Selasa, 21 Juni 2011

Wow Harimau!

         

            AKU dilahirkan di sebuah perkampungan yang jauh dari keramaian kota. Kampung tempat tinggalku tergolong daerah terpencil dan tidak jauh dari hutan. Hutan itu terkenal angker dan banyak sekali hewan liar yang ganas. Jarang sekali ada orang yang berani melewati hutan yang jaraknya sekitar 1 kilometer dengan perkampungan. Kalau pun ada yang berani, biasanya orangtua yang sudah berpengalaman dan mempunyai ilmu.
            Hutan itu memang sangat luas dan tumbuh berbagai pohon kayu yang dilindungi pemerintah. Tidak ada orang yang berani melakukan penebangan kayu di hutan itu, sebab akan berhadapan dengan polisi hutan. Pernah suatu ketika ada sekelompok orang yang berniat mencuri hutan kayu, namun untung saja warga di sekitar segera mengetahui dan melakukan pengejaran. Mereka dapat ditangkap dan diproses hukum.
           Tinggal di perkampungan, tentu saja berbeda dengan di perkotaan. Di kampung, sedikit sekali tempat hiburan, bahkan nyaris tidak ada sama sekali. Setiap hari kami hanya bergelut dengan alam  tumbuhan dan hewan. Kalaupun bermain bersama teman, tidak jauh ke sungai atau ke sawah  untuk mencari ikan atau belut untuk dimakan bersama.
            Sekolah kami cukup jauh dan harus ditempuh dengan jalan kaki lebih dari 2 jam. Meski seringkali kaki kami kesakitan setelah berjalan kaki begitu panjang, namun lama kelamaan kami sudah terbiasa.
            Biasanyanya, kami berlima setiap hendak pergi dan pulang sekolah. Jalan yang kami lewati cukup  terjal, berbartu dan harus melewati sungai yang cukup deras. Namun  kami sudah terbiasa berenang.
            Ada dua orang wanita yang selalu bersama kami yaitu Nani dan Ninin. Keduanya masih saudara dengan kami. Kedua wanita itu, boleh dibilang paling berani diantara kami, bahkan seringkali kami kalah dibandingkan keberanian kami. Beberapa hari yang lalu saja, mereka berjalan berdua ke sekolah, padahal saat itu cuaca sudah agak gelap, tetapi mereka tak peduli. Mereka bisa selamat sampai ditujuan.
            Kami bersahabat akrab dengan semua teman-teman. Bahkan diantara kami senantiasa saling bantu bila ada salah seorang yang mengalami kesulitan dalam pelajaran. Kami salut kepada Nanin, sebab dia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa. Matematika yang kami anggap sulit, di tangan Nanin begitu ringan dan dengan senangnya ia akan memberitahu kepada yang lain.
            Meski wanita, namun terlihat Nanin mempunyai jiwa kepemimpinan yang menonjol dibandingkan dengan yang lain. Dalam setiap kegiatan, dia selalu menjadi orang yang bisa dewasakan, dan cepat mengambil keputusan. Kami sangat senang terhadap Nanin, karena ia sama sekali tdak sombong, selalu memperlihatkan sikap yang rendah hati.
            Aku sendiri sangat dekat dengan Nanin, bahkan kerapkali kami selalu berdiskusi setiap menghadapi masalah yang sulit di sekolah. Aku mengakui Nanin memiliki otak yang cerdas dan cemerlang, terbukti tidak ada pelajaran yang tidak bisa dikerjakan. Ia sangat ulet dan tidak gampang menyerang. Sikap itu yang sangat aku sukai.
            Setiap pulang sekolah, aku dan Nanin selalu bersama. Aku tak mengira bahwa hari itu sekolah menyelenggarakan kegiatan untuk melepas siswa-siswa yang lulus. Acara perpisahan  berlangsung sampai sore, dan kebetulan aku dan Nanin ikut menjadi panitia, sehingga kami baru pulang dari sekolah sore.
            Bu Erni sudah mengingatkan agar tidur saja di rumah, sebab hari sudah mulai gelap.
            “Jangan pulang sekarang, kasihan kamu kan jalannya cukup jauh?” kata Bu Erni.
            “Tapi gimana ya bu, tadi sudah bilang sama bapa dan ibu akan pulang,” kataku.
            “Aku juga begitu, kasihan mereka menunggu di rumah,” kata Nanin.
            “Apakah kamu tidak takut? Ibu kasihan saja sama kalian!”
            Kami terdiam, dan saling menatap; bingung mengambil keputusan. Sementara hari sudah semakin gelap. Matahari sudah terlihat mulai tenggelam. Anak-anak sudah pulang semua.
            “Gimana baiknya Nan?” tanyaku pada Nanin meminta pertimbangan.
            “Kita pulang saja. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di perjalanan…”
            “Kalau menurut kamu begitu, aku setuju saja…”
            Kami pun sepakat pulang dan menolak tawaran Ibu Erni untuk menginap di rumah.
            “Kalau memang keinginan kalian begitu, ya terserah. Biar ibu pinjami saja golok, takut ada binatang yang menganggu,”  kata Ibu Erni seraya menyerahkan dua golok yang cukup panjang dan tajam.
            “Wah…wah  kami jadi pendekar nih!” ujarku seraya terseyum.
            Ketika selesai salat magrib, kami pun sudah bersiap-siap untuk berangkat. Tidak lupa kami berdoa agar tidak ada binatang maupun orang yang berbuat jahat saat dalam perjalanan.
            Kami membawa obor  menyusuri jalan setapak yang cukup terjal dan berliku. Tidak ada rasa takut dalam diri kami, karena merasa sudah terbiasa berjalan di daerah yang sudah kami cukup kenal.
            Sepanjang perjalanan tidak ada orang yang kami jumpai. Umumnya mereka sudah tinggal di rumah, dan hanya beberapa orang saja yang lewat, itu pun dengan langkah yang cepat.
            Kami memasuki hutan. Saat itu, kami merasa ada binatang yang mengikuti kami dari belakang. Perasaan kami sudah lain, bahkan aku merasa diikuti binatang sejak tadi.
            “Nan, kamu merasa nggak ada yang mengikuti kita?” tanyaku.
            “Ya, ada suara dari belakang kita…”            
            “Apa yang harus kita lakukan?”
            “Tenang dan waspada….kita harus terus berdoa, agar binatang itu tidak menganggu kita,”
            Kami berjalan berdempetan dengan perasaan berkecamuk ketakutan. Sesekali kami saling berpegangan tangan.
            Suasana sangat sepi sekali. Desiran angin terasa menusuk kulit kami. Hati kami kebat-kebit, takut kalau binatang yang mengikuti dari belakang itu adalah harimau yang akan menerkam kami. Beberapa kali kami mendengar suara pohon yang terkena gesekan yang tersentuh badan. Tentu saja kami semakin takut dan ngeri…bagaimana kalau binatang itu menerkam kami dari belakang, entah bagaimana nasib kami!
            Meski hati kami dirasuki rasa takut, namun kami tetap berjalan dan bibir kami tak lepas terus menyebut asma Allah. Perjalanan masih cukup jauh.
            “Aku ingin melihat ke balakang, apakah binatang itu masih mengikuti kita?” kataku tiba-tiba, sebab aku tidak mendengar lagi ada suara yang mengikuti.
            “Jangan…kita terus saja berjalan. Biarkan saja…” kata Nanin.
            Aku mengikuti Nanin, terus berjalan. Namun tanpa di duga, tiba-tiba kami mendengar suara harimau dari belakang. Hati kami hampir copot seketika, apalagi ketika kami secara spontan melihat ke belakang, betapa mata kami terbelalak…sebab seekor harimau yang besar tengah berdiri di belakang kami.
            “Diam dulu. Tenangkan hati kita….” ujar Nanin. Kami sama-sama berhenti dekat sebuah pohon yang besar. Hati kami tak menentu dan bingung, apa yang harus kami lakukan. Berlari tidak mungkin bahkan akan celaka, sebab harimau pasti akan mengejar kami.
            Suara harimau tiba-tiba mengaum yang membuat bulu kuduk kami mendadak berdiri dan perasaan hati kami tak menentu. Obor masih kami pegang sekuat tenaga, sebab tidak ada lagi penerang yang bisa kami gunakan.
            Samar-samar kulihat harimau itu duduk dalam jarak 10 meter. Ia menunggui kami dan sama sekali tidak terlihat hendak menganggu kami.
            “Lho…dia malah duduk di sana?” kataku penasaran. Sorot matanya yang tajam terlihat bagaikan cahaya yang bersinar terang.
            “Aneh ya dia tidak mendekat ke sini?” kata Nanin dengan suara yang ditekan menahan rasa takut.
            “Sudahlah kita berdoa saja kepada Allah Swt, agar harimau itu tidak menganggu kita. Kita kan hanya lewat saja!” kataku.
            Harimau terlihat jelas memainkan ekornya. Ia seperti menunggui kami yang tengah kebingungan. Entah apa yang diinginkan oleh harimau itu. Beberapa kali kami melihat mulutnya terbuka dan kakinya menggaruk-garuk kepala.
            Hati kami semakin kecut, apalagi ketika harimau itu berdiri. Perasaan kami sudah tidak menentu dan kami bersiap-siap memegang golok yang tadi diberi pinjam oleh Ibu Erni.
            “Mudah-mudahan saja ia tidak berniat jahat pada kita?” ujarku dengan suara berat.
            “Kita lihat saja. Kalau dia bergerak mendekati kita, kita bersiap-siap saja,” kata Nanin.
            Namun diluar perkiraan  kami, harimau itu tidak beranjak dari tempat itu. Ia tidak bergerak, hanya duduk kembali seperti semula.
            “Yuk kita jalan saja,” ajakku pada Nanin. Nanin mengangukkan kepala seraya bersamaan melangkahkan kaki. Diluar dugaan, ternyata harimau itu pun berdiri dan berjalan pelan di belakang kami.
            “Hah kalau begitu… harimau itu berniat baik pada kita…”kataku, “coba saja kita lihat, dia mengikuti dari belakang,”
            “Iya…yah aneh sekali…baru seumur hidup aku mengalami hal seperti ini,”
            Kami pun berjalan diantara kegelapan malam. Rasa takut yang menghantui dalam diri kami, perlahan-lahan menghilang setelah kami yakin kalau harimau itu ternyata tidak menganggu kami, bahkan ia terus mengikuti dari belakang, seolah menjaga dan mengawasi kami. Harimau itu menjaga jarak dengan kami, sehingga kami masih mendengar langkah kakinya yang pelan.
            Ketika hampir dekat dengan perkampungan tempat kami tinggal. Kami melihat ada beberapa obor yang menyala dan mendekati kami. Rupanya bapak kami tengah menunggu kami pulang.
            “Alhamdulillah kalian selamat…tidak ada binatang yang menganggu?” tanya bapakku dengan penun kegembiraan tatkala melihat kami. Bapak Nanin yang terlihat bersaman dengan bapakku, terlihat juga penuh kegembiraan.
            “Nggak ada apa-apa, kami sehat-sehat saja,” kataku.
            “Yuk, cepat jalan kakinya…takut ada harimau …” kata bapakku.
            Kami bergegas berjalan. Ketika aku melihat ke belakang, tidak terlihat lagi harimau itu. Ia seperti lenyap ditelan bumi tatkala kami sudah sampai di perkampungan. Kami tak habis pikir, mengapa harimau itu sama sekali tidak menganggu kami bahkan aneh ia seperti mengawasi kami.
            Aku dan Nanin tidak banyak berceritera kejadian malam itu. Kami menyimpan saja pengalaman itu dalam hati. Suatu ketika,  kami pasti berceritera kisah yang kami alami itu kepada teman-teman di sekolah.*** Tamat

Kamis, 1 Mei 2008
           
           
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar