SEBAGAI seorang petani, bapakku setiap hari pergi ke sawah dan kebun milik Haji Sueb. Bapak orang miskin dan sama sekali tidak memiliki sawah, hanya bekerja sebagai buruh di Haji Sueb. Lebih dari 10 tahun bekerja sebagai petani, namun bapak sangat tekun dan rajin. Ia tidak mau berpindah mencari pekerjaan lain, karena Haji Sueb sangat baik hati dan memperhatikan keadaan kami. Selama bekerja di Haji Sueb telah banyak jasa yang diperoleh bapakku, bahkan Haji Sueb memercayakan mengolah kebun untuk ditanami berbagai tanaman dan hasilnya dimakan bersama keluarga. Tentu saja kami merasa utang jasa kepada beliau yang begitu memperhatikan kami. Bahkan biaya sekolah pun, beliau selalu memperhatikan.
Itu karenanya, setiap ada perintah atau suruhan dari Haji Sueb, bapak akan mendahulukan dan mengutamakan sekali, meski di waktu malam hari. Hal itu bisa dimengerti karena bapak ingin sekali membalas jasa kebaikannya . Tidak hanya itu, kalau bapakku disuruh untuk tidur di rumahnya karena Haji Sueb ada keperluan keluar kota, bapak pasti mengajak aku tinggal di rumahnya.
Aku kagum dengan kekayaan yang dimiliki Haji Sueb. Selain rumahnya besar, dia pun memiliki tanah dan sawah yang sangat luas. Di rumahnya saja, banyak sekali barang-barang yang mewah dan TV yang besar. Sedan pun ada 2 buah dan truk mengangkut beras ada 3 buah. Boleh di kata di desa kami, Haji Sueb adalah orang yang terkaya.
Pagi-pagi sebelum matahari terbit, bapak sudah keluar rumah. Peralatan yang dibawa adalah cangkul dan arit. Cangkul dibawa diatas pundak sedangkan arit disimpan di pinggang memakai tali. Kedua alat itu menjadi teman akrab yang selalu dibawa manakala pergi ke sawah atau kebun. Biasanya pulang dari kebun, bapak suka membawa rerumputan untuk makan dua ekor kelinci yang kami miliki atau ubi-ubian untuk kami makan bersama.
Seperti sore itu, aku lihat bapak membawa rumput dan ubi. Aku sangat suka sekali ubi, apalagi kalau dibakar. Ibuku biasanya yang suka membakar ubi di dapur. Kami biasanya makan ubi dengan kopi, terasa sangat nikmat sekali.
“Pak Haji akan pergi keluar kota…bapak disuruh menunggui rumah lagi!” ujar bapak saat kami duduk bersama sambil menikmati ubi dan kopi panas.
“Wah…berarti aku akan bisa tidur lagi di rumah Pak Haji!” kataku dengan wajah penuh gembira. Tidur di rumah Haji Sueb memang sangat kudambakan, sebab kamar tidur yang enak dan kasurnya pun empuk. Jarang sekarang aku bisa tidur seperti itu. Di rumahku, aku tidur diatas ranjang kayu yang sudah tua serta kasur yang lapuk.
“Boleh kamu ikut sama bapak, tapi kamu jangan nakal!” ujar Ibuku seraya menatapku, sebab ibu tahu kalau aku memang agak nakal di rumah Haji Sueb. “Minggu kemarin saja kamu terjatuh dari pohon Pak Haji, kamu sih nakal,!”
Aku diam, dan kuakui waktu itu aku ingin mengambil layang-layang yang menyangkut di pohon, aku naik ke atas, rupaya aku menginjak dahan yang sudah kering sehingga terjatuh. Jalanku agak terpincang karena kakiku keseleo. Bapakku sempat kaget ketika aku terjatuh dari pohon, namun tidak terlalu parah. Aku dimarah sama ibuku saat pulang ke rumah. Tetapi bapakku membela,
“Enggak apa-apa, biar saja supaya ada pengalaman. Kamu harus lebih berani lagi naik ke pohon yang lebih tinggi,” ujar bapak memberi semangat dan dorongan. Sementara ibuku hanya cemberut seolah tidak suka dengan ucapan bapak. Bapak memang tidak seketat ibu dalam mendidik, bahkan kurasakan bapak memberi pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan seharian. Misalnya, bapak selalu mendorong aku agar berani menghadapi tantangan naik ke atas pohon yang lebih tinggi. “Kalau tidak ingin jatuh, maka kamu harus berhati-hati.Lihat dahan yang akan kita injak, berbahaya atau tidak! Kalau tidak bahaya, baru kita naik ke dahan yang lebih tinggi,” katanya.
Tidak hanya itu, kadang-kadang juga bapak mendorongku untuk lebih berani berjalan sendirian di malam hari. Kalau terasa ingin kencing di malam hari, aku sudah terbiasa sendiri, tidak perlu lagi diantar bapak, sebab bapak pernah mengatakan, “Seorang lelaki itu harus pemberani. Kamu harus belajar berani kalau kamu tidak merasa bersalaha!” nasihatnya.
Banyak sekali nasihat yang bapak tanamkan dalam diriku, sehingga aku di sekolah berupaya untuk disiplin dan tidak melanggar peraturan sekolah. Meski aku baru kelas 3 SD, namun aku sudah menjadi anak pemberani dan tidak gentar bermain yang agak jauh.
Aku sangat gembira sekali ketika bapak mengizinkan aku untuk kembali menginap di rumah Haji Sueb. Aku pun ingat pesan ibu untuk tidak nakal selama berada di rumahnya.
“Pokoknya aku tidak akan nakal,” kataku ketika ibu memintaku berjanji agar jangan membuat masalah selama berada di rumah Haji Sueb.
“Ibu takut kalau ada yang rusak atau yang hilang di rumah Pak Haji, nanti kamu dan bapak yang akan disalahkan!”
“Enggak Bu, aku tidak berani mencuri barang orang lain. Bapak pasti akan menjewer kiping dan memukulku kalau aku mencuri,” kataku.
“Ibu izinkan kamu dan jangan nakal serta berhati-hati selama di sana!”
Aku gembira sekali mendapat izin Ibu, soalnya bukan apa-apa kalau ibu tidak mengizinkan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Jarak antara rumah kami dengan Haji Sueb lumayan jauh ditempuh dengan jalan kaki memerlukan waktu lebih dari 30 menit lebih. Biasanya bapak suka mengambil jalan pintas lewat sungai dan pesawahan daripada mengambil ke jalan, yang lumayan agak jauh.
Aku mengikuti dari belakang saat bapak sudah melangkahkan kaki. Tidak seperti biasanya, ibu mengantarkan sampai depan rumah. Ketika berjalan sudah agak jauh dan akan berbelok, aku balik ke belakang, ternyata ibu masih berdiri dan tengah menatap kami.
Aku melambaikan tangan. Kulihat ibu membalasnya dengan senyum.
Tiba di rumah Haji Sueb, kami disambut dengan penuh kegembiraan oleh Pak Haji dan Ibu Haji. Mereka gembira melihat kedatangan kami, terlebih saat melihatku.
“Syukurlah anak kamu dibawa, di sini bisa bermain….” kata Haji Sueb seraya menambahkan, “Bapak nitip rumah selama dua hari,”
Bapak menganggukkan kepala, “Insya Allah, akan aku jaga sebaik-baiknya,”
“Nih buat jajan kamu!” ujar Ibu haji seraya memberi uang sepuluh ribu rupiah. Aku menerimanya dengan penuh kegembiraan seraya mengucapkan terima kasih beberapa kali, karena uang itu bagiku sangat besar dan jarang diberi oleh bapak dan ibu. Makanya, aku paling senang kalau sudah dibawa ke rumah Haji Sueb karena mereka pasti akan memberi uang.
Tidak lama setelah kedatangan kami, mereka pun pergi meninggalkan kami dengan memakai kendaraan kijang. Menurut bapak, Pak Haji akan mengunjungi adiknya yang akan berangkat ke tanah suci di Jakarta.
Bapakku sudah terbiasa memasak dan membereskan barang-barang yang ada di rumah Haji Sueb. Bahkan bagi bapak, rumah Pak Haji sudah dianggap sebagai rumah sendiri. Bapak memasak mie instans kesukaanku, kemudian membuat kopi, karena tahu kalau aku pasti akan menonton TV sampai larut malam.
Kami disediakan kamar di belakang dekat kebun. Kamar kami cukup besar dan tersedia televisi. Aku asyik menonton TV karena acaranya sangat bagus. Di rumah pun bapak mempunyai TV, namun masih hitam putih. Sedangkan di rumah Haji Sueb, selain TV-nya besar, juga berwarna sehingga aku suka sekali menonton berjam-jam. Apalagi ketika malam itu ada pertandingan sepakbola, betapa aku girang sebab olah raga yang satu ini sangat aku gemari.
Saat kami sedang menonton pertandingan sepak bola tengah malam, rupanya kami tidak menyadari rumah sudah ada yang mengincar oleh para penjahat, yang akan merampok harta benda Haji Sueb. Kami baru menyadari ketika dari depan terdengar jendela rumah seperti ada yang membongkar paksa. Bapak tentu saja kaget dan terperanjat.
“Kamu tunggu di sini!” katanya.
“Bapak mau kemana?”
“Bapak mau mengecek ke depan. Ada yang enggak beres di rumah ini. Hati-hati kamu!”
Kulihat bapak mengambil golok yang tersimpan dekat pintu kamar. Mendadak hatiku merasa tidak enak tatkala bapak keluar dari kamar.
Aku segera mematikan TV. Aku penasaran ingin mengikuti bapak dari belakang, meski ada perasaan cemas dan khawatir. Tidak lupa aku mengambil arit yang kebetulan ada disitu.
Aku keluar kamar dan berjalan pelan-pelan seraya mata dan telingaku bersiap-siap mengamati dan mendengar apa yang akan terjadi dengan bapak. Meski dirasuki rasa takut, namun kakiku terus berjalan ke depan. Ketika aku sampai ke pintu ruang tamu dan kamar Haji Sueb, aku mendengar suara yang sedang berkelahi, bahkan terdengar ada barang yang pecah. Tentu saja aku kaget. Aku hampir saja akan balik kembali ke belakang, namun aku takut terjadi apa-apa pada bapakku. Aku berupaya untuk mengintip dari jendela.
Betapa mataku terbelalak dan terkejut karena aku melihat bapakku sedang dikepung 4 orang perampok yang semuanya menutup kepala. Di tangan perampok terlihat senjata tajam yang siap diarahkan kepada bapak. Namun kulihat bapak melayani keempat perampok itu. Beberapa kali bapak mampu menghindar serangan perampok.
“Apa yang harus kulakukan!” bisikku dalam hati, sebab aku takut terjadi apa-apa dengan bapakku. Aku berpikir keras untuk bisa membantu bapak. Tidak ada jalan lain yang harus aku lakukan, kecuali aku harus segera bertindak
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari keluar rumah dan berteriak keras membangunkan tetangga dan warga yang tinggal di situ.
“Ada perampok di rumah Haji Sueb…ada rampok…tolong bapakku di rampok!” teriakku seraya berlari ke jalan dan terus menerus berteriak. Rupanya teriakanku mengundang perhatian warga, sebab tanpa dikomando, warga sudah berkumpul dan masing-masing membawa senjata tajam. Beberapa orang langsung berlari mendekati rumah Haji Sueb.
“Kejar…perampoknya lari ke belakang!”
“Jaga di sebelah barat…ada yang lari ke sana!”
“Kepung semua tempat…jangan sampai mereka lari!”
Teriakan warga bergema dan suasana menjadi ramai di halaman rumah Haji Sueb. Aku cemas dan was-was, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku bergegas mendekati ruang tamu yang tadi kulihat bapak bertarung dengan penjahat.
Ruangan itu sudah berantakan dan aku melihat darah bercecerahan di sana sini. Tentu saja aku cemas; jangan-jangan bapakku….! Hatiku mendadak tak menentu dan wajahku pucat pasi.
“Bapak…dimana Pak!” teriakku. Namun tidak ada jawaban. Mataku mencari ke kanan kiri dan sekeliling ruangan. Aku terbelalak ketika kulihat ada suara mengerang kesakitan…aku bergegas mendekati. Ternyata seluruh tubuh bapakku sudah penuh dengan darah. Aku terbelalak dan segera memburu bapak sambil berteriak histeris. Bapakku masih ada napas, namun tubuhnya sangat lemah karena darah yang banyak keluar..
“Bapak…jangan tinggalkan aku!” teriakku seraya memegang wajah bapak yang berlumur darah.
Bapakku hanya menatap dengan tatapan kosong dan sedih. Kulihat air mata mengalir di pipinya. “Ma…maaf…kan….. ba..pak jaga…lah i…iiibumu,” itulah ucapan yang kudengar di telingaku, yang membuat aku terperangah.
Aku memegang tangan bapak dan mengoyang-goyangkan dengan harapan bapak masih hidup. Namun sia-sia, bapak sudah tidak bernyawa lagi.
“Bapak…!” teriakku dengan suara bergetar dan napas yang berat. Mendadak penglihatanku berkunang-kunang dan tiba-tiba terasa gelap gulita seluruh isi alam dunia ini. Aku jatuh pingsan di hadapan mayat bapak. Tak percaya aku harus mengalami peristiwa tragis ini. Bagaimana dengan ibuku?
Entah berapa lama aku pingsan. Aku sadar ketika ibuku memelukku dan menciumi dengan rasa duka yang mendalam. Ibu menangis terisak-isak tiada berhenti. Waktu sudah siang dan banyak orang berkumpul di rumah Haji Sueb. Aku mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Pecahlah tangisku saat tahu kalau bapak sudah tidak ada lagi.
Mayat bapak sudah dibungkus kain kafan dan disimpan terbaring di ruang tamu Haji Sueb. Haji Sueb mendekati ketika diberitahu aku sudah sadar. Wajahnya nampak berduka ketika menatap wajahku. Dia lalu berkata:
“Kamu akan bapak angkat sebagai anak bapak sendiri. Bapak akan membiayai kamu sekolah sampai kamu meraih sarjana!” ucap Haji Sueb dengan mencucurkan air mata sedih tiada terkita kehilangan bapakku.
Aku menarik napas dalam-dalam, ada rasa gembira mendengar ucapan Haji Sueb begitu, tapi juga rasa duka kehilangan bapak yang selama ini memperhatikanku.
Aku tak kuasa menatap mayat bapak, air mataku terus mengalir deras. Kenangan indah dengan bapak akan selalu terpatri dalam kalbu, sungguh bapakku seorang petani yang aku banggakan. Dia meninggal dunia dalam keadaan berjihad di jalan Allah. Dia memelihara harta benda milik Haji Sueb.*** Tamat
Minggu, 25 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar