AKU tak kuasa menahan air mata, ketika si Darwin teman sekelasku mengatakan kalau aku anak hitam kaya monyet. Sungguh menyakitkan sekali. Bukan satu kali ini saja Darwin menghina kepadaku, tetapi aku tetap sabar.
“Sudahlah suatu hari harus diberi pelajaran orang yang sombong itu,” ujar Ibuku ketika aku pulang dengan derai air mata. “Kamu bisa mengalahkan dia, kamu harus lebih pintar daripada dia, nanti malam ibu akan ajarkan ilmu silat untuk memberi pelajaran kepada anak itu,”
Benar juga kata Ibu, pikirku, aku harus bisa melawan si Darwin dengan kesungguhan belajar silat. Malamnya aku berlatih silat kepada Ibu, “Ingat ilmu silat bukan untuk disombongkan atau kamu manfaatkan untuk kejahatan, tetapi kamu harus lebih sabar dalam hidup ini,” ujar Ibuku yang memang sejak masih muda sebagai perempuan yang jago bersilat, tetapi ibu tidak pernah memperlihatkan diri. Dia tidak menonjolkan diri bisa bermain silat.
Aku berlatih gerakan ilmu silat setiap hari. Rasa percaya diriku semakin tebal dengan menguasai jurus-jurus ilmu silat itu. Di sekolah pun aku tidak pernah ngomong kepada teman-teman kalau selama ini aku tekun belajar ilmu silat. Aku sembunyikan saja.
Ketika teringat akan ucapan si Darwin, seringkali darahku mendidih, aku benar-benar sakit hati. Dia memang anak orang kaya, namun banyak teman yang tidak menyukainya. Terkadang di sekolah suka memamerkan kekayaan dengan memperlihatkan barang mainan yang baru. Tetapi di kelas tergolong orang yang tidak menonjol dalam pelajaran, terkadang pelajaran IPA mendapat nilai 4 atau 3. Itulah kelemahannya.
Kuakui memang aku memiliki kulit hitam, tetapi kalau aku dihina kaya monyet, siapa yang tidak sakit hati?
Setiap hari Darwin selalu diantar ke sekolah dengan menggunakan sedan BMW. Ketika turun dari mobil, dia berjalan kaki dengan tangan di pinggang. Kacamatanya yang tebal sengaja ditempelkan dekat hidung, sehingga percis kaya orang blo on.
Ketika berpapasan denganku, seketika dia langsung mengejek.
“Hai monyet, mau kemana kamu?”
Spontan aku menjawabnya,
“Mau ke depan, Hai Badak!” ucapku sebab dia memang memiliki tubuh besar.
“Hah! Kamu anak miskin berani menyebut aku badak!” ucapnya dengan mimik muka marah.
“Hai Badak, selama ini aku diam saja terhadap kamu. Kamu jangan suka menghina aku, memangnya aku tidak bisa melawan kamu!” mendadak emosiku tersulut diluar dugaan. Aku tidak boleh membiarkan kesombongannya, ucapku dalam hatiku. Aku harus melawan.
“Awas kamu kutempeleng!” Si Darwin mendekat kearahku.
“Aku tidak takut kepada badak…sekarang mau apa kamu?” aku menantang dan mendekat kepadanya.
Tiba-tiba Darwin mengangkat tangan hendak menempeleng aku. Maka tanpa pikir dua kali, aku langsung menendang alat vitalnya sekeras-kerasnya. “Aduh sakit!” teriak Darwin seraya memegang kemaluannya.
Ketika dia merunduk menahan sakit kemaluannya, seketika tanganku bergerak ke wajahnya. “Buuk” . Darwin meringgis kesakitan mendapat pukulanku.
“Nah, sekarang kamu mau apa? Hai Darwin kamu jangan sombong jadi orang itu. Banyak teman yang tidak menyukai omonganmu yang seringkali menyakitkan, sekarang apa yang kau inginkan?” aku menantang.
Rupanya pertengkaran dengan Darwin telah menarik teman-teman sekelas, maka mereka langsung saja berkumpul di halaman sekolah.
“Memang kamu anak sombong!” teriak Rina
“Harusnya kamu jangan sekolah di sini…!” ujar Deri
“Harus diberi pelajaran si Darwin itu….!” ujar Lia.
Ibu Juju, Kepala Sekolah SD Kencana 3, melihat kelas 5 tengah ribut bergegas mendekati kami. Tampak si Darwin masih menahan rasa sakit bekas tendangan dan pukulanku di wajahnya.
“Kamu kenapa Darwin?” tanya Bu Juju.
Aku segera saja berkata, “Bu, dia sudah beberapa kali menghina aku….dia mengatakan monyet kepadaku…aku sakit hati dikatakan begitu, maka aku melawannya,!”
“Hai Darwin, benarkan kamu menghina temanmu dengan mengatakan monyet?” mata Ibu Juju tidak berkedip, selama ini sudah diketahui kalau Darwin sering membuat tingkah berlebihan di sekolah.
“Iya…i…ya, Bu!” ujarnya dengan wajah tertunduk.
“Kamu Dewi dan Darwin ke ruangan Ibu sekarang,”
Aku menganggukkan kepala seraya mengikuti Ibu Juju berjalan menuju ruangan kantor kepala sekolah, diikuti Darwin.
“Darwin, Ibu beri peringatan kepada kamu. Apabila kamu suka menghina kepada sesame teman kamu, maka kamu akan Ibu keluarkan dari sekolah ini. Sesama teman tidak boleh menghina…!”
“Tapi Bu,…Dewi pun mengatakan kepada saya Badak!” Darwin menyela pembicaraan Ibu Juju.
“Betulkah begitu Dewi!”
“Betul aku mengatakan Badak kepada Darwin, karena aku sudah tidak tahan mendapat ejekan dan hinaan yang bukan satu kali saja!”ucapku lantang.
“Ya…ya kalau begitu…artinya tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api! Maka yang ibu salahkan adalah yang pertama mengucapkan kata penghinaan itu,”
Darwin tertunduk tidak berkutik, dia merasa bersalah.
“Nah, sekarang Darwin, kalau kamu terdengar lagi bertengkar dengan teman atau menghina siapa saja yang ada di sekolah ini, ibu tidak segan-segan akan mengeluarkan kamu dari sekolah ini…ibu tidak suka mempunyai murid yang ucapannya kotor, sekarang kamu harus menulis kalimat satu lembar penuh, isinya SAYA TIDAK AKAN MENGHINA SIAPAPUN, KARENA SAMA DENGAN MENGHINA DIRI SAYA SENDIRI”
Darwin menganggukkan kepala.
“Kerjakan tugas itu sekarang! “ ujar Ibu Juju seraya memberikan kertas selembar dengan pensilnya.
Darwin mengambil kertas dan pensil, kemudian menuliskan kalimat yang tadi disebutkan Ibu Juju.
“Dewi, kamu silakan masuk ke kelas….sekarang pelajaran apa?”
“Matematika Bu!”
“Ya segera masuk saja ke kelas,”
Aku segera saja keluar dari ruang kantor kepala sekolah. Sementara Darwin terus saja menulis kalimat yang ditugaskan oleh Ibu Juju sehingga penuh satu halaman.
“Mudah-mudahan Darwin sadar dan berubah sikapnya setelah kejadian ini,” ucapku penuh harap.
Ketika telah selesai belajar. Darwin mendadak mendekatiku, aku sempat kaget takut dia mendendam, namun ternyata diluar dugaan sama sekali.
“Dewi, aku mohon maaf kepada kamu. Aku merasa bersalah…sebenarnya menghina kamu sama dengan menghina diriku sendiri…apa yang tadi Ibu Juju perintahkan kepadaku, betul sekali. Mulai sekarang aku tidak mau menghina siapapun,” ucap Darwin seraya menyodorkan tangan.
Aku pun menerima genggaman tangannya dan berkata,
“Syukur kalau begitu…kamu adalah teman yang jantan dan mau merubah. Maka sebaik-baiknya manusia adalah yang mau berubah kearah kebaikan…aku maafkan kamu!” ucapku dengan tersenyum. Teman sekelas bertepuk tangan ketika melihat kami bersalaman. ***
Bandung, 29 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar