Kamis, 23 Juni 2011

Aku Anak Pemulung Sampah

          ENTAH sejak kapan aku selalu mengikuti bapak di gerobak sampah yang selalu dibawanya setiap hari. Aku sendiri tidak tahu, mengapa ayahku menjadi pemulung sampah, apakah tidak ada pekerjaan lain? Namun aku sering sedih bila ayah mengeluh karena tidak memperoleh uang, sementara  kebutuhan makan tidak bisa ditunda.
            Ibuku setiap hari membantu ayah membereskan kardus dan koran bekas, termasuk botol bekas dan plastik air minum  yang dikumpulkan. Biasanya seminggu dua kali barang-barang bekas itu dijual dengan harga yang cukup lumayan untuk kebutuhan kami sehari-hari. Namun itu pun kalau sampah yang kami peroleh cukup banyak.
            Usiaku sudah menginjak sekolah, berkali-kali aku meminta kepada ayah agar di sekolahkan, tetapi ayah selalu berlasan tidak mempunyai biaya. Aku kecewa karena keinginanku tidak kesampaian.  Di waktu-waktu senggang berada di bawah jembatan setelah kembali berkeliling mencari sampah, aku sering belajar mambaca buku yang dibimbing ibu.
            Lama kelamaan aku sudah bisa membaca berkat bimbingan ibu yang hampir setiap hari mengajari cara membaca. Ayah dan ibusering mengumpulkan buku-buku bekas yang diperoleh di tempat-tempat sampah. Mereka menyimpan baik-baik setiap buku yang didapat di tempat sampah atau terkadang saling tukar dengan sesama pemulung.
            Kami tidak mempunyai rumah tetap. Kami berpindah-pindah dari satu tempat yang lain. Sekarang sudah lebih satu tahun kami tinggal di kolong jembatan bersama pemulung lain. Ayah membuat tempat tidur yang sangat sederhana terbuat dari kardus besar yang ditutup dengan plastik, cukup untuk kami bertiga.
            Yang paling menyedihkan ialah kalau air sungai meluap dan hujan deras, kami terpaksa harus menyingkir dari tempat itu, karena terdesak oleh besarnya air sungai yang kotor dan bau. Kalau sudah begini aku seringkali mencucurkan air mata, betapa hidup kami merana dan tidak ada yang peduli kepada kami.
             Meski pekerjaan kamu pemulung sampah, namun ayah dan ibu selalu rajin beribadah dan tidak pernah meninggalkan kewajiban shalat. Ayah bangun sebelum terdengar suara azdan di mesjid. Ia selalu mengajakku shalat di mesjid yang kebetulan tidak terlalu  jauh.
            “Menjadi pemulung bukanlah pekerjaan hina. Pekerjaan yang hina itu adalah mencuri milik orang lain atau korupsi uang negara. Kita harus bangga menjadi pemulung yang berusaha mencari makanan yang halal,” ungkap ayahku suatu ketika saat kami berkumpul bersama.
            “Tapi apakah kita akan terus begini? Kenapa kita tidak bisa seperti orang lain  yang mempunyai rumah sendiri?” tanyaku.
            “Kita juga ingin seperti orang lain, maka sejak sekarang kamu harus rajin belajar dan tekun beribadah. Ayah dan ibu akan berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Mudah-mudahan saja kita bisa berubah!”
            Aku mengangukkan kepala bahagia karena berharap agar tidak selamanya berada di kolong jembatan. Hidup di sini sangat memprihatinkan dan kadang-kadang harus kuat menahan baunya kotoran yang menyebar dari sungai. Tidak sedikit juga orang yang melecehkan kami sebagai pemulung, padahal sebenarnya kami tidak ingin hidup seperti ini.
            Dalam hatiku ada satu tekad kuat untuk mengubah nasib agar tidak menjadi pemulung seperti ayahku. Aku ingin menjadi orang yang berhasil dan tidak hidup susah, itu sebabnya aku pegang teguh ucapan ayahku agar rajin belajar terutama membaca buku. Setiap kali ayah memperoleh buku, aku selalu membacanya, meskipun buku itu untuk siswa SMP atau SMU, bahkan juga perguruan tinggi.
            Yang membuat aku mencucurkan air mata adalah bila aku melihat anak-anak  mengenakan seragam sekolah sedang berjalan bersama. Aku tak kuasa menahan air mata, apalagi ketika mereka saling bercanda. Pernah aku mengikuti mereka dari arah belakang, sekedar ingin tahu sekolah mereka. Ternyata tempat sekolah tidaklah terlalu jauh dari jembatan tempat aku tinggal, cukup berjalan 2 km.
            Di belakang sekolah, diam-diam aku mendengarkan suara guru yang sedang menerangkan pelajaran. Terbayang dalam benakku, betapa ceria anak-anak yang sedang belajar di kelas, apalagi sesekali kudengar anak-anak tertawa.
            Berulang kali aku mengajak ibu agar aku didaftarkan menjadi siswa SD, namun berulangkali pula ibu menggelengkan kepala,
            “Darimana biaya sekolah? Untuk makan sehari-hari saja kita kekurangan!” ujarnya dengan mata berlinang air mata. Ibu menguasap kepalaku seolah menghibur keinginanku.
            Mendengar jawaban itu, aku hanya menundukkan kepala dan tak kuasa menatap wajah ibu. Aku memaklumi, namun aku tidak pernah berputus asa, aku akan berusaha untuk terus  membaca buku-buku yang kumiliki. Dari situ aku mulai belajar tentang ilmu-ilmu sosial, matematika, IPA dan segala macam buku yang kami peroleh di tempat sampah. Setiap hari aku selalu membaca buku dan mengkaji apa yang ada dalam buku. Lama kelamaan, aku merasa ketagihan untuk membaca dan tidak ada kesibukan yang aku lakukan selain membaca.
            Tidak itu saja, aku pun membaca koran bekas yang mudah kuperoleh dari ayah. Aku pun rajin mengumpulkan Koran bekas yang berisi tulisan yang bermanfaat. Aku menggunting dan mengkliping artikel yang penting untuk aku ketahui, sebab aku yakin suatu ketika aku bisa bersekolah.
            Kebiasaan aku berada di belakang sekolah sekedar untuk mendengarkan guru yang sedang menerangkan di kelas, rupanya diam-diam telah menerbitkan rasa kasihan dan prihatian seorang guru yang kebetulan suka melihatku.
            Ketika suatu hari aku didatangi seorang guru perempuan, bukan main aku kaget dan takut. Bahkan tubuhku bergetar takut guru itu marah. Namun dengan senyum yang ramah dan bersahabt, rasa gugup dan takutku hilang,
            “Kamu anak siapa? Dan mengapa kamu ada di sini?” tanyanya.
            Aku menatap guru yang berkerudung itu.
            “Aku…aku ingin sekolah…namun aku anak miskin…ayahku pemulung sampah. Aku ke sini sekedar mendengarkan guru yang sedang mengajar di kelas,” kataku dengan suara berat.
            Guru itu nampak kaget dan terlihat rasa simpati dan tertarik dengan ucapanku.
          “Kamu ingin sekolah? Jadi kamu ada di belakang kelas itu, ingin mendengarkan guru yang sedang mengajar?” tanyanya.
            “Betul, Bu! Aku ingin sekolah di sini, namun ayah dan ibu tidak mempunyai biaya untuk sekolah,”
            “Kalau begitu…yuk sekarang kamu ikut ke ruang guru…kamu bisa sekolah di sini!”
            “Hah!… benarkah itu Bu!” aku kaget dan sekaligus gembira tidak menyangka sama sekali. Ibu guru itu telah memberi harapan dan impian yang selama ini aku rindukan.
            Aku dibawa ke ruang guru. Dia menanyakan tentang asal-usulku dan keadaan kedua orangtua. Secara jujur aku terangkan kepadanya. Sesaat aku disuruh menunggu, kemudian ibu itu masuk ke ruang kepala sekolah. Rupanya  ada pembicaraan dengan kepala sekolah tentang aku. Tidak lama dia sudah keluar, dan mengabarkan kalau aku harus menghadap kepala sekolah. Ada rasa minder dan malu ketika aku diajak untuk menghadap kepala sekolah oleh ibu guru yang baru kukenal yang namanya Ibu Erna itu.
Dibalik semua itu, tetap ada rasa bahagia sebab aku teringat ucapan Ibu Erna kalau aku bisa sekolah. Ketika sudah bertemu langsung dengan kepala sekolah, Ibu Nita. Dia bertanya,
“Apakah kamu sudah bisa membaca?”
“Aku sudah lancar Bu…boleh ibu coba?”
“Boleh kalau begitu. Nih bacakan buku ini?” katanya seraya menyodorkan sebuah buku pelajaran.
Tanpa ada kesulitan aku membacakan dengan suara keras buku itu.
“Sudah…sudah…kalau begitu kamu besok ikut saja dengan anak-anak kelas satu di sini…kamu belajar di sini,”
“Tapi aku belum mempunyai seragam sekolah?”
“Enggak apa-apa. Pakai saja baju yang kamu miliki. Besok akan ibu beri baju seragam bekas yang kebetulan tidak dipakai oleh anak ibu,”
Betapa riang gembira dan berbunga-bunga hati dan perasaanku, sebab impianku akhirnya bisa terwujud; aku bisa sekolah. Aku bersyukur kepada Allah, ternyata memberi jalan kemudahan.
Ketika berita itu kusampaikan kepada ayah dan ibu yang kebetulan sedang ada di kolong jembatan, betapa mereka kaget dan terkejut.
“Bagaimana kamu ini? Siapa yang akan membiayai?” kata ayah bengong.
“Aku sudah bertemu dengan kepala sekolah dan aku sudah disuruh sekolah besok. Pokoknya aku akan sekolah…aku ingin sekolah Bu!” kataku.
Kulihat ayah dan ibuku menarik napas; seolah tak percaya dengan apa yang terjadi denganku.
“Tidakkah aku salah dengar?” tandas ibu.
“Tidak Bu. Aku bisa sekolah, bahkan besok aku akan diberi seragam sekolah,”
Kulihat kedua bola mata mereka berlinang air mata; tak mengira kalau keinginanku selama ini bisa tercapai juga. Padahal sudah setahun yang lalu keinginanku sekolah itu disampaikan kepada mereka.
Hari itu menjadi hari yang paling berbahagia dan aku sangat berharap sekali bisa belajar bersama di kelas. Aku tidak lagi mendengarkan guru di batasi tembok dinding kelas. Ada keharuan menyelimuti dadaku dan aku bertekad untuk menjadi siswa berprestasi. Aku akan belajar keras dan rajin ke sekolah setiap hari.
Selesai shalat, aku sudah bersiap-siap ke sekolah. Ayah dan ibuku hanya memperhatikan saja apa yang aku kerjakan. Entah bagaimana perasaan mereka aku bisa sekolah, aku tidak tahu. Hanya saja, ibu kerapkali berlinang air mata setiap kali aku mengatakan ingin sekolah.
“Kalau begitu, ayah akan berusaha agar kamu tetap bisa sekolah. Meskipun ayah pemulung, kamu harus memperlihatkan sebagai anak yang jujur, ulet, rajin dan berprestasi. Ayah yakin suatu ketika hidup kita akan berubah! Ayah juga tidak ingin terus menerus menjadi pemulung…kita harus berubah!” katanya.    
            Aku berangkat ke sekolah dengan tekad kuat ingin menjadi siswa yang berprestasi. Ingin menjadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Ingin menjadi siswa teladan dan aku yakin bisa menjadi anak berprestasi. Waktuku akan kuhabiskan dengan belajar dan banyak membaca buku-bulu.
            Aku juga ingin memperlihatkan kepada para guru dan kepala sekolah; kalau aku adalah anak pemulung sampah yang bisa berprestasi dan mengharumkan nama sekolah. Aku pun bisa menjadi anak kebanggaan sekolah.
            Aku tersenyum dengan tekadku yang sudah bulat; aku harus menjadi siswa yang memiliki prestasi bagus di sekolah. *** Tamat
Kamis  15 Mei 2008
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar