SUDAH lama Ibu Guru Aisyah mengajar di sekolah kami. Sudah lebih 20 tahun dia mengajar di SD Cisitu. Namun dia belum diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil {PNS}, tetapi pengabdiannya mengajar di sekolah kami sangat luar biasa. Usianya sudah menginjak 40 tahun dengan mempunyai 2 orang anak. Meski jarak sekolah dengan rumahnya jauh, namun Ibu Aisyah tidak pernah datang terlambat ke sekolah. Pagi-pagi sekali ketika guru yang lain belum datang, dia sudah berada di sekolah.
Sudah banyak siswa yang lulus dari sekolah itu yang berhasil menjadi pejabat atau pengusaha. Tetapi Ibu Aisyah tetap saja hidupnya tidak berubah, tidak hanya itu semangatnya mengajar masih menyala dalam dadanya. Walaupun sebagai honorer namun kebutuhan sehari-hari bisa tercukupi karena suaminya bekerja sebagai pedagang kelontongan.
Kami sangat kagum kepada beliau yang tidak pernah berhenti mendorong kami untuk menjadi manusia yang berguna,”Pokoknya kalian harus menuntut ilmu setinggi langit Ingat ilmu itu merupakan raja dan bila diumpakan ilmu bagaikan matahari yang bisa menerangi diri kamu,” ucap Ibu Aisyah, yang kalau sedang mengajar tangannya selalu bergerak-gerak.
Semua siswa sangat hormat dan segan kepada beliau, sebab Ibu Aisyah dihadapan kami sangat berwibawa. Dia jarang marah, namun kalau sudah marah siswa akan ketakutan karena suaranya bisa menggelegar. Memang beliau jarang tersenyum. Beliau sangat ketat dalam kedisiplinan. Siswa yang datang terlambat masuk kelas, maka akan dihukum dengan cara yang sangat mendidik kami; yaitu kami diharuskan membaca sebuah ceritera pendek, lalu ceritera itu harus dihapal dan disampaikan di depan kelas.
Sebagai Ketua Murid {KM} di kelas, aku selalu dijadikan contoh oleh Ibu Aisyah, terutama karena aku selalu meraih ranking pertama di kelas. Aku terkadang malu dibangga-banggakan oleh beliau. Aku berusaha untuk tetap sederhana dan tidak sombong dengan kepintaranku. Bahkan aku selalu memberi semangat kepada rekan-rekan sekelas yang nilainya kurang.
Tidak heran kalau di sekolah aku mempunyai banyak kawan. Aku selalu mengajak kawan-kawan agar rajin belajar dan berdiskusi bersama untuk memecahkan masalah yang dihadapi, terutama pelajaran yang sulit. Rupanya mereka sangat menurut dan ingin mempunyai prestasi di sekolah.
Ibu Aisyah pun sangat bangga terhadap kelas kami, karena sebagian besar nilai ulangan meraih nilai rata-rata 8. “Kalian harus mempertahankan prestasi dan belajar lebih giat. Ibu akan ikutsertakan kalian ikut perlombaan cerdas cermat tingkat kabupaten. Nah kalian harus giat belajar,” ujar Ibu Aisyah.
Kami sudah barang tentu giat belajar, apalagi yang ditunjuk untuk mengikuti lomba cerdas cermas itu adalah Aku, Neni, Dewi. Aku sendiri lelaki yang sangat diharapkan bisa menguasai masalah dalam setiap menjawab soal. Kami berlatih bersama, bahkan Ibu Aisyah membentuk beberapa kelompok belajar untuk memberi dukungan kepada kami agar persiapan kami semakin matang.
Setiap kelompok dipertandingkan dalam menjawab soal-soal yang sudah dipersiapkan oleh Ibu Aisyah. Anak-anak sangat bersemangat mengikuti persiapan perlombaan, sebab mereka sendiri mendapat penilaian dari Ibu Aisyah, bahkan siswa yang bisa menjawab beberapa soal yang sulit, beliau memberi bonus berupa hadiah pensil dan buku yang sudah disiapkan. Tentu saja, suasana di kelas setiap hari ramai terjadi rebutan pertanyaan oleh masing-masing kelompok. Pola itu telah mendorong para siswa untuk semakin giat belajar.
Ketika tiba waktu perlombaan yang akan dipertandingkan di Balai Kota Kabupaten, kami berangkat bersama-sama naik kendaraan angkutan desa. Sekolah kami cukup jauh jaraknya untuk mencapai Kota Kabupaten. Bahkan kendaraan harus melewati beberapa bukit bebatuan yang cukup tinggi.
Sepanjang perjalanan melewati perbukitan, di kendaraan ramai oleh keceriaan anak-anak yang akan menjadi sponsor perlombaan. Mereka tidak henti-hentinya terus bernyanyi dan saling guyon, sehingga suasana penuh canda ria dan tertawa bersama.
Namun tanpa diduga, tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari atas perbukitan. Tentu saja kami kaget mendengar gemuruh suara yang sangat kencang, Belum sempat kami melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Tiba-tiba supir berteriak, “Awas hati-hati ada longsor!” suaranya membuat kami kaget dan terperanjatn.
Supir mengehentikan mobilnya. “Cepat semua keluar!”teriaknya seraya dia turun dari kendaraan. “Semua berlari menyelamatkan diri ke belakang!”
Kami berhamburan keluar dengan panik dan hati yang tak menentu. Aku bersama teman-teman langsung berlari ketika sudah keluar dari kendaraan. Saat itu kami mendengar suara gemuruh semakin keras. Ketika kami melihat ke atas, betapa kami kaget sebab tanah-tanah perbukitan sudah mulai berjatuhan.
“Cepat besembunyi di sebuah pohon besar!” teriak Ibu Aisyah yang tampak gemetar suaranya. Para siswa berlarian mendekati pohon beringin yang besar tidak jauh dari situ. Tanah dan bebatuan berjatuhan dari atas, disusul kemudian hujan yang cukup lebat,
Beruntung kami sudah berada di pohon beringin besar. Tetapi sayang Ibu Aisyah terlambat, ia bersama supir tertimpa longsoran tanah. Kami masih mendengar suaranya yang berteriak keras meminta pertolongan, namun kami tidak bisa berbuat apa-apa, sebab tanah longsor begitu besar,
“Ibu Aisyah tertimpa longsor!” teriak anak-anak serempak. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Ibu Aisyah berusaha untuk menyelematkan diri, tetapi terlambat sebab tanah lonsoran begitu cepat menimbunnya.
“Allahu Akbar….tolong Ibu Aisyah!” aku berteriak keras. Namun suaraku tidak ada artinya, sebab Ibu Aisyah sudah lebih dahulu tertimbun. Tidak ada suara selain suara ranting-ranting pohon yang tertimbun.
Kendaraan angkutan desa pun sudah tidak terlihat, tertimbun bersamaan dengan supirnya. Kami yang semuanya anak-anak bisa selamat, sementara Ibu Aisyah dan supirnya tertimbun longsoran tanah. Untung saja kami cepat berlarian menuju pohon beringin yang diperintahkan oleh Pak Supir.Namun sayang sang supir sendiri harus tewas bersama guru kami yang sangat kami cintai.
Kami berteriak-teriak memanggil Ibu Aisyah, tetapi yang dipanggil tidak sekalipun menjawab. Hujan deras mengguyur terus daerah perbukitan. Beberapa orang warga yang kebetulan lewat ke daerah itu, segera saja melapor ke aparat kepolisian.
Ketika hujan sudah mereda, seketika warga desa dan aparat kepolisidan dibantu oleh Hansip sudah berkumpul di lokasi terjadinya longsoran. Lebih 4 meter longsoran tanah itu menimbun Ibu Aisyah dan supir angkutan desa. Sulit untuk diharapkan mereka bisa selamat.
Kami menangis dan masih memanggil-manggil guru kami yang tercinta. Namun Bu Aisyah tidak akan pernah lagi mendengar suara kami, karena tubuhnya telah tertimbun tanah dan bebatuan, nyawanya telah melayang.
Kami berduka dan sedih karena sampai beberapa hari tubuh Bu Aisyah belum juga ditemukan. Padahal tanah yang longsor terus menerus digali, tetapi aneh, Ibu Aisyah tidak pernah ditemukan oleh tim penyelamat. Ia seperti hilang ditelan bumi. Kami semakin terpukul. Namun akhirnya jasadnya ditemukan dalam keadaan telungkup dan meski sudah seminggu tetapi mayitnya tidak berbau. Bahkan aneh sekali, dari tubuhnya keluarg wewangian melati yang membuat kami tidak habis pikir.
Kami menangisi tewasnya Ibu Aisyah. Bagi kami beliau adalah guru yang sangat mulia yang selalu mengingatkan kami agar menjadi anak yang berhasil dan senantiasa taat melaksanakan perintah Allah SWT.**** Bandung, 19 Sepetember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar