AKU terkadang kasihan melihat Laela. Selain badannya kurus, setiap hari harus membantu ibunya mencuci pakaian, dan membereskan rumah. Tidak jarang ke sekolah kesiangan, ketika ditanya oleh Pak Guru, jawabannya selalu sama :”Di rumah membantu dulu ibu bekerja!”
Usia Laela sama denganku, hanya beda bulan saja. Aku lebih dulu lahir bulan januari sedangkan dia bulan Desember. Sejak kelas 3 SD kami bersahabat dan selalu bersama-sama kalau pulang sekolah. Hanya saja jarak rumahnya sangat jauh dari sekolah, dia harus berjalan kaki 30 menit untuk sampai ke rumahnya.
Laela memiliki badan yang agak kurus, namun otaknya sungguh luar biasa. Dia cerdas dan di sekolah selalu menjadi juara pertama. Aku pun kagum dengan kepandaiannya, apalagi kalau dia sudah mengerjakan matematika, siswa yang lain masih belum beres, Laela sudah duluan.
Orangnya pendiam dan jarang bicara, tetapi tidak sombong. Bahkan ia suka membantu teman-teman bila menghadapi kesulitan pelajaran. Sifatnya yang mudah bergaul mengakibatkan di sekolah banyak teman. Ia tidak segan akan memberikan pertolongan kepada kawan-kawan yang kesulitan.
Namun, teman-teman di sekolah tahu, kalau Laela tinggal bersama ibu tiri. Anak-anak mengangap ibu tiri Laela sangat kejam dan sering memukulnya, padahal sesungguhnya tidak demikian. Mereka kebanyakan terpengaruh dalam film yang mengesankan kalau semua ibu tiri itu kejam.
“Apakah benar kamu tinggal bersama ibu tiri?” tanyaku suatu ketika saat kami pulang sekolah bersama-sama.
“Memang benar, aku ditinggal mati oleh ibu kandungku sejak dua tahun yang lalu. Saat aku masuk sekolah. Aku sedih ditinggal ibu, rasanya dunia ini seperti runtuh dan aku merana selama ditinggal ibu!”
“Katanya mempunyai ibu tiri itu kejam dan suka memarahi…apakah betul begitu?”
Laela menggelengkan kepala,
“Tidak aku mempunyai ibu tiri yang sangat baik hati, bahkan dia sangat menyayangi aku,”
“Tapi kenapa kamu suka terlambat datang ke sekolah dan wajahmu sering sedih!”
“Aku kasihan sama ibu di rumah. Aku suka membantu pekerjaan sehari-hari, bahkan tadi juga aku terlambat masuk kelas, karena aku membantu dulu ibu di rumah, habis ibuku sedang sakit!”
“Sakit apa?”
“Entahlah aku sendiri tidak tahu. Hanya saja kalau ibu sedang datang sakitnya, aku kasihan, ibu kadang-kadang jatuh pingsan,”
“Kasihan kalau begitu ya!”
“Memangnya penyakit apa sih?”
“Aku sendiri tidak tahu….hanya ibu sering memegang kepala!”
“Pernah dibawa ke dokter?”
“Jangankan ke dokter, kamu tahu sendiri ‘kan untuk kebutuhan sehari-hari kami ini kesulitan!”
Aku hanya menghela napas mendengar ucapan itu. Memang kasihan Laela, ekonomi keluarganya sangat pas-pasan. Bapaknya hanyalah buruh serabutan yang tidak jelas pendapatan. Berbeda dengan diriku, yang kebetulan ayah bekerja sebagai PNS yang mendapat gaji setiap bulan.
Kami terus berjalan kaki sambil bercakap-cakap, sehingga tidak terasa kalau perjalanan kami sudah hampir menuju rumah. Ketika rumahku sudah semakin dekat, aku mengajak Laela masuk dulu ke rumah, sebab tadi pagi aku sudah berniat akan mengajak makan bersama Laela.
“Aku ingin sekali makan bersama kamu. Bahkan ibuku sudah menyiapkan makanannya,”
“Apakah tidak merepotkan ibu kamu?”
“Tidak, justru ibu sangat bahagia kamu mau makan bersama kami,”
Laela pun tidak bisa menolak ajakanku, ia pun mengikuti langkah kakiku masuk ke dalam rumah.
Ibuku sudah menyiapkan makanan di meja. Ketika melihat Laela, ibuku tersenyum ramah.
“Ayoh, sini…kamu makan bersama Susi”
Setelah menyimpan tas sekolah dan membuka sepatu, kami pun menuju meja makan menikmati nasi dengan ikan, sayur sop, tahu, tempe. Kulihat Laela makan begitu lahap dan beberapa kali mengambil nasi. Aku memaklumi kalau dia sangat lapar, karena sejak pagi di sekolah, tidak kulihat jajan.
Selesai makan, Laela membersihkan bekas makan kami. Ibuku melarang, namun nampaknya Laela tidak ingin merepotkan,
“Aku di rumah sudah terbiasa diajari oleh ibu, agar selesai makan harus mencuci piring sendiri, maka di sini pun aku harus mencuci piring yang kotor,”
“Kamu memang anak yang baik. Nah, Susi kamu harus mencontoh apa yang dilakukan Laela, dia ingin meringankan beban orangtua di rumah.Kamu di rumah ‘kan ingin selalu dilayani sama Ibu!”
Ibu menatap kearahku, aku hanya tersenyum simpul, malu sama Laela yang begitu rajin. Aku harus banyak belajar padanya, apalagi dia otaknya cerdas, jauh berbeda denganku.
Persahabatanku dengan Laela semakin lengket dan aku banyak sekali memperoleh pelajaran yang sangat berharga. Aku kadang malu sendiri, sebab Laela anaknya disiplin dan tidak banyak bermain apalagi menonton TV.
Aku pernah bermain ke rumahnya yang sangat sederhana berukuran 4 x 5 m persegi. Selama di rumah, kulihat Laela sibuk dengan pekerjaan rumah yang harus dibereskan, termasuk mencuci pakaian dan membereskan rumah serta memasak. Semua bisa dikerjakan sendiri. Sementara ibunya terbaring di ranjang karena sudah beberapa bulan jatuh sakit. Sedangkan bapaknya, pulangnya sore setelah bekerja sebagai buruh bangunan.
Aku hanya memperhatikan Laela yang nampak tidak berhenti sepulang dari sekolah. Aku duduk beralasakan tikar di halaman rumahnya sambil mengerjakan PR matematika yang diberi tugas oleh ibu guru. Beberapa kali aku mengeryitkan kening karena ada beberapa soal yang sulit kukerjakan, namun ketika ditanyakan kepada Laela, hanya beberapa menit saja sudah bisa menyelesaikan. Aku menggelengkan kepala karena kecerdasan otaknya.
Namun beberapa hari terakhir ini, Laela tidak masuk sekolah, tentu saja ibu guru menanyakan kepadaku, aku bingung sebab sudah tiga hari aku tidak bertemu dengannya. Pulang sekolah aku berniat akan ke rumahnya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan Laela.
Siang itu juga aku bergegas ke rumahnya setelah terlebih dahulu aku minta izin kepada ibuku. Langkahku agak dipercepat, aku ingin segera bertemu dengan Laela dan ingin segera tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tidak seperti biasanya, mendadak dalam hatiku ada perasaan yang tidak menentu, bahkan tadi malam aku sempat bermimpi bertemu denganya dalam keadaan yang sangat duka. Ia ditinggal mati oleh ibu tirinya. Ia menangus dan memeluk diriku. Aku kaget dan terperanjat ketika menyadari kalau itu adalah sebuah mimpi belaka. Kuharap tidak terjadi sesuatu pada keluarga Laela.
Setiba di rumahnya, aku agak heran karena kulihat sangat sepi, nyaris tidak ada siapa-siapa. Begitu pula ketika aku mengetuk pintu tidak ada jawaban. Beberapa kali aku mengucapkan salam, tetapi tak seorang pun yang keluar.
Untung saja, saat itu ada tetangga yang lewat dan aku segera menanyakan keadaan keluarga Laela.
“Mereka sejak kemarin sudah pergi ke rumah neneknya di Bogor. Ibunya mau berobat di sana…namun tadi Pak RT mendapat kabar kalau Ibu Laela meninggal dunia tadi padi…!”
“Hah meninggal dunia!” aku tersentak kaget.
“Iya betul. Dan mayatnya akan dikuburkan di Bogor…warga di sini hanya beberapa orang yang pergi ke sana…!”
Aku terpaku tak terucap sepatah kata pun. Tak dapat kubayangkan, betapa hancurnya hati Laela ditinggal ibu tiri yang sangat menyayanginya. Ia kini menjadi anak yatim yang butuh kasih sayang seorang ibu.
Tak terasa kalau bola mataku telah basah dengan air mata. Aku tak kuasa menahan kepedihan yang dialami Laela. Aku belum beranjak dari rumahnya. Berdiri dengan perasaan hati berkecamuk tak menentu. Kasihan, Laela harus ditinggal pergi ibunya. Padahal selama ini, Ibu Laela adalah satu-satunya ibu yang sangat memperhatikan dan menyayangi dirinya.
Aku pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Langkah kakiku terasa berat dan tidak bersemangat. Pikiranku membayangkan Laela yang hancur dan luka hatinya. Aku tak kuasa meraba dan merasakan hati Laela yang pasti merana selamanya.
Hampir seminggu aku tidak bertemu dengan Laela. Aku selalu menunggu kabar darinya, namun sama sekali tidak ada berita. Aku ingin sekali bertemu dengannya, tetapi sia-sia keinginan itu. Beberapa kali aku ke rumahnya selalu terkunci. Tentu saja aku semakin heran dan tidak mengerti; apakah Laela akan melanjutkan sekolah atau tidak?
Sebulan, dua bulan sampai enam bulan, Laela tidak ada kabar beritanya. Bahkan pihak sekolah sudah mengangap Laela keluar dari sekolah dan sudah dicoret. Aku kasihan dan bingung, aku ingin sekali menghubungi dia; tapi tidak tahu alamanya. Namun suatu hari, aku terkejut ketika melihat di halaman rumahku, ada seorang anak yang sangat aku hapal sekali wajahnya. Nyaris aku sama sekali tidak percaya kepada anak perempuan yang kurus badannya itu.
“Laela…benarkah ini kamu?” tanyaku penasaran seraya menatap dalam-dalam. Ada perubahan yang sangat mencolok di wajahnya, ia semakin kurus kering. Ia mengenakan baju yang kumal dan kotor serta mengenakan sandal karet. Wajahnya kusut dan tidak bergairah. Ia berbeda dengan yang dulu. Laela hanya menganggukkan kepala dan tiba-tiba ia memeluk aku erat-erat seraya menangis tersedu-sedu.
“Ada apa dengan kamu? Mengapa kamu tidak masuk sekolah?” bertubi-tubi aku menanyakan kepadanya. Tapi Laela tidak menjawab kecuali isak tangis yang tidak berhenti di pelukanku.
“Ayo masuk ke rumah!” kataku seraya menggandeng Laela masuk ke dalam rumah.
Ibuku yang mendengar suara tangisan, tentu saja kaget dan bergegas keluar rumah. Saat melihat kami berpelukan, ibuku bukan main terperanjat.
“Apakah ini Laela?” tanyanya.
Laela menganggukkan kepala seraya mendekati ibuku lalu bersalaman.
“Bu…tolonglah aku, Bu?” ujar Laela.
“Kenapa kamu Laela…kamu kemana saja?” Ibuku menatap Laela diliputi rasa penasaran. Ibu menyuruh Laela duduk. Aku bergegas mengambil air sebab kulihat ia sangat capai, terlihat dari wajahnya yang masih berkeringat.
“Bu, aku diusir oleh bapakku, karena aku tidak mau bekerja…aku disuruh bekerja di perusahaan…aku enggak mau…aku ingin sekolah. Namun bapakku memaksa aku harus bekerja. Karena aku tidak mau…aku diusir, maka aku lari ke sini!”
“Hah bapak kamu mengusir kamu…keterlaluan sekali!” kata Ibu jengkel dan terlihat wajahnya merah, “dasar orangtua tidak bertanggungjawab …”
Aku terperangah mendengar keterangan Laela begitu.
“Sekarang kamu tinggal dulu saja di sini…kamu makan dan ganti pakaian. Baju dan badanmu kotor sekali…naik apa kamu ke sini!”
“Aku berjalan kaki dari bogor ke Bandung !”
“Hah berjalan kaki!!!….berapa hari kamu sampai ke sini?” ibu dan aku kaget mendengarnya.
“Di jalan aku 5 hari. Aku berhenti kalau sudah lelah dan minta makan kepada ibu-ibu yang aku temui. Malam hari aku tidur di mesjid…..aku sudah bertekad akan ke rumah Susi dan tinggal bersama Susi…aku mau membantu apa saja di sini…yang penting aku bisa sekolah!” ucap Laela dengan berlinang air mata.
Aku menghela napas dan tak kuasa menahan air mata mendengar kisah Laela.
“Mengapa bapak kamu mengusir kamu?” tanyaku penasaran.
“Sejak ibu meninggal…bapak bergaul dengan orang-orang yang tinggal di terminal. Setiap hari pekerjaan mabok dan judi. Ia sudah tidak peduli denganku…aku disuruh bekerja dan uangnya untuk keperluan dia mabok dan judi…”
“Kalau rumah kamu yang di sini bagaiman?”
“Sudah dijual sama bapak dan uangnya dipakai mabok dan judi. Bapak sudah gelap mata dan hidupnya sudah tidak menentu!”
Beberapa kali aku menarik napas panjang. Rasanya dada ini sesak dan bola mataku seakan tak mampu lagi menahan cucuran air mata yang keluar dari sela-sela kelopok mata.
“Pokoknya kamu tinggal di sini saja…Mudah-mudahan kehadiran kamu menambah berkah rumah ini…!” ujar ibuku seraya menyuruh Laela mandi dan mengganti pakaian. Aku mengusap air mata. Ada rasa keharuan mendalam di hatiku ketika melihat badan Laela yang sangat kurus kering. Ada juga rasa bahagia, aku mempunyai sahabat di rumah.*** Tamat Jumat, 30 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar