Kamis, 23 Juni 2011

Kebakaran



            SEMUA warga berlarian ketakutan dan kaget ketika melihat api terus merembet ke rumah yang paling dekat. Ibu-ibu menjerit histeris ketika melihat rumahnya terbakar.Mereka berlarian menghindari api. Harta benda yang bisa diselamatkan dibawa dengan terburu-buru.  Warga berupaya memadamkan api yang semakin membesar. Lidah api menjalar ke tempat yang mudah terbakar. Warga mengangkut barang-barang yang masih bisa selamatkan. Suasana sangat mencekam dan panik. Wajah mereka  diliputi rasa kecemasan.
            Namun api bukannya padam, tetapi sebaliknya semakin terus membesar dan menjilat setiap benda yang ada dihadapannya.. Angin kencang dari arah barat seakan menambah besarnya api. Tentu saja warga semakin cemas dan gelisah. Pemadam kebakaran belum juga muncul, padahal kebakaran sudah berlangsung satu jam lebih. Nyaris tak ada yang bisa diharapkan dalam kondisi yang serba darurat.
            Rumah  tempat tinggal kami memang padat dan saling berdempetan serta sebagian besar menggunakan kayu, sehingga api terus merembet ke rumah-rumah yang berdekatan. Jerit tangis warga terdengar di sana sini, sehingga suasana benar-benar sangat mencekam. Teriakan “Allahu Akbar” bergema di mana-mana.
            Aku terkepung dalam lingkaran api yang semakin panas. Terasa napasku sesak. Aku berusaha untuk bertahan dalam kepanasan. Sebenarnya aku ingin segera berlari keluar menyelamatkan diri. Namun aku teringat adikku yang berada di kamar. Dia sedang tertidur pulas sendirian. Sementara ayah dan ibuku sedang pergi ke untuk pasar berjualan.  Aku telah berusaha menyelamatkan  barang yang tersisa, termasuk buku sekolah yang kumiliki.  Aku sama sekali tidak mengira akan terjadi musibah kebakaran ini.
            Kudengar suara tangis adikku di kamar, tentu saja hatiku kecut  semakin tak menentu, gelisah takut adikku terbakar. Meski sudah berusia 3 tahun, namun ia tidak bisa berjalan karena kakinya cacat. Di samping tidak bisa berjalan ia pun tidak bisa bicara. kecuali menangis.  Itu yang membuat aku kasihan. Meski panas aku berusaha untuk bisa masuk ke kamar.
            Betapa mataku terbelalak, sebab aku melihat sebagian ranjang sudah terbakar.dan adikku berguling-guling karena kepanasan. Aku segera mendekati dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang. Aku bergegas keluar kamar, namun api besar menghadang di depan pintu. Aku terperangah. Tak ada jalan lain yang harus aku lakukan, kecuali berlari dengan risiko aku akan terbakar.
            Kudengar warga berteriak-teriak, karena mereka tahu kalau aku masih berada di dalam rumah yang sudah terbakar. Aku sudah kepanasan dan terasa napasku sesak. Namun tanganku memegang erat kuat-kuat adikku dalam rangkulan, takut terlepas. Api terasa semakin membesar dan sulit bagiku untuk menerobos jilatan api yang begitu besar.
            “Bismillah ya Allah lindungilah kami!” aku berdoa kepada Allah agar diberi pertolongan saat kritis. Aku masih kuat merangkul adikku yang nampak ketakutan.
            Di saat sedang kritis itu, aku melihat ada bayangan yang menuju kearahku. Bayangan itu seperti membawa air yang dingin, sehingga panas yang aku rasakan mendadak sirna seketika.  Aku bahagia sekali, apalagi bayangan itu lalu memegang tubuhku dan aneh aku seperti terbang ke atas dan kulihat api semakin membesar menghancurkan rumahku.
            Kejadian itu begitu cepat, tahu-tahu aku sudah berada di lokasi yang aman dan jauh dari kobaran api. Aku mencari-cari bayangan  itu, namun hilang entah kemana! Aneh, siapakah orang yang menolongku? Aku bertanya-tanya dalam hati. Beberapa kali aku mengedipkan mata, aneh mengapa aku sudah berada di tempat yang aman. Padahal baru saja aku dikelilingi api besar yang hampir saja membakar aku dan adikku.
            Adikku tampak tersenyum ketika aku menurunkan dari rangkulannya. Ia menatap kearahku dengan penun keheranan,
            “Kita selamat De!, namun rumah kita kebakaran!” kataku seraya menatap adikku. Ia hanya tersenyum saat kuajak bicara. Ya memang adikku tidak bisa bicara selain tersenyum dan tertawa, atau menangis kalau ada sesuatu yang diinginkan.
            Kulihat warga berlarian menyelamatkan diri dan menjerit histeris karena harta bendanya terbakar. Mereka berkumpul di lokasi yang aman dan jauh dari api. Aku mencari-cari ayah dan ibuku, siapa tahu mereka ada di sekitar daerah itu? Namun sia-sia, lama ditunggu namun mereka tidak kelihatan. Mungkin mereka tengah mencari-cari ke sana kemari.
            Aku memangku adikku dan beranjak dari tempat itu. Mudah-mudahan bisa bertemu dengan ayah dan ibuku. Aku berjalan mendekari rumahku. Kulihat ayah dan ibu sedang menangis dekat rumah yang sudah hangus terbakar. Mereka tampak shock dan tidak percaya rumahnya ludes terbakar api.
            “Pak, bagaimana dengan anak kita?” ujar ibu dengan suara tertahan dan tak kuasa menahan air mata.
            “Semoga saja mereka selamat. Namun nampaknya harapan kita tipis, sebab rumah kita sudah hangus terbakar!” kata ayahku dengan nada resah dan cemas.
            Keduanya terlihat saling berangkulan dan tak kuasa menahan kepedihan. Tubuh Ibu terlihat  lemas tak berdaya; seolah menyesali keadaan yang sudah terjadi.
            Aku mendekati mereka.
            “Bu! Aku di sini…!” kataku dengan suara keras. Tubuh ibu membalik dengan rasa terkejut dan tidak percaya terlebih ketika melihatku tengah memangku adikku. Demikian pula dengan ayahku; ia seolah tak percaya melihatku.
            “Bukankan kamu ada di dalam rumah kata para tetangga!” tanya ayah seraya mendekatiku. Ibu langsung memburu kami dan merangkul seraya menangis penuh kegembiraan.
            “Betul, kami ada di rumah….namun Alhamdulillah kami selamat!” kataku. Ayahku memelukku dengan penuh kebahagiaan, tidak mengira sama sekali kalau aku dan adikku masih ada.
            “Bagaimana kamu bisa selamat?” tanya Ibuku penasaran.
            “Aku juga tidak mengerti…ada seseorang yang menyelamatkan kami saat kami terkepung api besar…!”
            “Hah…siapa dia?”
            “Aku enggak tahu, hanya kulihat bayangan yang sangat cepat dan aku sudah berada di luar!”
            Mereka tercengang mendengar ceriteraku. Hampir tidak percaya apa yang kami alami.
            “Sudahlah kita sekarang mencari tempat mengungsi,” kata ayah mengajak kami beranjak dari rumah kami yang sudah hangus terbakar. Masih terlihat kobaran api yang melumatkan rumah. Kami tak bisa berbuat banyak selain menahan kepedihan karena banyak barang berharga yang tidak terselamatkan.
            Kami berkumpul di lokasi penampungan. Keadaan kami sungguh menyedihkan, apalagi banyak diantara kami yang kehilangan barang berharga. Kami menatap puing-puing rumah yang sudah hancur luluh Begitu cepat bencana datang menyergap kami, sementara kemarin kami masih bisa bermain dan bercanda ria dengan para tetangga.
            Ayah menarik napas dalam-dalam; ia nampak berduka dan tidak ada gairah hidup lagi.
            “Sia-sia apa yang kita kumpulkan dan membangun rumah bertahun-tahun, kalau akhirnya akan menjadi begini!” keluhnya.
            “Sabar Pak, bukan kita saja, Coba jelas yang lain, nasibnya sama seperti kita. Alhamdulillah kita selamat dan anak kita sehat. Bapak harusnya bersyukur!” ucap Ibu.
            “Bukan begitu bu, aku menyesal sudah mengumpulkan harta benda untuk masa depan kita, eh tahu-tahunya dalam hitungan jam , rumah dan segala isinya sudah hancur berantakan,!”
            “Jangan disesali semua ini musibah dan takdir dari Allah. Mudah-mudahan ada hikmahnya…”
            Ayah menarik napas panjang dan kulihat wajahnya merah, seperti menyimpan rasa marah. “Aku tetap belum bisa menerima semua ini! Darimana asal sumber api dan siapa yang membuat masalah itu?” suara ayah agak keras sehingga terdengar  oleh warga lain.
            “Api datangnya dari Pak Herman,” ujar salah seorang tetangga yang duduk tidak jauh dari kami.
            “Dimana Pak Hermannya sekarang. Dia harus bertanggungjawab terhadap kebakaran ini! Ayo kita cari Pak Herman!”
            Ayah beranjak dari duduknya dan bersiap-siap hendak mencari Pak Herman. Tapi belum juga melangkahkan kaki, seorang warga memberitahu kalau Pak Herman tewas terbakar api.
            Ayah terdiam tak berkata sepatah katapun.
            “Tidak hanya Pak Herman, istri dan ketiga anaknya pun ikut tewas terbakar api,” ujar seorang warga ,”Tuh mayatnya sedang dimandikan!”
            Ayah lemas seketika. Tadinya ia akan meminta pertanggungjawaban kepada Pak Herman mengenai bencana kebakakaran ini.
            “Sudahlah, semua juga sedang sedih dan berduka…mengapa kita akan meminta pertanggungjawaban orang yang sudah mati!” kata Ibu yang sejak tadi memperhatikan ayah.
            Aku yang sejak tadi diam saja, ikut bicara:
            “Siapa yang ingin celaka! Ini adalah takdir dari Allah.Coba kalau saja musibah itu menimpa kita seperti keluarga Pak Herman. Kita mau bagaimana?”
            Ayah terdiam dan akhirnya ia duduk kembali di lantai tanpa alas. Wajahnya murung dan sama sekali tidak bergairah.
            “Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan?”  ayah bertanya kepada ibu.
            “Sudahlah…kita harus berusaha bangkit kembali. Boleh jadi harta kekayaan kita yang kita kumpulkan , sebenarnya tidak diridhoi Allah, makanya Allah memberi peringatan kepada kita…”
            Ayahku menghela napas seperti tengah memikirkan sesuatu yang membuatnya diam seribu bahasa. Kulihat ia menggelengkan-gelengkan kepala.
            “Ada apa Ayah?” tiba-tiba aku bertanya.
            “Ayah baru menyadari… boleh jadi rumah kita kebakaran karena ayah dalam berdagang seringkali bersumpah kepada pembeli kalau harga sudah pas, padahal sebenarnya masih ada untung…!”
            “Tuh ‘kan sekarang baru ingat….!” kataku.
            “Ya ayah mengakui….kepada pembeli selalu bersumpah kalau barang yang akan dijual sudah habis modalnya….tidak ada untung, padahal semua itu bohong belaka…!”
kepala ayah menunduk menyesali semua perbuatannya.
            “Beruntunglah kita diberi peringatan oleh Allah dengan musibah…coba bapak ingat-ingat…apakah yang dilakukan Pak Herman?” tanya Ibu.
Kulihat ayah menarik napas panjang, lalu berkata :
”Ayah tahu….Pak Herman seorang yang suka membungakan uang. Ia seorang
renternir yang tidak disukai warga di sini…pantas kalau  sekeluarga mati. Itu semua akibat dosa-dosanya!”
“Kalau begitu kita masih beruntung,kita masih diberi kesempatan untuk bertobat .
Sekarang kita harus jujur dalam berdagang,!” ujar Ibu. ****Tamat
                                                                                                Selasa, 27 Mei 2007
           
             



             

1 komentar: