktu sudah lebih jam 10 malam. Kami bingung;  kalau mau mencari, kemana kami harus mencari?
            “Bu, kita harus cari, takut terjadi apa-apa?” kataku cemas.
            “Tapi kita mencari kemana? Apalagi malam-malam begini!”
            “Kita tunggu saja di luar, mudah-mudahan saja ada rekan bapak yang bisa kita tanyai!”
            Kami bersiap-siap keluar rumah. Namun belum juga kami membuka pintu, terdengar di luar ada suara yang kami kenal, suara bapakku. Aku segera saja memburu pintu dan membukakan.
            “Alhamdulillah…bapak selamat!” kataku menarik napas dalam dan penuh kegembiraan ketika bapak dalam keadaan sehat, “Kami sudah khawatir ada apa-apa terjadi dengan bapak,”
            Bapak tersenyum ketika melihat kami.
            “Alhamdulillah, bapak dapat ongkos buat pergi ke Bandung,” ujarnya seraya masuk ke dalam rumah.
            “Tapi mengapa sampai malam begini?” tanya ibu.
            Bapak tidak segera menjawab, tetapi duduk di lantai. Aku segera mengambil air minum teh manis kesukaan bapak. Keringat masih terlihat di keningnya. Tidak lama kemudian, bapak berkata:
           “Rezeki itu sudah ada yang mengatur oleh Allah Swt.  Bapak sejak pagi tadi sudah berkeliling ke mana-mana, tapi tidak ada seorang penumpang pun di jalan. Banyak sekali penarik becak. Bapak terus menerus berdoa agar dapat uang buat ongkos kalian besok ke Bandung. Bapak sudah putus asa ketika akan pulang ke rumah tidak membawa uang. Di saat sedang terdesak, bapak pasrah kepada Allah dan memohon agar diberi rezeki….,” katanya sambil menarik napas dalam, lalu melanjutkan ucapannya,”Untung saja ada ibu muda yang terburu-buru akan ke terminal, dia minta diantarkan  karena akan ke Jakarta. Bapak pun segera mengayuh sepeda. Ketika sampai di terminal, ibu muda itu memberikan uang lima  puluh ribu rupiah, sambil berkata :’buat bapa semuanya’. Bapak kaget mendengar ucapan itu. Langsung saja memegang tangan ibu muda itu seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali….inilah uangnya,”  bapak memberikan satu lembar uang lima puluh ribu rupiah.
            Ibu menerima dengan penuh kebahagiaan uang itu. Aku tak dapat membendung kegembiraan, sehingga tak kuasa kalau bola mataku  telah basah dengan air mata. Tak dapat terbayangkan, kalau saja uang itu tidak diperoleh bapak malam ini, darimana besok ongkos untuk pergi ke Bandung?
            Uang beasiswa yang kuperoleh akan kumanfaatkan sebaik-baiknya; aku bertekad ingin menjadi anak tukang becak yang  berhasil dan menjadi  kebanggaan keluarga. Aku harus mampu memperlihatkan prestasi di sekolah, karena kalau tidak, tentu keluargaku akan malu!
            Terbayang besok aku akan berada di sebuah hotel yang mewah yang selama ini belum pernah aku menginjakkan kaki ke tempat itu. Betapa bahagia, selama ini aku ingin sekali mengunjungi Kota Bandung. Aku belum pernah bermain ke Bandung, soalnya bukan apa-apa, aku tinggal di sebuah perkampungan  yang jauh dari kota dan untuk pergi ke Bandung, aku harus naik ojek, angkot dan bis, sehingga ongkos yang keluar tidak kurang dua puluh ribu rupiah.
            Aku menarik napas dalam-dalam ketika kulihat waktu
             
                         

Anita Anak Jenius dari Panti Asuhan

ANITA memalingkan wajah ketia ia melihat anak seusianya tengah bermain-main gembira bersama kedua orangtuanya. Setiap hari Anita sering melihat anak-anak yang diasuh oleh ibunya saat sedang bermain. Ia yang suka lewat ketika pulang sekolah,  hatinya merasa teriris, sedih dan terluka sebab sudah hampir 4 tahun, dia tinggal di panti asuhan ini tidak pernah melihat kembali wajah ayah dan ibunya. Dia sangat rindu sekali ingin bertemu mereka, namun kerinduan tinggal kerinduan, mereka tidak pernah lagi datang ke sini. Entah mengapa!  Padahal ia masih ingat janji ayah dan ibunya akan kembali mengambilnya dari panti asuhan kalau sudah mempunyai rumah sendiri. Namun ternyata janji itu tidak  pernah ditepati. Mereka ternyata pembohong besar!
            Anita tidak pernah mengerti, mengapa mereka begitu tega meninggalkan di panti asuhan ini? Tidak itu saja, mereka pun seolah tidak suka dengan kehadirannya. Dia selalu bertanya-tanya dalam hati, apa yang menyebabkan mereka membiarkannya di tempat ini. Apa kesalahanku?, keluh Anita dalam hati. Ia ingin protes kepada Tuhan, mengapa ditakdirkan hidup jadi begini? Ia tidak ingin tinggal di panti asuhan. Ia ingin tinggal di rumah yang bagus bersama kedua orangtuanya.
            Pengasuh yang dekat dengan Anita di panti asuhan itu, namanya Ibu Yani selalu menghibur dan tak pernah bosan menasihatinya,
            “Sabarlah…suatu ketika mereka datang. Kamu harus tabah!” ujarnya ketika anak yang berambut lurus berawajah bundar itu selalu menanyakan kedua orangtuanya.
            “Tapi mengapa sudah lama, mereka tidak pernah ke sini…dimana sih mereka tinggalnya?” tanya Anita dengan tatapan kosong kepada Ibu Yani.
            “Mungkin mereka sedang sibuk. Ibu tidak tahu dimana mereka tinggal!”
            Wajah Anita terlihat sedih. Ibu Yani memahami keadaan jiwa anak itu. Ia pun tahu, mengapa ayah dan ibunya menitipkan di panti asuhan. Dia masih teringat empat tahun silam, ada pasangan suami istri datang ke sini ingin menitipkan anaknya .
            “Mengapa anak ini dititipkan?” tanya Ibu Yani.
            “Kami sibuk bekerja, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengurus anak. Kami mohon agar anak ini tinggal di sini…!”
            Ibu Yani menatap ibu muda itu. Merasa aneh dan tidak mengerti, pasangan muda biasanya ingin mempunyai anak, tetapi mengapa ini dititipkan ke panti asuhan. Rasa penasaran Ibu Yani baru terjawab ketika melihat anak yang dititipkan ternyata memiliki  cacat, yaitu tidak memiliki kedua kaki, hanya sebatas paha. 
            Ibu Yani sempat bengong  ketika melihat anak yang lucu itu tidak sempurna. Ia beberapa kali menarik napas panjang dan tidak percaya. Ketika itu Anita sudah sekolah kelas 2 SD.
            “Apakah ibu malu memiliki anak cacat begini?” tanya Ibu Yani seraya menatap wajah mereka.
            Kedua orangtua itu tidak menjawab pertanyaan Ibu Yani, bahkan mereka mengalihkan pembicaraan dan menanyakan biaya selama perawatan di panti asuhan ini.
            “Kasihan sekali kau nak,” bisik hati Ibu Yani seraya menerima anak itu dengan penuh kasih sayang. Ia baru berusia 8 tahun  tahun tatkala dititipkan di panti asuhan ini. Artinya sudah agak mengerti. Anita pun sempat protes mengapa dititipkan di panti asuhan? Namun dengan berbagai alasan, Anita tidak bisa mengelak keinginan orangtuanya. Meski ia menagis terisak-isak saat ayah dan ibunya meninggalkan asuhan , namun hati mereka sudah tertutup.
            “Sudahlah kamu bersama Ibu saja di sini…kamu tidak sendirian, banyak anak-anak seusia kamu di tempat ini,” ujar Ibu Yani ketika melihat anak itu masih terus mencucurkan air mata.
            Sebagai pengasuh, Ibu Yani telaten memperhatikan anak-anak di panti asuhan ini. Rasa cinta kepada anak-anak tumbuh dalam hatinya seiring dengan keadaan dirinya yang tidak dikarunia anak dan hidup menjanda sejak puluhan tahun. Dia ingin mengabdikan sisa hidupnya menyayangi anak-anak yang menjadi korban kedua orangtuanya yang tidak menerima  keadaan anaknya yang cacat atau hamil diluar pernikahan. 
            Ibu Yani tinggal bersama anak-anak di panti asuhan itu dengan gaji yang cukup untuk kebutuhan sendiri. Ia tidak banyak menuntut sebab niatnya juga semata-mata untuk meringankan beban panti asuhan yang kekurangan tanaga perawat sementara banyak ana-anak yang dititipkan di panti asuhan, termasuk anak-anak yang tidak jelas kedua orangtuanya.   
            Terlalu banyak duka yang dirasakan Ibu Yani  hidup bersama dengan anak-anak yang lugu, polos dan lucu. Di balik semua itu, tersimpan dalam hati yang dalam, kepedihan menyaksikan anak-anak yang menjadi korban orangtuanya.
            Anita kerapkali menjadi perhatian utama bagi  Ibu Yani, sebab ia anak yang cacat yang kurang diperhatikan kedua orangtuanya. Rasa kasihan semakin tertanam dalam dirinya, ketika tahu ternyata kedua orangtuanya tidak mau lagi mengakui dan datang lagi ke panti asuhan. Mereka membuang begitu saja. Sungguh kejam! Bisik hatinya. Pernah Ibu Yani mencari alamat yang tertera di KTP, namun ternyata penghuni  rumah itu sudah pindah dan tidak memberitahu kepada tetangga. Tentu saja dia  kehilangan jejak. Padahal sudah satu tahun biaya perawatan di panti asuhan belum dilunasi. Ah, kasihan sekali anak itu. Mereka membuang  begitu saja Anita.
 Kemana pun Anita melangkah harus mengenakan kayu penyangga. Ibu Yani selalu memperhatikan anak yang satu ini. Selama beberapa tahun berada di panti asuhan, diam-diam, ia kagum dengan kecerdasan otak yang dimiliki Anita. Anak cacat itu, ternyata memiliki kemampuan otak yang luar biasa. Itu sebabnya, dia selalu menghibur dan memberikan bahan bacaan yang bermanfaat bagi anak ini. Anita sangat suka sekali membaca dan keranjingan buku.
“Kamu mempunyai bakat yang luar biasa. Kamu harus yakin, suatu saat kamu akan menjadi anak yang berhasil!” ujar Ibu Yani saat bercakap-cakap di kamar.
“Tapi Bu, tetap aku tak bahagia sebab ayah dan ibuku ternyata tidak lagi ada rasa kasih sayang. Mereka meninggalkan aku!” ujarnya.
“Biar saja. Ibu menyayangi kamu setulus hati. Anggap saja aku adalah ibumu…kamu enggak usah khawatir!”
“Ah, ternyata tidak setiap ibu kandung menyayangi anaknya, padahal binatang saja akan membela dan memelihara anaknya sendiri. Tapi manusia tidak sama dengan binatang,”
“Sudahlah, jangan terlalu banyak kamu pikirkan. Sekarang jadilah kamu anak yang berprestasi. Ibu yakin prestasi kamu di sekolah selalu bagus. Siapa tahu kamu bisa mengikuti lomba tingkat nasional dan nama kamu menjadi perbincangan setiap orang,”
“Apakah itu mungkin Bu?”
“Siapa bilang tidak mungkin. Kalau Allah sudah memberi jalan, tidak ada seorang pun yang bisa menghalang-halangi.”
            Anita merasa  bahagia hidup bersama Ibu Yani yang memahami keadaan dirinya. Ia ingin sekali membalas kebaikannya. Itu sebabnya, Anita bertekad untuk bisa menjadi anak yang berprestasi di sekolah.
            Meski cacat, namun di sekolah dia anak istimewa dan dihormati oleh teman –temannya. Bukan apa-apa, sebab Anita mempunyai kelebihan dibidang fisika, bahkan anak ini menjadi kebanggaan sekolah sebab belum lama ini mendapat panggilan untuk dilatih oleh Tim Olimpiade Fisika untuk diikutsertakan dalam lomba tingkat dunia.
            “Bapak yakin kamu akan mengharumkan nama sekolah, maka bekajarlah fisika secara sungguh-sungguh!” ungkap Ibu Nani, kepala sekolah yang mendorong Anita untuk rajin dan tekun belajar. Fisika memang menjadi kesenangan anak yang satu ini. Bahkan dengan bimbingan guru di sekolah, Anita hampir setiap hari berada di laboratorium sekolah untuk mempelajari fisika. Tidak itu saja, Anita pun dibimbing oleh dosen dari ITB yang melihat bakatnya yang luar biasa. Sejak beberapa bulan ini, terlihat kalau anak cacat ini ternyata mempunyai otak cemerlang yang berbeda dengan siswa yang lain.
            Anita memang bukan anak sembarang, bahkan di sekolah seringkali disebut anak ajaib, sebab sepintas siapapun tidak akan mengira kalau anak yang cacat itu memiliki kelebihan yang luar biasa. Semula Anita sering diejek dan dilecehkan di sekolah, bahkan ia mengaku paling benci dengan anak yang bernama Johan, sebab anak itu tidak segan-segan menghina dan membuat Anita sakit hati. Pernah satu kali, Johan mengejek dengan ungkapan yang sampai sekarang masih terngiang di telinga, “Dasar kamu anak cacat,  anak miskin, hidup di panti asuhan lagi,”  Anita berusaha menahan marah yang  sudah ada di ubun-ubun, namun ia berusaha untuk menahan kesabaran.
            Sakit hati membuat Anita berpikir keras dan berusaha ingin membuktikan diri kalau ia anak yang berprestasi dan memiliki keunggulan di sekolah. Sejak itulah, dia selalu berlajar dan banyak membaca buku. Apalagi ia teringat ucapan Ibu Yani, ketekunan dan kesabaran akan membuahkan hasil…kamu bisa menjadi orang yang pintar dan pandai, asal sejak sekarang terus belajar keras.
            Ternyata memang benar, kegigihan belajar terutama Ilmu Pengetahuan Alam, membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Setiap ulangan, dia selalu mendapat nilai rata-rata 9 atau 10, dan belum pernah kurang dari itu. Tentu saja pihak sekolah pun merasa heran dengan perkembangan otak yang dimiliki Anita. Tidak hanya itu, setiap kali ada perlombaan cermat cermat yang diselenggarakan di tingkat kabupaten maupun  propinsi, Anita selalu menonjol jadi juara.
            Hari demi hari bakat Anita semakin terlihat dibidang fisika, terlebih setelah beberapa kali diikutsertakan lomba fisika yang diselenggarakan di perguruan tinggi di Bandng, Anita selalu lolos dan bisa menjawab semua pertanyaan juri. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ketika diadakan lomba fisika tingkat nasional, dia berhasil menjadi juara pertama. Kemudian bulan berikutnya diikutsertakan olimpiade tingkat dunia, anak ajaib ini sungguh menggemparkan, sebab dia berhasil merebut juara pertama dan mendapat hadiah ratusan juta rupiah.
            Tentu saja, prestasi Anita menjadi kebanggaan bagi para penghuni panti asuhan. Tak heran kalau Ibu Yani yang mengurus dan memperhatikan kegiatan sehari-hari  merasa bahagia sekali melihat perkembangan otak Anita yang semakin cemerlang.
            “Ternyata kamu sebenarnya anak yang hebat dan luar biasa, meski fisik kamu ada kekurangan,” tutur Ibu Yani saat mereka berbincang-bincang di kamar.
            “Aku sendiri sekarang menyadari bahwa sesungguhnya Allah itu betul-betul Maha adil, dulu aku tidak berpikir begitu, tetapi setelah aku belajar sungguh-sungguh Allah memperlihatkan karunia-Nya,” kata Anita.
            Saat sedang berbincang-bincang itu, tiba-tiba ada yang memberitahu kepada Ibu Yani kalau di ruang tunggu ada tamu yang sedang menunggu. Ibu Yani bergegas ke ruang tamu, memang sudah biasa ia melayani tamu yang datang ke panti. Namun ketika melihat wajah pasangan suami istri itu, langsung saja Ibu Yani tersentak kaget. Dia tidak menyangka kalau keduanya akan datang lagi ke sini, padahal sudah lebih dari 4 tahun.
            “Apakah kalian akan mengambil Anita?” tanya Ibu Yani setelah tamu duduk dan saling bersalaman. Pasangan suami istri itu adalah orangtuanya Anita.
            “Ya kami akan mengambil Anita?” ujar bapak Anita.
            “Tapi bapak harus menyelesaikan semua administratif termasuk biaya pengeluaran selama Anita berada di sini,” ujar Ibu Yani.
            “Kami akan membayar semuanya!....berapa yang harus kami bayar?” ujarnya.
            Ibu Yani segera menghubungi bagian administrasi dan meminta seluruh biaya selama Anita berada di panti asuhan. 
            Ada perasaan sedih tergambar di wajah Ibu Yani, karena ia sudah mengangap Anita sebagai anaknya sendiri. Kini tanpa di duga, kedua  orangtuanya datang untuk mengambilnya. Padahal dulu ketika Anita menangis ingin bersama-sama mereka, tetapi mereka tidak mengacuhkannya.
            Ibu Yani segera menghubungii Anita yang tengah membaca buku di kamar. Ketika disampaikan kepadanya, ada ayah dan ibunya di ruang tamu dan berniat membawa Anita kembali, terlihat wajah Anita tegang dan sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan.
            “Temuilah mereka, bagaimana pun juga mereka adalah ayah dan ibumu!”  kata Ibu Yani sebab Anita diam saja tidak hendak beranjak dari tempat duduk. Lama Anita tidak menjawab dan tiba-tiba bola matanya terlihat ada titik air mata yang hendak jatuh, lalu dia berkata:
            “Tidak Bu, aku tidak mau menemui mereka. Sampaikan kepada mereka, aku tidak ingin bersama mereka. Aku ingin tetap tinggal di sini bersama Ibu, Mereka ternyata datang ke sini, setelah tahu kalau aku meraih prestasi. Dulu sewaktu kecil mengapa mereka menitipkan aku di panti asuhan? Apakah mereka merasa hina memiliki anak cacat seperti aku?”
            Napas Ibu Yani sesaat terhenti, tidak mengira sama sekali anak itu akan berkata begitu. Mungkin selama ini Anita merasa sakit hati dibiarkan dan ditelantakan selama bertahun-tahun oleh kedua orangtuanya. Kini mereka datang setelah tahu kalau nama Anita menjadi buah bibir di masyarakat.
            Ibu Yani terdiam dan tak kuasa menahan air mata yang terus membasahi wajahnya. Bagaimana pun juga ia merasa keberatan kalau Anita akan diambil lagi oleh kedua orangtuanya. Selama ini, Anita telah menjadi bagian dalam kehidupannya, apalagi dengan prestasi Anita yang begitu hebat telah ikut pula membahagiakan mereka. Segala hadiah dan uang yang diperoleh Anita setiap mengikuti perlombaan dan memperoleh beasiswa,  diberikan kepada Ibu Yani. Ibu Yani sendiri telah menyimpan uang tabungan di bank yang cukup besar untuk melanjutkan sekolah Anita.
            Ibu Yani kembali ke ruang tamu dengan mata masih berkaca-kaca.
            “Mana Anitanya, Bu?” tanya suami istri itu hampir berbarengan.
            Ibu Yani hanya menggelengkan kepala dan berkata dengan suara pelan,
            “Ia sudah betah tinggal di sini. Dan ia tidak ingin menemui kalian, dia sudah merasa sakit hati dibiarkan selama bertahun-tahun di panti asuhan!”
            Mereka tersentak mendengar ucapan itu. Suami istri itu saling tatap dan nampak raut wajah mereka menyimpan rasa penyesalan mendalam. Mereka tidak mengira kalau anaknya sama sekali tidak mau menerima kehadirannya lagi.
            Ketika mereka ingin masuk ke kamar Anita, ternyata kamar itu sudah dikunci rapat dari luar. Anita tidak mau ditemui.
            “Kami meyayangi kamu Anita. Kami sengaja datang ke sini untuk mengambil kamu dan berkumpul di rumah lagi!” ucap Ibu Anita dengan suara lemah lembut.
            “Tidak!….aku tidak mau bertemu dengan kalian. Kalian jahat telah membiarkan aku bertahun-tahun di sini. Sekarang kalian datang ke sini, karena aku telah menjadi anak yang berprestasi…karena aku telah menghasilkan uang…karena aku menjadi terkenal..aku tidak mau memiliki ayah dan ibu yang  begitu. Aku akan tinggal di sini. Kalian tidak perlu datang lagi ke sini…biarlah aku di sini”
            Suami istri itu tak mampu berkata sepatah katapun. Rasa penyesalahan terpancar di wajah mereka. Namun apa mau dikata, anaknya sudah tidak mau mengakui lagi kepada mereka, karena mereka pun sesungguhnya saat Anita lahir sama sekali tidak berharap kehadiran anak cacat ini ke dunia. Mereka malu dan merasa rendah diri melahirkan anak yang cacat kakinya. Namun hidup adalah rasahasia Allah Swt, ternyata anak cacat itu memiliki prestasi yang luar biasa dan jenius. Kini tinggallah penyesalan menghantui mereka. *** Tamat
                                                                                                Selasa, 20 Mei 2008