Selasa, 21 Juni 2011

Sabung Ayam


                                              
            Kulihat bapak wajahnya agak tegang manakala ayam jagoannya yang sedang berkelahi beberapa kali kena pacokan. Mimik mukanya tidak  gembira ketika melihat si Ruyung terus mendapat serangan bertubi-tubi. Beberapa kali dia menarik napas, apalagi bila teringat kalau kalah harus merogoh uang seratus ribu rupiah kepada musuh. Ketegangan semakin bertambah ketika si Ruyung mendapat terjangan yang cukup keras. Suara penonton bergemuruh dan bertepuk tangan melihat kedua jenis ayam jago itu semakin panas.
            “Jangan khawatir, belum apa-apa!” teriak bapakku menyembunyikan ketegangan dalam dadanya, seraya memberi dorongan semangat kepada si Ruyung, “Ayo kamu terus lawan,”
            Arena tempat bermain sabung ayam itu berada di sebuah lokasi perkebunan yang cukup luas. Mereka sengaja  memilih tempat itu yang agak jauh karena khawatir akan ada petugas kepolisan menggrebek permainan judi. Meski sudah diperingati berulang kali oleh keamanan setempat, namun nampaknya pehobi sabung ayam semakin tidak mengiraukan. Bukan apa-apa, kalau mereka tidak berjudi dengan cara begitu, darimana mereka akan memperoleh uang. Sementara  mereka rata-rata bekerja serabutan dan tidak menentu.
            Banyak warga yang datang ketika permainan judi sabung ayam akan dipertarungkan, terlebih kalau ayam yang akan dipertandingkan milik Abah Uya, bapakku, sebab setiap kali pertandingan selalu diakhiri kemenangan. Kalau pun kalah bisa dihitung jari. Selebihnya ayam Abah Uya selalu saja memang. Tidak heran, kalau si Ruyung telah ditawar jutaan oleh pehobi judi ayam. Namun nampaknya bapak tidak akan menjual si Ruyung.
            Aku sendiri sebenarnya tidak suka kalau bapakku mengadu ayam, namun ia seringkali membawaku ke arena pertandingan. Biasanya aku menghindar dari arena judi itu, aku lebih suka bermain di tempat lain. Kebetulan lokasi sabung ayam tidak jauh dari sungai, maka aku suka bermain ke sungai, entah untuk berenang atau mencari ikan belut.
            Kalau pun aku melihat ayam sedang berkelahi, seperti saat itu, aku tidak lama sekedar meminta minum atau makanan ringan kepada bapak yang disimpan di kantong plastic tidak jauh dari arena pertandingan.
            Aku asyik sendiri bermain si sungai, berenang kian kemari. Suara teriakan orang yang sedang mensponsori permainan adu ayam itu terdengan jelas, karena jarak yang tidak telalu jauh.
            Terkadang aku kasihan melihat ayam-ayam yang sudah berlumur darah di kepalanya. Namun bagi para pemain, mereka nampak semakin bersemangat, apalagi kalau ayam itu bisa memenangkan pertandingan. Kuakui, bapak selalu menang dalam setiap pertandingan dan membawa uang yang banyak ke rumah. Namun, entah mengapa ibu tidak mau meminta uang dari hasil pertandingan itu.
          “Pokoknya ibu tidak mau, uang itu kotor dan kamu sendiri jangan ikut-ikut seperti bapak bermain judi ayam,” ujarnya ketika aku menanyakan  mengapa ibu selama ini tidak mau menerima uan hasil dari judi.
              Aku terdiam tidak mengerti, maklum aku masih kecil dan baru kelas 2 SD, sehingga tidak tahu apa yang menyebabkan ibu tidak mau menerima uang hasil sabu ayam. Seiring dengan bertambahnya waktu, ketika aku sudah menginjak kelas 5  SD, barulah tahu mengapa ibu mempunyai pendirian begitu.
            Aku pernah pula mengatakan kepada bapak tentang sikap ibu yang demikian,
            “Ibu kamu itu sok suci, sok alim, bapak tahu mengapa ibu tidak mau menerima uang dari bapak kalau hasil judi? Karena ibu mengangap kalau uang itu haram dan akan merusak diri kita. Dasar ibu kamu itu pikirannya kolot!”
            Aku tak bisa berkata apa-apa, selain menggigit bibir. Untung saja, ibu rajin berjualan nasi kuning berkeliling desa, sehingga ia tidak minta uang kepada bapak. Aku kadangkali kasihan dengan beban berat yang dibawa ibu setiap pagi pergi menjual nasi kuning.
            Bapak seolah tak peduli dengan keadaan Ibu, bahkan sering aku lihat mereka bertengkar dan ibu menangis sebab bapak ringan tangan dan mudah marah kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dirinya. Aku tak bisa berbuat apa-apa kalau mereka sudah bertengkar. Segera saja aku berlari meninggalkan mereka bermain dengan teman-teman sekampung.
            Aku sendiri tidak mengerti mengapa bapak begitu tergila-gila dengan sabung ayam. Mungkin saat remaja banyak  terpengaruh di lingkungan bermainnya, yang memang sejak dulu warga di kampung suka sekali sabung ayam. Di kampung itu, hampir setiap rumah memelihara ayam jago, umumnya dikenal dengan sebutan ayam Bangkok, ayam yang konon katanya berasal dari negeri Bangkok.
            Tidak semua warga di kampung kami senang sabung ayam, ada pula warga yang sekedar hobi dan sekedar hiburan, namun jumlahnya sangat kecil. Selebihnya warga senang berjudi sebab ada nilai untung yang tidak sedikit. Tak heran, kalau di desa kami ada orang yang dalam jangka sebula memiliki kekayaan yang banyak dan bisa membeli perabot rumah tangga yang barus, namun tidak lama kemudian, sudah dilelang kembali karena kalah dalam berjudi.
            Kuperhartikan keadaan bapakku juga begitu. Ia beberapa bula yang lalu bisa membeli segala macam perabot rumah tangga dan bisa mencicil sepeda motor, namun ternyata  tidak berlangsung lama, sebab beberapa bulan kemudian sudah dilelang kembali dengan harga yang murah, termasuk mengembalikan cicilan sepeda motor. Namun meski begitu, bapak tetap saja tidak mau berhenti mengulang kembali hobi mengadu ayam jago. “Kalah dan menang sudah biasa dalam  pertandingan ayam, namun bapak sangat suka sekali melihat ayam berkelahi,” katanya.
            Pernah suatu ketika aku melihat bapak dan ibu bertengkar hebat. Aku mendengar kalau ibu minta dicerai karena sudah tidak tahan dengan keadaan yang terus menerus begitu.
            “Sudah saja kalau kamu terus berjudi mengadu ayam…aku akan pergi saja dengan anakku…aku minta dicerai saja!” kata ibu dengan suara bergetar menahan marah.
            “Terserah kamu saja. Pokoknya aku tidak akan meninggalkan bermain dengan ayam. Itu sudah menjadi bagian hidupku,”
            “Pokoknya aku tidak mau makan uang haram yang kamu peroleh dari berjudi. Aku tak mau kalau anakku kamu beri makan dengan yang judi, nanti anakku akan mengikuti cara kamu,”
            Kulihat ibu masuk ke kamar dan mengambil kantong besar, lalu  memasukkan semua pakaian. Bapak hanya diam saja, tidak berkata apa-apa ketika ibu akan keluar dari rumah.
            “Kamu mau ikut sama ibu atau  sama bapak?” tanya ibu kepadaku.
            Aku menatap keduanya dan tak kuasa aku meneteskan air mata. Tidak lama kemudian, aku menangis terisak-isak. Aku tidak ingin mereka berpisah.  Aku baru menyadari kalau keadaan mereka sudah sangat parah, mereka akan berpisah.
            “Aku tak mau bapak dan ibu berpisah. Aku mau kabur saja,” kataku seraya hendak keluar dari rumah. Untung saja bapak cepat memegang tanganku, sehingga aku tidak bisa keluar.
            Ibu menangis terisak-isak, sementara bapak duduk di kursi . Lalu berkata;
            “Ibu tenang dulu, jangan menuruti nafsu….bagaimana keadaan anak kita kelak!” tiba-tiba  suara bapak lunak dengan nada yang pelan.
            Mendengar begitu, ibu kembali masuk ke kamar dan langsung mengunci pintu kamar dari dalam.
            Setelah beberapa saat, aku memberanikan diri bertanya kepada bapak,
            “Kenapa bapak memperoleh uang dari judi, bukankah judi itu haram?”
            Bapak hanya tertunduk, kemudian beberapa kali kulihat menarik napas panjang. Ia tidak menjawab pertanyaanku.
            “Pak, aku ingin bertanya sekali lagi kepada bapak?”
            “Apa yang ingin kamu tanyakan?”
            “Apakah ada yang kaya raya karena memperoleh uang dari berjudi?”
            Bapak sesaat tidak memberikan reaksi sedikit pun. Ia termenung lama dan tak dapat menjawab pertanyaanku.
            “Sudahlah, sekarang kamu pergi bermain dengan teman kamu, bapak mau beristirahat dulu”
            Aku segera saja meninggalkan bapak sendiri yang masih terduduk di kursi. Sementara samar-samar kudengar suara ibu masih terisak-isak menangis di kamar sendirian.
            Suatu ketika di kampung ada seorang sahabat bapak yang jatuh sakit beberapa waktu lamanya. Namanya Pak Mansur, yang memang sama-sama hobi berjudi sabung ayam. Bapak ada yang memberi kabar kalau Pak Mansur dalam keadaan sekarat dan ingin bertemu dengan bapak. Seketika saja bapak bergegas ke rumah Pak Mansur seraya mengajak aku agar ikut bersamanya. Aku tidak keberatan, karena ingin tahu kesehatan Pak Mansur.
            Setelah tiba di rumah Pak Mansur, terlihat banyak orang yang sedang berkerumun di kamarnya. Ketika aku masuk, betapa aku terperanjat, sebab aku mendengar suara ayam yang sedang sekarat. Namun ternyata bukan suara ayam tetapi suara Pak Mansur yang  tampak kesakitan. Tangannya mencakar-cakar wajahnya sendiri, kemudian dari mulutnya keluar kata-kata yang kotor seraya marah-marah kepada setiap orang yang a da di situ.
            “Awas…kurang ajar, mengapa ayamku kalah…bukankan ayamku paling jago di kampung ini…!” teriaknya dengan suara ngos-ngosan. Kemudian tangannya mencakar sendiri wajahnya sehingga keluar darah.
            Aku menarik napas panjang melihat peristiwa itu. Sungguh kasihan Pak Mansur. Dia memang bertahun-tahun mencari penghidupan dari sabung ayam. Bahkan dikenal sebagai raja judi sabung ayam. Dia dikenal sangat kaya raya, namun pelit ke tetangga. Kini melihat keadaanya seperti itu, sungguh kasihan sekali.
            Aku bengong melihatnya; baru pertama aku melihat ada orang yang sakaratu  maut seperti itu.  Kulihat bapak tak berkedip menyaksikan  keadaan Pak Mansur yang begitu tersiksa. Wajahnya telah dipenuhi darah bekas cakarannya sendiri. Semua yang ada di tempat itu, tak bisa berbuat apa-apa.
            Ketika dipanggil ustad Ahmad yang rumahnya tidak jauh dari situ, dia sendiri nampak bengong, lalu berkata kepada warga yang ada di situ:
            “Bapak-bapak, Pak Mansur ini sudah lama jatuh sakit dan kita lihat keadaannya semakin menyedihkan, apalagi sekarang. Semua  tahu, kalau Pak Mansur senang  sekali bermain sabu ayam dan memperoleh uang dari judi. Nah, saat sekarang ini adalah balasan sebagai akibat anak yang dilakukannya,”                              
            Semua terdiam mendengar penjelasan Ustad Ahmad. Kulihat bapak terdiam, entah apa yang terlintas dalam pikirannya.
            Sakaratul maut Pak Mansur seolah penyiksanaan yang luar biasa. Tidak ada seorang pun yang bisa menolongnya, kecuali menyaksikan dengan pilu terlebih istri dan anak-anaknya; mereka hanya menangis.
            Saat nyawanya semakin dekat dengan kematian, saat itu pula, tubuh Pak Mansur sangat mengerikan. Badannya mengeluarkan kotoran yang sangat bau sehingga semua yang hadir menutup hidung. Kemudian, tangannya mencakar-cakar  seluruh tubuhnya, sehingga darah mengucur. Ah, sungguh kasihan. Tidak lama kemudian, ia berteriak sekuat tenaga, seperti disayat dengan pisau yang sangat tajam di lehernya, lalu tubuhnya menggelepar-gelepar, dan seketika berhenti….tidak bergerak sedikit pun. Ia sudah mati dalam keadaan mengenaskan!
            Sejak kejadian itu, aku melihat perubahan yang tidak biasanya pada diri bapak. Entah apa yang terjadi pada diri bapak; apakah ia mulai menyadari bahwa perbuatan selama ini akan berisiko besar; persis seperti yang dialami Pak Mansur.
            Namun belakangan kulihat bapak suka menghindari teman-teman yang suka bermain judi sabu ayam. Kemudian, ayam-ayam yang biasa dipelihara dijual kepada beberapa temannya. Tidak itu saja, terkadang bapak lebih suka menyendiri. Tentu saja aku heran dengan tindakan bapak, bukankah selama ini dia begitu mencintai ayam jago itu? Apalagi dengan si Ruyung. Apakah juga karena bapak melihat saat-saat kematian sahabatnya Pak Mansur yang sangat mengerikan itu?
            Ketika aku tanyakan hal itu pada Ibu, Ibu menjawab,
            “Mudah-mudahan saja bapak bertobat dan sadar, kalau selama ini kelakukannya salah dan akan berbahaya bagi dirinya sendiri. Bapak pernah berkata, kalau ia ingin berhenti  berjudi sabung ayam setelah melihat kematian Pak Mansur,”
            Aku terdiam; ada perasaan bahagia tidak terkira mendengar kabar itu, sebab selama ini aku sendiri tidak suka dengan perilaku bapak yang suka sekali bermain judi sabung ayam. ***Tamat
                                                            Bandung, Senin 11 Agustus 2008












           

3 komentar:

  1. buat saudara punya permasalahan ekonomi! hub:PAK HARYONO saya suda membuktikan bantuan PAK HARYONO jika berminat klik www.pesugihan-uanggaib.blogspot.com

    BalasHapus
  2. buat saudara punya permasalahan ekonomi! hub:PAK HARYONO saya suda membuktikan bantuan PAK HARYONO jika berminat klik www.pesugihan-uanggaib.blogspot.com

    BalasHapus
  3. buat saudara punya permasalahan ekonomi! hub:PAK HARYONO saya suda membuktikan bantuan PAK HARYONO jika berminat klik www.pesugihan-uanggaib.blogspot.com

    BalasHapus