ANJING itu sejak kecil suka berada di kebun kami. Ayah sebenarnya sudah beberapa kali mengusir anjing itu, namun entah mengapa , ia kembali lagi ke kebun. Warnanya kehitam-hitaman dengan sedikit kecoklatan di bagian belakang. Dia sering berada di kebun mengincar tikus yang memang banyak di situ.
Aku kurang begitu suka dengan anjing itu. Berulangkali, aku pun pernah mengusir dan melempar anjing agar segera meninggalkan kebun. Tetapi ia datang lagi. Akhirnya kami mengalah,
“Biar sajalah dia berada di kebun, asal tidak menganggu kita saja,” ujar ibuku ketika aku kesal dengan anjing yang tidak mau pergi.
“Aku gila melihat anjing itu, “ kataku.
“Ya sudah, jangan kamu lihat saja. Biarkan,”
Aku pun tidak pernah menghiraukan anjing itu lagi. Namun sesekali kami kerap terganggu bila malam hari mengonggong dengan suara yang cukup keras, mungkin ada sesuatu yang membuat dia mengeluarkan suara. Tetapi lama kelamaan, kami sudah terbiasa lagi.
Meskipun aku tidak suka dengan anjing itu, namun setiap pagi sudah menjadi kebiasaan memberi makanan seadanya. Bahkan ketika aku berada di kebun untuk bermain, dia selalu menemaniku. Terkadang, ketika aku bermain ke rumah teman yang cukup jauh jaraknya, ia suka mengikuti dari belakang.
Lama kelamaan aku menjadi suka kepada anjing yang kuberi nama si hitam, sesuai dengan warna kulitnya yang hitam. Walau begitu aku tetap menjaga jarak dengan si hitam, terutama agar mulutnya tidak kena dengan badanku. Sebab kalau terkena dengan jilatan anjing, maka aku harus membersihkan dengan 7 kali menggunakan tanah dan 1 kali dengan air, itulah ajaran Islam. Oleh karena itu, aku agak hati-hati dengan anjing.
Di kebun, aku menyediakan kandang untuk anjing itu agar tidak kehujanan dan kedinginan di malam hari. Kandang kubuat dengan sederhana dari kayu yang ada di kebun. Aku tidak pernah mengunci, kandang itu dibiarkan terbuka, khawatir kalau ada apa-apa, dia bisa segera keluar.
Untung juga kami memiliki anjing, setidaknya kebun bisa dijaga terhadap gangguan orang-orang yang berniat jahat. Apalagi di kebun kami yang luas, banyak sekali tanaman dan pohon yang tumbuh. Selain tanaman pisang, kami juga menanam berbagai jenis sayuran atau buah-buahan.
Si Hitam selalu mengawasi keadaan kebun kami dari gangguan orang yang akan mencuri., khawatir kalau ada apa-apa, dia bisa segera keluar.
Untung juga kami memiliki anjing, setidaknya kebun bisa dijaga terhadap gangguan orang-orang yang berniat jahat. Apalagi di kebun kami yang luas, banyak sekali tanaman dan pohon yang tumbuh. Selain tanaman pisang, kami juga menanam berbagai jenis sayuran atau buah-buahan.
Si Hitam selalu mengawasi keadaan kebun kami dari gangguan orang yang akan mencuri. Pernah suatu hari ada beberapa anak nakal yang akan mencuri jambu yang sudah berbuah. Mereka mengendap-endap di sudut kebun untuk mencuri jambu air. Mereka tidak menyadari kalau si Hitam tengah mengawasi dari kejauhan.
Ketika dua orang sudah naik ke atas pohon jambu dan dua orang lagi menunggu di bawah untuk mengawasi , saat itulah si Hitam berlari sambil mengeluarkan gonggongan. Sudah barang tentu keempat anak itu tegang dan ketakutan, dua orang yang sedang menunggu, langsung berlari tunggang langgang kocar-kacir. Namun dua orang lagi yang sudah diatas pohon, langsung saja menangis ketika anjing terus menggonggong akan memburu mereka.
Kebetulan saat itu aku baru saja pulang dari sekolah. Aku bergegas ke kebun. Kulihat si Hitam tengah berusaha naik ke pohon, meski berkali-kali jatuh lagi. Kulihat dua anak yang ada di pohon wajahnya pucat pasi dan badannya bergetar.
“Hitam…sudah kamu ke sana!” bentakku. Si Hitam sangat penurut, ketika aku membentak dia berhenti mengeluarkan suara dan langsung pergi menjauh.
“Hai kamu sedang apa di atas pohon hah?” bentakku dengan suara keras. Aku sudah tahu, kalau mereka akan mencuri jambu.
“Maaf…maaf aku hanya bermain di pohon ini!” ujar anak yang kepalanya gundul dan gemuk.
“Kalian turun cepat!” kataku. Mereka bergegas turun. Sepintas aku sering melihat mereka adalah anak-anak dari desa lain yang suka membuat onar dan seringkali mencuri barang milik orang lain.
“Jangan coba-coba mencuri di kebun ini, nanti kamu akan digigit anjing yang galak. Dan aku ingatkan, perbuatan kalian itu sama sekali tidak akan menguntungkan kalian. Justru kalian akan menjadi penjahat kalau sudah membiasakan mencuri sejak kecil. Kenapa kalian tidak minta saja? “
“Maaf…maaf kami lupa!” ujar keduanya hampir berbarengan.
“Sudah sekarang kalian pulang,” kataku.
Mereka pun segela membalikkan badan dan berjalan cepat karena merasa malu akan mencuri jambu air.
Memang ada untungnya juga memiliki si Hitam bisa membantu menjaga kebun. Itu sebabnya, kami semakin memperhatikan dan menyayangi anjing itu. Kendati sebagai hewan yang tidak memiliki akal, namun ternyata binatang juga merasakan adanya perhatian besar dari majikan. Tidak heran, kalau si Hitam sangat patuh dan penurut, serta selalu menjaga keadaan rumah kami. Kalau ada orang asing atau yang baru dikenal, ia tidak segan-segan menggonggong dengan suara khasnya.
Tetapi suatu ketika kami tidak menyangka kalau akan mengalami suatu kejadian yang sangat mendebarkan jantung, yaitu ada perampok yang datang ke rumah kami pada malam hari.
Tidak kurang 5 orang perampok itu berniat untuk menguras kekayaan kami. Entah tahu darimana kalau pada saat itu bapakku baru saja mengambil uang dari bank setelah sawahnya ada yang membeli.
Aku agak was-was juga tatkala di malam hari terdengar di belakang rumah ada orang yang sedang berbincang-bicang. Aku terbangun sebab samar-samar terdengar si hitam menggonggong, namun tidak lama ia diam seketika. Aku kaget, tidak seperti biasanya si Hitam begitu. Jangan-jangan ada yang sengaja menyakitinya. Aku curiga.
Di kebun aku mendengar suara orang yang sedang berjalan kaki menuju rumah. Aku bergegas bangun, sebab perasaanku lain. Aku takut ada apa-apa. Aku bergegas membangunkan bapak dan ibu yang tengah tertidur. Tentu saja mereka kaget ketika aku bangunkan,
“Ada apa? Malam-malam begini kamu membangunkan?” tanyanya.
“Pak dengar di kebun seperti ada orang. Sejak tadi aku dengarkan dan si Hitam tidak terdengar menggonggong!” kataku dengan suara pelan. Ibu terlihat kaget.
“Siapa mereka?”
“Kita harus waspada Pak!”
Kami bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.
Ayah dan ibu terdiam dan terlihat bingung.
“Apakah mereka akan berniat jahat kepada kita?”
“Siapa tahu…soalnya malam-malam begini mereka berada di kebun!”
Kami pun lebih hati-hati dan waspada, apalagi samar-samar kami mendengar mereka membongkar pintu belakang.
“Wah, gawat kalau begitu!” ujar ayah yang nampak terlihat wajahnya pucat, demikian pula dengan ibu.
“Aneh mengapa si Hitam diam saja dan tidak mengeluarkan suaranya?” kataku.
“Jangan-jangan mereka telah membunuh atau mengikat si Hitam sehingga tidak berdaya,” ujar Ibu dengan suara ditekan.
Di belakang rumah, kami mendengar suara benda yang dipukul beberapa kali.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku dengan suara bergetar, ketakutan.
“Kita harus segera menyelamatkan diri dari sini. Sekarang ambil perhiasan dan uang yang di simpan di lemari,” ujar ibu seraya bergegas menuju lemari dan menyimpan uang serta perhiasan di kantong.
“Cepat kita keluar dari rumah ini….sebelum mereka masuk,” kata ayahku dengan nada suara ketakutan.
Kami pun bersiap-siap untuk bisa ke luar dari rumah ini. Pintu yang menuju ke ruangan tengah, kami kunci dan kami akan keluar dari arah pintu depan yang langsung menuju ke halaman rumah.
Kami mengenda-endap dan langkah kaki kami pelan, khawatir mereka mengetahui keberadaan kami. Kunci pintu oleh ayah dibuka dengan pelan.
“Bagaimana kalau mereka ada diluar?” tanyaku.
“Kita lihat dulu saja?”
Tidak ada siapapun di halaman rumah. Suasana sangat sepi karena tengah malam, semua sedang tertidur pulas.
Ketika kami sudah membuka pintu, ayah dan ibuku pelan-pelan keluar rumah. Namun rupanya salah seorang perampok mengetahui keberadaan kami, sehingga mereka berteriak,
“Wah, mereka kabur?” ujar salah seorang diantara mereka.
Mendengar suara itu, kami segera berlari sambil berteriak “Ada rampok….rampok….rampok” suara ayah dan ibuku terdengar keras, yang tentu saja mengagetkan warga yang ada di sekitar tempat itu.
Sambil berlari kencang, ayah dan ibu terus berteriak-teriak. Warga desa segera terbangun dan seketika langsung keluar rumah seraya masing-masing membawa senjata tajam.
Sementara itu aku ketinggalan di halaman rumah. Kulihat seorang perampok berlari mendekatiku dan segera memegang tanganku. Aku berusaha untuk lepas dari cengkeramannya, tetapi dia semakin keras pegangannya.
“Lepaskan aku!” teriakku.
“Diam kamu, “ bentaknya seraya menampar mukaku.
“Aduh,” aku kesakitan sebab tamparan itu cukup keras di wajahku.
Sementara itu warga desa sekeketika telah mengepung rumahku. Mereka tahu kalau perampok masih ada di dalam.
“Ayo kita bunuh saja perampok itu…tangkap! Habisi saja” teriakan penduduk terdengar di sana sini. Suasana menjadi ramai dan beberapa orang mengacung-acungkan senjata tajam.
Perampok itu menjadikan aku sebagai sandera. Tanganku diikat dengan tali plastik.
“Awas siapa yang berani mendekat, maka anak ini akan dibunuh!” teriak seorang perampok ketika melihat beberapa warga mendekati mereka.
Tentu saja mendengar ancaman itu, mereka tidak berani mendekati.
“Semua mundur, tidak ada yang coba-coba mendekati!” teriak mereka.
Warga desa terpaksa menuruti keinginan perampok, sebab mereka takut kalau saja mereka nekat membunuh. Suasana menjadi tegang, tatkala warga desa semakin banyak yang berdatangan untuk mengepung perampok.
“Wah kalau begini, risikonya berbahaya,kita lebih baik menunggu saja apa yang akan dilakukan mereka!” ujar warga.
“Apa yang harus kita lakukan?” ujar warga yang lain.
“Tenang saja, kita kepung mereka, sebab mereka akan ketakutan melihat jumlah kita yang lebih besar,” kata yang lain.
Aku dalam posisi terjepit dan tidak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah dan takut kalau-kalau mereka nekat membunuhku.
Kepalaku dipegang dengan kuat, sehingga membuat aku kesakitan. Pisau tajam berada dekat leher, sehingga jantungku berdebar-debar. Nyawaku berada di tangan perampok.
Tengah malam itu suasana desa menjadi ramai. Lima orang perampok itu berusaha untuk bisa melarikan diri dengan mengancamku. Warga desa pun tidak bisa berbuat banyak; khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Awas jangan sekali-kali ada yang mendekat ke sini, anak ini bisa mati !” teriak perampok dengan suara keras dan terdengar oleh seluruh warga.
Mereka menyeretku ke belakang rumah dan berusaha melarikan diri melalui jalan belakang. Aku hampir kehabisan napas, sebab mereka menggusur dengan memegang leherku.
Aku terus dibawa ke kebun dan melewati kandang si Hitam. Rupanya si Hitam melihat keadaanku yang diseret perampok, seketika mendadak ia menggonggong keras dan kulihat ia keluar kandang seraya mengejar perampok yang menyeretku.
Si Hitam langsung menggigit tangan perampok yang memegang leherku. Ia nampak kaget dan meringis ketakutan, apalagi gigitannya tidak dilepaskan. Sementara 4 orang perampok, segera berlarian dan berpencar.
Warga desa yang melihat mereka lari, segera saja berteriak :”Kejar terus….mereka melarikan diri…!” beberapa pemuda yang mempunyai keberanian langsung mengejar para penjahat itu.
Anjing itu tak henti terus menggigit perampok, sehingga aku bisa terlepas. Segera saja aku berlari ke depan. Beberapa warga yang ada di situ, segera memburu perampok yang sedang digigit anjing. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung memukul dan menendang perampok secara bertubi-tubi.
Si Hitam segera mendekatiku, ketika kulihat aku selamat. Ia mengeluarkan suara seolah gembira kalau aku tidak terkena luka yang berbahaya.
Berkat kecepatan warga desa memburu para perampok, akhirnya kelima penjahat itu dalam waktu yang tidak terlalu lama bisa ditangkap. Mereka digiring ke pos desa dalam keadaan babak belur dan wajahnya lembab bekas pukulan bertubi-tubi warga desa. Bahkan dua orang perampok jatuh pingsan karena mendapat pukulan yang keras di ulu hati. Darah mengucur di kepalanya.
Ketika ayah dan ibuku melihatku dalam keadaan selamat, wajah mereka nampak diliputi kegembiraan. Aku dipeluk dan dicium; karena mereka bahagia aku bisa selamat.
“Ibu khawatir kamu disakiti perampok…untunglah kamu tidak apa-apa!” kata ibu.
“Si Hitam Bu yang menolongku!” kataku seraya mengelus-elus punggung si Hitam.
Aku bangga dan bahagia memiliki anjing yang ternyata bisa menyelamatkan nyawaku.*** Tamat
Selasa, 13 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar