AKU terkadang sedih bila setiap hari kulihat ibuku pagi-pagi sekali sudah berangkat menbawa dagangannya. Tanpa kenal lelah, ibu berusaha untuk bisa menutupi kehidupan sehari-hari. Untung biaya sekolah sudah gratis dengan adanya Biaya Operasional Sekolah {BOS}. Namun tetap kebutuhan baju seragam, kaos olahraga atau buku catatan harus membeli sendiri, maka ibuku berusaha agar aku tetap bisa sekolah.
Sejak ditinggal ayah setahun yang lalu karena menderita penyakit kanker otak, nyaris kehidupan kami bagaikam burung yang kehilangan sayap. Ibu harus membanting tulang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kepergian ayah telah memudarkan harapanku untuk bisa melanjutkan sekolah sampai tingkat tinggi. Ayah selalu mendorong aku agar bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi,
“Pokoknya ayah akan bekerja keras agar kamu bisa sampai perguruan tinggi, doakan saja!” suara itu terngiang di telingaku ketika ayah masih sehat. Meskipun ayah hanya bekerja sebagai seorang loper Koran dan majalah, namun berharap sekali agar aku bisa menjadi sarjana. Aku sering dijadikan kebanggaan ayah sebab nilaiku di sekolah tidak ada dibawah 7, rata-data nilaiku 8 dan 9.
Aku kasihan pada ibu yang harus berdagang makanan nasi dan lauk pauk di pasar. Pembelinya adalah pekerja toko dan gudang serta pengangkut barang-barang berat. Ibu sudah mempunyai langganan tetap yang setiap hari harus dilayani. Aku terkadang membantu ibu menyiapkan masakan sejak jam 3 subuh. Aku ikut menyisik bawang atau membuat sambal pedas atau menyiapkan air panas untuk minum.
Kami berangkat ketika selesai sholat subuh mengantarkan makanan ke pasar. Ibu mempunyai jongko yang berukuran kecil. Namun sudah dikenal di pasar sebagai penjual nasi yang harganya murah. Itu sebabnya, setiap hari jongkonya penuh oleh orang-orang yang makan. Setiap pulang sekolah, aku bergegas ke jongko ibu dan membantu membersihkan piring, gelas, dan menyediakan minuman buat pelanggan.
Aku harus bisa membagi waktu antara sekolah dan membantu ibu. Di saat waktu luang aku sempatkan untuk belajar di jongko. Meski terasa lelah, namun aku harus bisa sekolah. Aku ingin sekali menjadi sarjana sesuai almarhum ayahku.
Aku mempunyai adik bernama Nina, sekarang menginjak kelas 2 SD. Dia sudah terbiasa membersihkan rumah atau mencuci pakaian kami. Meski badannya kecil, namun dia memiliki tenaga yang kuat. Di sekolah tergolong anak yang rajin dan aktif dalam berbagai kegiatan. Bahkan dalam kegiatan perlombaan kegiatan kepramukaan, selalu menjadi juara.
Walaupun kami yatim, tetapi kami tidak pernah mengeluh atau mengemis kepada orang lain. Bahkan ibu melarang aku untuk minta-minta kepada siapapun, “Meskipun kita miskin, tetapi jangan mengemis…ibu masih mampu membiayai kalian berdua,” ujarnya.
Ibu sangat teguh memegang kejujuran, bahkan pernah suatu ketika aku dimarahi ketika pulang sekolah aku berbohong telah belajar bersama, padahal aku bermain sepakbola bersama teman-teman. Rupanya adikku melaporkannya.
“Ibu tidak suka kamu berbohong…kamu bilang belajar bersama…tetapi kamu bermain sepakbola…yang mana yang benar?” wajah ibu memerah ketika aku tidak memberikan jawaban.
“Maafkan aku Bu!...aku telah berbohong!” ucapku dengan bibir bergetar ketakutan.
“Ingat, berbohong akan merugikan diri kamu sendiri. Satu kali berbohong, maka ketika ketahuan, akan berbohong lagi…jadi semakin banyak kebohongan yang dilakukan…dan itu berarti kamu telah membohongi dirimu sendiri!” ucap ibu. Aku tertegun mendengar nasihat ibu dan memang benar, berbohong hanya menyiksa diri saja, sebab hati gelisah ketika mengucapkan kebohongan.
Aku pegang teguh kata-kata ibu, agar aku selalu jujur dalam ucapan dan tindakan.
Suatu ketika, jongko ibu penuh oleh orang-orang yang makan siang. Aku pun sibuk melayani mereka dengan menyediakan air minum. Kemudian aku membersihkan piring dan gelas bekas makan mereka. Namun ketika aku akan membersihkan meja dan melihat ke bawah, aku terkejut sebab disitu kulihat ada dompet, mungkin milik seorang pelanggan yang jatuh. Aku segera mengambilnya. Lalu kuberikan pada Ibu.
“Dompet milik siapa ya?” tanya ibu, seraya melihat-lihat dompet berwarna hitam itu. Ibu memberanika diri membukanya, ternyata disitu ada uang seratus ribuan 20 lembar, berarti ada dua juta rupiah. Ibu kaget juga melihat uang yang sangat besar. Baru kali ini menemukan uang!
“Ada KTP nggak di dompetnya?” tanyaku. Ibu membuka-buka kembali dompet itu, namun tidak ada nama identitas pemilik disitu, hanya berisi uang dan beberapa catatan dalam kertas kecil.
“Nggak ada…hanya uang!” kata Ibu, “Kasihan orang yang kehilangan dompet ini…mungkin sekarang sedang mencari-cari! Kita tungguh saja sampai sore…apakah ada orang yang mencari…atau besok ibu akan sampaikan kepada pelanggan di sini!”
Namun ditunggu sampai sore, tidak ada orang yang mencari dompet. Demikian pula ketika esok harinya, ibu segera mengumumkan kepada pelanggannya pada siang hari, barangkali ada yang kehilangan dompet, namun mereka menggelengkan kepala!
“Ibu menjadi heran…dompet milik siapa ya!” kening ibu terlihat mengerut memikirkan tentang dompet yang berisi uang satu juta rupiah.
Sebulan duabulan sampai enam bulan, dompet itu tidak ada yang mengambil. Sementara diluar dugaan, tiba-tiba aku terserang panas di sekujur tubuhku. Rasanya baru kali ini aku menderita sakit yang hebat. Sudah hampir tiga hari suhu badannku terus panas, aku tidak mau makan. Ibu cemas, segera saja sore-sore aku dibawa ke rumah sakit. Aku harus diperiksa darah hari itu juga, sebab dikhawatirkan aku terkena demam berdarah.
Ibu nampak gelisah ketika menunggu hasil cek darah. Bukan apa-apa, sudah dapat dibayangkan seandainya saja aku demam berdarah, maka aku harus dirawat di rumah sakit, sementara biaya sama sekali tidak ada. Ibu kebingungan. Aku merasakan kegelisahan ibu dari wajah dan sorot matanya.
Setelah cek darah selesai diperiksa di laboratorium, dokter menyatakan bahwa aku terkena demam berdarah dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Ibu tercengang, karena darimana biaya untuk perawatanku. Aku menangis harus berada di rumah sakit, itu berarti biaya yang harus ibu tanggung cukup besar.
“Kamu nggak usah menangis…semua ibu yang bertanggungjawab biaya perawatan sampai kamu sembuh dan bisa pulang kembali ke rumah!”
“Tapi Bu, uang darimana ?”
“Jangan khawatir…Allah akan senantiasa menolong kita…jangan takut. Kamu berdoa saja agar lepas sembuh!” ucap ibu dengan tegar dan meyakinkan.
Aku menarik napas panjang, meski mengatakan begitu, tetapi aku tahu percis keadaan keuangan ibu yang sangat terbatas. Aku tidak tahu, bagaimana ibu mendapatkan uang untuk biaya selama aku di rumah sakit.
Untung saja, aku hanya tiga hari berada di rumah sakit. Pada hari ketiga aku sudah diperbolehkan pulang, namun aku belum bisa pulang karena keuangan belum dibayar. Biaya perawatan dan obat-obatan jumlahnya mencapai satu juta rupiah. Aku gelisah sebab sampai sore ibu belum juga datang ke rumah sakit. Tadi pagi ibu mengatakan. akan mencari uang terlebih dahulu.
Aku menduga pasti ibu sedang kesulitan untuk mendapatkan uang sebesar itu. Aku kasihan, darimana memperoleh uang itu? Ditunggu sampai terdengar suara adzan magrib, ibu belum juga datang. Tentu saja aku gelisah dan bingung, mengapa ibu belum datang juga? Di saat sedang kebingungan, tiba-tiba Ibu muncul di depannku dengan napas yang terlihat turun naik.
“Alhamdulillah, kamu bisa pulang sekarang…dari tadi ibu kebingungan untuk membayar biaya rumah sakit…untung saja ada seseorang yang mencari dompet yang hilang itu. Ibu berikan dompet dan uang itu semuanya, tetapi orang itu memberi ibu satu juta rupiah. Maka segera saja ibu bayarkan…Sekarang yuk kita pulang!” tak kuasa aku menahan tangis. Semoga saja orang yang menolongku mendapat balasan yang setimpal.***
Bandung, 29 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar