AKU melangkah kaki menyusuri jalan raya dan masuk ke sebuah gang yang cukup besar. Aku belum tahu daerah itu, namun yang namanya berjualan, siapa tahu ada yang membeli. Kami berdua dengan Udi, teman di kampungku yang sama-sama dengan aku berjuang untuk mendapatkan uang.
Aku dan Udi, sejak beberapa minggu ini berjualan cobek yang ditanggung dengan berjalan kaki. Kami memanfaatkan libur sekolah untuk berjualan. Meski harus berjalan berkilo-kilo meter, namun kami sudah terbiasa lagi. Cobek diperoleh dari Abah Surya seorang perajin cobek yang sudah bertahun-tahun di kampung kami. Meski usianya sudah 70 tahun, namun Abah Surya rajin membuat cobek. Biasanya cobek hasil karyanya dijual di pasar dengan harga berkisar Rp 3.000 sampai Rp 4.000. Kami biasa menjual dengan harga paling tinggi Rp 7.000. Lumayan kami dapat untung dari jualan itu dan bisa untuk melanjutkan sekolah.
Udi adalah sahabatku yang sangat dekat dan hampir setiap hari selalu bersamaku. Udi sudah menjadi yatim, ibunya meninggal dunia setahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Ia kini tinggal dengan bapak dan adiknya yang perempuan di sebuah rumah sederhana terbuat dari kayu dan bilik. Bapak Udi bekerja sebagai tukang becak dengan penghasilan yang tidak seberapan.
Aku pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Udi. Kami hidup miskin dan serba kekurangan. Setiap hari ayahku yang bekerja sebagai buruh bangunan harus bekerja keras setiap hari, itupun kalau ada pekerjaan. Kalau tidak ada, biasanya ayah suka bertani kecil-kecilan. Aku masih beruntung kedua orangtuaku masih utuh. Mereka sangat berharap agar aku menjadi pelajar teladan dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Sudah hampir dua bulan ini, ayahku tidak bekerja karena tidak ada proyek bangunan. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, ibu membanting tulang dengan berjualan kue yang dijajagan ke setiap gang di kampungku atau ayahku menanam sayur-sayuran di belakng rumah. Meski tak seberapa, namun kami masih beruntung bisa makan nasi dan lauk pauk hasil menjual sayuran bapak.
Sebagai sahabat, suatu ketika aku mengajak Udi untuk berjualan cobek. Tentu saja ia sangat gembira. “Justru aku tadinya mau mengajak kamu untuk berjualan es keliling, namun kalau kamu mau mencoba jual cobek, boleh saja. Itung-itung cari pengalaman baru,” ujar Udi.
“Tapi kamu sudah ngasih tahu belum kepada bapakmu mau jualan cobek?”
“Ya belum. Itu mudah saja, sambil lewat kita ngasih tahu saja,”
“Kalau kamu, sudah bilang dulu sama ibu di rumah!”
“Sudah, aku katakan akan bermain dengan Udi ke kota sambil mengisi liburan!”
“Lho kenapa bermain?”
“Ya kita berjualan sambil bermain, toh apa bedanya? Bermain pun kan jalan-jalan, ya sama berjualan pun jalan-jalan juga kan!”
“Oh, iya ya….tapi berjualan kita ada untungnya, sedangkan kalau bermain…nggak ada untungnya,”
Kami pun sama-sama tertawa. Hari itu juga kami sepakat untuk memulai berjualan cobek ke kota.
Matahari pagi baru saja menampakkan cahayanya. Pagi sekitar jam 08.00, kami tengah berjalan menyusuri sebuah perumahaan, seraya berteriak-teriak dengan suara yang serak-serak,
“Cobek…cobek, Bu!” teriak aku dan Udi berbarengan ketika ada seorang ibu yang keluar dari rumah. Ibu muda itu menatap kami.
“Bu, mau beli?” tanyaku.
Ibu itu menggelengkan kepala, “Masih ada!” jawabya.
“Makasih Bu!” kataku seraya melangkah kaki.
Hampir satu berjam berkeliling di perumahan padat penduduk itu, tapi tak seorang pun ada yang membeli cobek. Punggung kami sudah basah dengan keringat. Kulihat kening Udi pun sudah basah. Kami beristirahat di sebuah pohon yang rindang.
“Aduh panas sekali…” Kataku seraya duduk di tanah sambil mengambil handuk kecil yang sengaja di bawa dari rumah. Aku melap wajahku yang berkeringat.
“Sudah lama berkeliling di komplek ini, tapi tak ada seorang pun yang membeli cobek,” kata Udi.
“Itulah namanya berjualan…kita harus sabar…siapa tahu saat kita pulang ada yang membeli?”
Kami pun mengeluarkan minuman, terasa nikmat sekali di tenggorokan.
Tiba-tiba mendengar suara azdan di mesjid yang tidak jauh dari tempat kami beristirahat.
“Di, kita sholat dulu aja di mesjid, agar tenang. Sesudah itu, kita berkeliling lagi,” kataku pada Udi.
“Aku setuju…sholatnya di jamak qashar saja, kita kan sedang dalam perjalanan,”
“Gimana sholat jamak qashar itu?”
“Dua rakaat dua rakaat…jadi sholat ashar sudah disatukan dengan dhuhur!”
Aku manggut-manggut, kuakui Udi lebih tahu daripadaku, karena bapaknya Udi adalah Ustad.
Kami segera bangkit dan bergegas menuju mesjid. Selesai melaksanakan wudhu, kami pun sholat berjamaah. Setelah kami berdoa, kami pun segera keluar mesjid. Beberapa orang bapak-bapak melihat kami saat kami mengambil barang dagangan.
“Kalian rajin sekali berjualan? Sudah laku berapa?” ujar salah seorang bapak yang sejak tadi memperhatikan kami.
“Belum ada yang laku,Pak!” kataku menjawab pertanyaan bapak itu.
“Ya memang agak sulit Pak, tapi doakan saja, semoga pulang ke rumah, cobek ini habis, sehingga kami bisa melanjutkan sekolah!”
“Kalian masih sekolah?”
“Iya,Pak! Kami ingin membantu orangtua meringankan beban,”
Bapak bertubuh agak kurus itu lalu mendekati kami dan berjongkok seraya memperhatikan cobek yang kami jual.
“Bapak beli satu. Berapa harganya?”
“Cuma tujuah ribu rupiah,Pak!”
Aku menerima uang yang disodorkan bapak itu. Udi hanya melihatku saat aku memasukkan uang ke dalam saku.
“Kamu sudah dapat uang, sementara aku belum?” kata Udi, setelah bapak yang membeli berlalu.
“Jangan khawatir, sebentar lagi kamu ada yang membeli!” aku memberi semangat kepadanya.
Benar saja, belum juga kami jauh melangkah dari mesjid, seorang ibu tua memanggil kami.
Udi bergegas mendekatinya.
“Sudah seminggu Ibu menunggu yang berjuakan cobek, baru sekarang ada yang berjualan,” katanya.
“Silahkan Bu, mau memilih yang mana?”
Udi memperlihatkan beberapa cobek untuk dipilih oleh Ibu itu. Setelah bebeapa cobek dipilih, ibu itu mengambil cobek yang cocok dengan seleranya. Tanpa menawar, ia langsung memberikan uang sepuluh ribu rupiah.
“Jangan ada kembalian. Buat kamu saja semuanya,” kata Ibu itu seraya masuk ke dalam rumah. Aku tersenyum bahagia Udi mendapat keuntungan lebih daripada aku.
“Alhamdulillah…kita bisa pulang dengan membawa uang,” kata Udin dengan wajah diliputi kebahagiaan.
Kami pun berjalan kembali menyusuri setiap gang seraya berteriak menjajagan cobek. Melelahkan menempuh perjalanan yang sangat jauh, namun kami bersyukur dagangan kami ada yang membeli, setidaknya kami bisa menabung.
Berdagang di waktu libur sekolah menjadi kegiatan rutin kami. Setiap minggu kami manfaatkan untuk bisa mendapatkan uang. Meski keuntungan yang diperoleh tidak seberapa, namun kami telah merasa puas dengan cara berdagang. Kami bisa meringankan beban orangtua.
Namun suatu ketika aku merasa sedih, sebab entah mengapa sepulang berdagang, Udi badannya panas dan dia mengeluh pusing serta muntah-muntah. Tentu saja aku kaget dan kasihan.
“Ayo kita segera pulang!” kataku seraya memegang tangan Udi. Memang sejak tadi pagi, wajah Udi sudah terlihat pucat, bahkan aku sempat melarang untuk tidak berjualan. Namun Udi memaksakan karena di rumah ibunya tidak memiliki uang untuk makan. Aku tak bisa melarang keinginan Udi.
Untung saja hari itu ada yang membeli satu cobek Udi, sehingga ia bisa pulang dengan membawa uang sepuluh ribu rupiah.
Ketika tiba di rumah, Ibu Udi nampak kaget melihat wajah Udi yang pucat dan berkeringat. Aku jelaskan kalau kondisi badan Udi sedang sakit. Ibunya segera membuatkan teh manis kesukaan Udi.
“Kamu harus banyak istirahat?” kata ibunya saat Udi berbaring di ranjang.
“Tadi juga sebelum berangkat, aku sudah katakan agar istirahat saja di rumah karena kondisi fisiknya lemah, namun dia memaksa!” kataku.
Udi hanya menatap kearahku. Dia tidak berucap sepatah kata pun, hanya beberapa kali menarik napas, seolah ada sesuatu yang dipikirkan.
“Bud, aku mungkin akan berhenti sekolah…karena aku sudah tiga bulan tidak membayar SPP, aku malu ditagih oleh Pak Yunus!” tiba-tiba Udi berkata dengan nada suara tertahan, seolah menahan rasa sedih.
“Hah…berhenti sekolah?” aku kaget.
“Ibuku juga tidak keberatan aku berhenti sekolah, malah ibu mendorong agar aku berjualan saja untuk meringankan beban di rumah!”
Aku menatap dalam wajah Udi, seperti tertekan jiwanya. Kulihat Ibu Udi hanya tertunduk, tak berkata sepatah kata pun.
“Benarkan Ibu tidak keberatan, Udi tidak sekolah?”
Ibu Rukmini, nama Ibu Udi itu, menelan ludah dulu sebelum menjawab pertanyaan. Ia menatap kearahku, lalu dengan suara pelan berkata:
“Habis bagaimana lagi, setiap hari kami harus makan. Aku sudah sebulan ini tidak bekerja, jadi berharap penuh pada Udi berjualan!”
Aku menarik napas dalam, seolah ikut merasakan betapa keluarga ini sangat memerlukan bantuan untuk keperluan nafkah sehari.
“Ibu kenapa tidak bekerja lagi?” tanyaku.
“Perusahaan banyak mem-PHK karyawannya…” jawab Ibu Rukmini yang bekerja di pabrik tekstril sebagai tenaga operator.
Aku terdiam tak dapat lagi melanjutkan perkataan. Aku tertunduk, kasihan Udi kalau harus membantu ibunya berjualan serta terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah, bisik hatiku.
“Sekolah itu penting Di, buat masa depan kamu.Kalau kamu tidak sekolah, bagaimana nasib kamu nanti?” tanyaku.
“Habis mau bagaimana lagi? “ Udi balik bertanya seraya menatap kearahku.
“Jangan patah semangat untuk sekolah, aku akan berusaha membantu kamu. Aku ingin bertemu dengan Pak Camat, mudah-mudahan Pak Camat bisa membantu,”
“Apakah kamu kenal dengan Pak Camat?”
“Kenal sih tidak, tapi aku dengar kata ibu-ibu tetanggaku, kalau Pak Camat itu sangat baik dan selalu menolong warga masyarakat yang membutuhkan. Siapa tahu bisa menolong kita!”
“Wah, mudah-mudahan saja Pak Camat bisa membantu ya!”
“Kita berdoa saja, ingat Di, Alloh senantiasa akan menolong kepada hamba-Nya yang mau berjuang,” aku memberi semangat pada Udi.
“Kalau begitu kapan kita ke Pak Camat?”
“Besok juga bisa. Tapi kita datang ke rumahnya, jangan ke kantor, sebab kalau ke kantor belum tentu bisa menerima kita,”
“Aku setuju!”
Besoknya kami bersiap-siap untuk menemui Pak Camat yang baru tiga bulan menjabat . Kami berharap Pak Camat bisa membantu kesulitan yang kami hadapi. Kami sengaja membawa cobek yang akan kami jual kepada Pak Camat.
“Aku segan bertemu dengan pejabat!” ujar Udi ketika kami sudah sampai di rumah Pak Camat.
“Kenapa segan? Niat kita kan baik. Kalau pun tidak bertemu dengan Pak Camat, mudah-mudahan saja bertemu denga istrinya, kita bisa menawarkan cobek ini?”
“Betul juga, kita kan berjualan, Siapa tahu rezeki kita ada di sana?”
“Kita berdoa saja dan yakinkan dalam hati, kalau Allah akan selalu menolong kepada hamba-Nya yang tengah membutuhkan,”
Kami sama-sama memanjatkan doa dalam hati. Setelah itu, lalu kami mendekati rumah Pak Camat yang cukup luas, dengan halaman rumah ditanami pohon dan kembang yang indah.
Ketika kami semakin dekat, tiba-tiba sebuah mobil kijang berhenti di dekat rumah Pak Camat dan seorang wanita berkerudung keluar dengan membukakan pintu mobil. Aku yakin itu adalah istri Pak Camat, aku bergegas mendekatinya bersama Udi.
“Assalamu’alaikum. Bu, barangkali Ibu mau memberli cobek kami. Kami berjualan cobek untuk biaya sekolah?” kataku seraya menatap wanita berkerudung.
Wanita itu tidak langsung menjawab, matanya menatap kepada kami. Entah apa yang tersimpan dalam dadanya, setelah aku berkata begitu. Hanya saja ia langsung berkata,
“Tak kusangka kalian mau berjualan untuk melanjutkan sekolah. Yuk ke rumah dulu?” ajaknya.
Kami tentu saja bahagia mendapat ajakan itu. Tanpa pikir dua kali, kami langsung mengikuti ibu camat. Kami disuruh duduk di ruang depan yang kursinya empuk. Bu camat masuk ke dalam rumah, tidak lama dia sudah kembali, lalu duduk di kursi bersama kami.
“Kalian berasal dari desa mana? Kenapa sampai berjualan cobek? “ tanya Bu camat.
“Kami dari Desa Tanjolaya. Kami berjualan untuk biaya sekolah karena kedua orangtua kami miskin,”kataku.
“Aku sangat suka kepada kalian yang mau berjualan cobek untuk biaya sekolah. Kalian adalah pahlawan dalam keluarga, karena kalian mau berusaha. Ibu akan membeli cobek kalian semua, dan kalian harus tetap sekolah. Nanti ibu akan datang ke kepala sekolah kalian dan meminta agar kalian tidak dipungut biaya lagi. Kalau sekolah kekurangan biaya untuk perbaikan ruang kelas, biar ibu yang akan memberi beasiswa kepada kalian,”
Mendengar ucapan, wajah kami berbinar-binar, terlebih Udi yang terlihat mulutnya menganga, seolah tidak percaya ucapan yang baru saja didengar. Tiba-tiba saja, Udi menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dia menangis terisak-isak, karena merasa bahagia akan mendapat beasiswa.
“Dia menangis karena bahagia, karena kedua orangtuanya sudah tidak mampu membiayai sekolah, bahkan kemarin Udi sudah memutuskan untuk berhenti sekolah, namun aku mengajaknya ke sini,” kataku.
Kulihat kedua bola mata Ibu Camat meneteskan air mata. Terharu.
“Udi bercita-cita ingin menjadi seorang guru, karena guru adalah pahlawan yang berjasa besar terhadap bangsa dan negara. Aku juga bercita-cita ingin menjadi guru, karena guru adalah orang yang harus selalu menuntut ilmu,” kataku.
“Ibu terharu mendengar kalian mempunyai cita-cita yang sangat mulia. Ibu akan mendukung kalian untuk bisa mencapai cita-cita kalian. Ibu akan menyisihkan uang buat sekolah kalian, karena ibu tidak mempunyai anak,” katanya.
Mendengar pengakuan itu, tentu saja aku bengong.
“Ibu tidak mempunyai anak?”
“Betul. Ibu tidak mempunyai anak. Jadi ibu ingin kalian menjadi anak asuh ibu, asalkan kalian belajar sungguh-sungguh dan menjadi pelajar teladan,”katanya.
“Insya Allah, Bu. Kami akan berusaha sebaik-baiknya menjadi pelajar teladan. Kapan ibu mau ke sekolah kami?”
“Besok juga Ibu akan langsung menghadap kepala sekolah, dan kalian bebas biaya sekolah. Pokoknya tugas kalian belajar dan belajar. Raih cita-citamu setinggi langit,” katanya.
Tak dapat terbayangkan kebahagiaan kami pada waktu itu. Sungguh diluar dugaan kalau kami bisa berubah seketika dalam hitungan hari. Padahal hari kemarin kami masih meratapi nasib yang belum tentu menyenangkan. Tetapi sekarang, kebahagiaan meliputi hati kami.
Hati kami berbunga-bunga ketika meninggalkan rumah Bu Camat. Kami berharap semua ini bukanlah mimpi, itu karenanya kami beberapa kali mencubit tangan kami sendiri, bahwa semua kebahagiaan ini bukanlah mimpi, tapi kenyataan.
Tentu saja, kami akan memberitahu kedua orangtua kami yang selama ini selalu kewalahan untuk membiayai sekolah kami. Kini mereka tidak perlu lagi memikirkan biaya selama kami sekolah; karena Bu Camat telah berjanji akan memberikan beasiswa kepada kami.
Kami berlari ingin segera sampai ke rumah untuk menyampaikan kabar gembira kepada kedua orangtuaku. Udi pun nampak tidak sabar lagi untuk segera mengabarkan berita kepada ibunya. Terbayang oleh kami, betapa kebahagiaan menjadi bagian kami yang selama ini sangat kami harapkan. ***Tamat
Minggu, 14 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar