LUCU sekali kalau melihat adikku yang berusia setahun. Badannya gemuk serta memiliki rambut yang agak kriting. Kulitnya putih bersih . Wajahnya cantik dan menarik, sehingga tak heran kalau tetangga yang lewat melihat adikku, pastilah akan berkata :”Gemas melihat Neng Putri!” Setiap pulang sekolah aku selalu mengasuh dan mengajak bermain berkeliling di sekitar komplek.
Ia berlari-lari kecil sambil tertawa saat dikejar olehku. Ia paling senang bermain dengan kucing, sehingga kalau ada kucing yang lewat akan segera dikejarnya. Walaupun terjatuh, namun ia akan kembali berdiri dan mengejar kembali. Aku suka kasihan kalau sudah melihat kucing yang belum tertangkap, ia akan menangis dan mejerit-jerit. Ia sedang lucu-lucunya saat bermain.
Kehadiran adikku di rumah telah memberikan warna yang baru dalam kehidupan kami, terlebih Neng Putri merupakan adikku yang kedua yang selama ini aku harapkan. Setiap hari sepulang sekolah, aku mengasuhnya dengan telaten dan memberinya makan. Ibu merasa gembira dengan bantuanku, sehingga ia merasa bahagia mempunyai anak yang sudah bisa meringankan beban orangtua.
“Kalau kamu capai, istirahat saja, biarkan Ade sama Ibu,” kata ibu ketika aku pulang kulihat adikku merengek ingin bersama.
“Nggak apa-apa, Bu! Aku nggak capai koq, aku malah senang. Kalau sudah bermain dengan Ade aku jadi nggak capai,”
“Tapi kamu harus ingat, sebentar lagi akan ujian. Kamu harus rajin belajar, agar dapat beasiswa. Bukankah kami ingin melanjutkan sekolah di kota bersama kakek dan nenek kamu?”
“Aku rajin belajar Bu. Tadi saja ulangan matematika aku mendapat nilai tertinggi di kelas,”
“Wah, hebat anak Ibu. Coba ibu lihat kertas hasil ulangan,”
Aku segera mengambilnya di tas dan segera memberikan kertas selembar. Ibu tersenyum bahagia melihat nilaiku 9.
“Kamu harus semakin rajin belajar, agar dapat beasiswa. Kalau dapat beasiswa kan meringankan bapak kamu?”
Aku mengangukkan kepala. Bapakku hanyalah seorang pekerja pengangkut sampah yang setiap bulan mendapat uang cukup untuk keperluan kami sehari-hari. Terus terang saja, terkadang kami kerepotan untuk menutup biaya keperluan sekolah, apalagi adikku yang kedua tahun sekarang akan memasuki Taman Kanak-Kanak, tentu saja bapak harus memiliki uang yang cukup.
Meski sebagai tukang pengangkut sampah, namun bapakku tidak pernah mengeluh dan menyesali nasib. Bahkan aku masih ingat ucapan bapak :”Tidak pekerjaan yang hina sepanjang pekerjaaan itu halal. Pekerjaan yang hina adalah mencuri, merampok dan korupsi. Banyak pejabat sekarang ini yang melakukan pekerjaan hina, padahal mereka itu telah mendapat gaji yang besar dari pemerintah,”
Bapak menjalani pekerjaan itu sebagai ibadah, meski setiap hari harus mendorong roda dengan jarak yang cukup jauh. Terkadang bapak rajin mengumpulkan sampah-sampah yang masih berharga, termasuk mengumpulkan plastik bekas air minum, buku-buku atau koran dan majalah. Aku sendiri sering mengambil buku yang masih bisa dimanfaatkan untuk kubuca. Aku paling suka membaca terutama kalau sudah selesai mengerjalan PR atau mengasuh adik.
Aku pun suka mengumpulkan koran dan majalah bekas, bahkan aku meminta kepada bapak agar setiap hari bisa mengumpulkannya.
“Buat apa kamu kumpulkan koran, majalah dan buku-buku bekas?” tanya bapak dengan kening berkerut.
“Pak, ilmu itu bisa diperoleh dari membaca. Daripada dijual lebih baik sama aku mau dibaca saja di rumah. Biar aku simpan di rak buku,”
“Oh, kalau begitu nanti bapak akan kumpulkan. Mudah-mudahan saja kamu semakin bertambah ilmu,”
“Insya Allah, Pak! Kata Pak guru di sekolah, rajin membaca akan menambah wawasan pengetahuan dan kita tidak akan tertinggal informasi,”
Bapak nampak gembira. Bapakku tidak tamat sekolah SD, karena dulu orangtuanya tidak sanggup membiayai. Ia terpaksa bekerja membantu kedua orangtuanya dengan menjadi pengembala kambing milik Haji Amin.
Kalau mendengar perjalanan hidupnya, aku tak kuasa menahan air mata. Bapakku berasal dari keluarga miskin. Saking miskinnya, bapak pernah menahan parut semalaman karena di rumah tidak mempunyai nasi. “Terpaksa malam-malam bapak keluar untuk mencari makanan, kebetulan di depan rumah ada pohon jambu yang sedang berbuah. Meski belum masak, bapak makan saja jambu daripada perut terlilit kelaparan,” ungkapnya.
Aku hanya menarik napas panjang dengan hati sendu. Ah, kasihan bapak harus menderita. “Makanya bapak bertekad akan menyekolahkan kamu agar menjadi anak yang mempunyai pendidikan, sebab tanpa sekolah akan menjadi anak yang ketinggalan,” katanya.
Aku terharu mendengar ucapan itu. Bapak ingin sekali agar aku menjadi anak yang berhasil. Tak heran, kalau bapak setiap hari membanting tulang bekerja keras agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Aku bangga memiliki bapak yang mempunyai rasa tanggungjawab yang begitu besar terhadap keluarga. Aku berjanji dalam hati ingin membahagiakan bapak dengan prestasi yang baik di sekolah.
Kerapkali aku kasihan, kalau kebetulan melihat bapak sedang mendorong gerobak besar. Keringat di wajahnya bercucuran ketika aku melihatnya. Meski kelelahan namun bapak terus mendorong gerobak itu ke arah utara. Dari kejauhan aku hanya bisa berdoa :”Ya Allah, berilah kekuatan pada bapakku.”
Namun suatu hari betapa aku terkejut ketika diberitahu oleh guru di sekolah, kalau bapakku tertabrak kendaraan saat membawa gerobok sampah. Meski saat itu sedang belajar, aku segera minta izin untuk melihat keadaan bapak yang saat sekarang sedang berada di rumah sakit.
Memang sejak tadi pagi, aku merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam hati. Bahkan, tidak biasanya saat bapak akan pergi bekerja, beberapa kali menasihatiku agar menjadi anak yang rajin belajar dan harus membantu ibu di rumah. “Jangan banyak bermain yang tidak berguna,” pesannya.
Masih terlintas dalam benakku, wajah bapak agak sedikit pucat dan sejak beberapa hari terakhir ini lebih banyak diam. Aku tidak menanyakan mengapa pucat dan tidak banyak bicara?
Aku ingin segera sampai ke rumah sakit. Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan bapakku. Wajahku diliputi kecemasan yang tidak terkira. Kendaraan angkutan kota yang mengantarkan aku ke rumah sakit, telah sampai. Setelah membayar ongkos, aku berjalan cepat ingin menuju ruang darurat. Kulihat ibu sudah ada di situ. Aku segera memburu ibu sambil menangis terisak-isak.
“Bagaimana keadaan bapak, Bu!” suaraku tertekan dengan rasa sedih.
Ibu tidak menjawab hanya merangkul aku dengan erat.
“Kita harus sabar menghadapi musibah ini,” ujar Ibu seraya menyusut air matanya yang membasahi pipi.
Kami disuruh menunggu di ruangan, karena bapak sedang ditangani dokter. Hati kami gelisah dan bingung, bagaimana nasib bapak? Beberapa kali ibu menenangkan aku, namun kulihat ibu sendiri nampak gelisah.
Tidak lama, pintu ruang emergency terbuka dan seorang dokter berpakaian putih keluar. Aku dan ibu segera memburu dokter itu.
“Bagaimana keadaan bapakku?” kataku dengan suara tertahan, hampir berbarengan dengan ibuku.
Dokter muda itu beberapa kali menelan ludah, seolah berat akan mengatakannya.
“Bagaimana dokter?” kata ibuku.
“Ibu harus sabar dan tabah menghadapi musibah ini….bapak tidak bisa ditolong karena luka di kepalanya parah sekali,”
Ruang emergency itu seperti berputar. Mendadak napasku seketika berhenti dan aku tak kuasa menahan tubuhku. Aku langsung merangkul ibu dan seketika jatuh pingsan di pangkuan ibu. Untung saja ibu tidak terjatuh. Aku tidak ingat apa-apa. Aku kini menjadi yatim; ditinggal bapak yang selama ini menjadi tumpuan hidup kami.
Ketika sadar aku sudah berada di ruangan. Ibu mengusap rambutku seraya berkata pelan:”Kita harus sabar menghadapi musibah ini,”
Aku menutup wajah, teringat kepada bapak yang begitu sangat mencintai kami. “Sudahlah, …kita segera pulang membawa jenazah bapak. Mudah-mudahan bapak diterima amal ibadahnya,” kata Ibu.
Aku salut dan kagum pada Ibu. Ia nampak tidak sepertiku yang terus menerus menangis dan beberapa kali hampir jatuh pingsan.
“Hati ibu lebih hancur daripada kamu…namun ibu tetap berdoa dan memohon kekuatan agar jangan sampai larut dalam duka…toh semua ini adalah takdir yang harus diterima dengan lapang dada…” ucap ibu ketika kami sudah ada di rumah.
Kami tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini, sementara ibu harus mengurus tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Aku sendiri hanya bisa menangis bila mengingat masa depan; siapa yang akan menopang hidup kami? ***Tamat
Selasa, 30 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar