AKU tak bisa menolak takdir yang terjadi atas diriku, aku pasrah dan menerima apa yang telah digariskan Allah Swt. Memang berat takdir yang harus aku hadapi, betapa tidak; aku sama sekali tidak mempunyai tangan, baik tangan kanan maupun tangan kiri. Sementara kedua kakiku normal sebagaimana anak-anak yang lain.
Sungguh sedih dan kerapkali aku menyesali nasib serta protes kepada Tuhan; mengapa aku dilahirkan berbeda dengan anak yang lain. Namun, ibuku begitu tabah dan sabar menghadapi keluhanku, bahkan ia selalu menasihati,
“Tidak perlu berkecil hati, meskipun kamu tidak memiliki kedua tangan, namun Ibu yakin Allah itu Maha Adil dan Maha Penyayang kepada setiap makhluknya. Bersabarlah menghadapi semua ini,” Aku meresapi benar apa yang diucapkan ibu, dan sampai sekarang sangat membekas. Namun aku belum bisa menerima kalau Allah Maha Adil, sebab Allah justru memperlakukan aku seperti ini. Aku hanya diam saja.
Hidup harus aku jalani denga kemampuan yang ada dalam diriku. Aku harus sabar dan tabah menghadapi cacat seumur hidup ini.
Sebagaimana anak-anak normal yang lain, aku pun ingin bermain dan yang terpenting aku pun ingin bersekolah. Aku senang sekali membaca buku dan sesekali aku suka melukis maupun mengarang sebuah ceritera.
Aku mempunyai adik perempuan ; yang selalu menemaniku. Adikku, Sumarni suka sekali berjualan makanan ringan yang dijajakan kepada anak-anak. Ibu yang membuatkan makanan yang terdiri dari; pisang goreng, combro, misro dan bala-bala. Aku suka menemani adikku saat berjualan. Kami lakukan semua itu sepulang dari sekolah. Kami tak mengenal lelah; karena kami kasihan sama Ibu.
Sementara bapakku tidak pernah kami ketahui, hanya kata ibu bapak sudah sejak 5 tahun meninggalkan ibu. Dia pergi entah kemana!
“Tapi mengapa bapak meninggalkan kita?” aku pernah bertanya begitu, karena penasaran.
“Ibu juga enggak mengerti; mengapa bapak setega itu meninggalkan kita yang sedang membutuhkan. Terakhir bapak pernah bilang akan bekerja ke luar negeri, katanya sih ke Malaysia, namun sampai sekarang tidak ada kabar berita. Mudah-mudahan saja bapak selamat dan ingat pada kita,” kata ibu dengan wajah diliputi kesedihan. Tidak jarang, aku sering melihat ibu menangis di tengah malam, karena memikirkan bapak yang tidak pernah kembali.
Kami menempati rumah yang sangat kecil, berukuran 5 x 5 meter. Rumah kecil itu merupakan warisan dari kakek yang meninggal dunia 7 tahun yang lalu. Meski kecil namun kami bersyukur tidak mengontrak rumah. Kami merawat dan memelihara rumah itu sebaik-baiknya.
Aku tidur dengan adikku di lantai yang hanya menggunakan tikar. Sementara ibu di ranjang tua yang cukup hanya seorang. Kami memang keluarga miskin. Kami tidak mempunyai televisi, kecuali radio berukuran kecil yang sering kami dengarkan di malam hari. Dulu kami pernah mempunyai TV, tetapi terpaksa dijual karena terdesak kebutuhan uang untuk makan sehari-hari.
Kami berusaha untuk tetap bertahan hidup, meski hanya mengandalkan kerja ibu sebagai pembantu rumah tangga di rumah Pak Haji Gofar,yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan kami. Sebelum pergi ke rumah Haji Gofar, ibu sudah menyiapkan dagangan untuk kami jual. Kalau kami sekolah siang, kami bisa berjualan pagi-pagi. Begitu pula kalau sekolah pagi-pagi, kami bisa berjualan siang hari.
Meskipun keuntungan yang kami peroleh tidak seberapa, namun kami merasa bangga sebab bisa belajar mandiri dan mencari uang sendiri. Tidak jarang, setiap kali kami berjualan ada saja ibu-ibu yang kasihan kepada kami, terutama melihat keadaaku yang tidak memiliki kedua belah tangan.
Pernah suatu ketika ada pengendara mobil sedan kasihan melihatku yang sedang berjalan di siang hari, mendadak ia berhenti. Lalu ia memanggil kami, dan memberikan uang sepuluh ribu rupiah. Aku kira dia akan membeli makanan yang kami jual, namun dia berkata,
“Ini buat kalian berdua,” ujarnya dengan ramah.
Aku menatap pengendaran mobil sedan itu, dan langsung saja aku berkata,
“Pak terima kasih atas kebaikan bapak, namun maaf Pak. Kata ibuku, kami sekali-kali tidak boleh menerima uang pemberian uang dari orang lain, kalau tidak membeli makanan. Jadi akan menerima uang ini kalau bapak membeli makanan…”
Bapak itu tampak melongo; tidak mengira akan ada ucapan yang begitu mulia.
“Oh, kalau begitu aku beli semua makanan ini. Berapa harganya?” katanya seraya menatap kearahku. Kulihat ia agak kaget dengan ucapanku. Ketika kusebutkan harganya Rp 50.000, ia mengambil uang dan memberikan semuanya.
“Sungguh aku kagum dengan kejujuran kamu. Kamu tidak mau menerima uang pemberian , meski kamu patut dikasihani. Aku borong semua makanan ini, karena kamu orang jujur,” katanya.
Adikku menerima uang itu, sementara aku beberapa kali mengucapkan terima kasih atas kebaikannya.
“Terima kasih, Pak!. Uang ini akan sangat bermanfaat bagi kami…” kataku.
Kejadian itu sangat membekas padaku, sehingga aku mempunyai pendirian tidak akan menerima pemberian uang dari siapapun, hanya karena kasihan kepadaku. Aku ingin memperlihatkan kalau aku adalah anak yang bisa mandiri dan tidak ingin menjadi pengemis, memanfaatkan kecacatan fisikku.
Dengan berjualan berkeliling ternyata banyak orang yang simpati dan menjadi langganan kami. Kami sendiri sedikit demi sedikit sudah bisa menabung. Bagi kami tidak ada waktu untuk bermain, kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk belajar dan berjualan.
Aku pun tidak ingin merepotkan adikku. Makan, minum dan segala aktivitas dilakukan sendiri dengan menggunakan kaki. Termasuk belajar di kelas, aku mencatat pelajaran dengan menggunakan kaki. Kedua kakiku berfungsi juga sebagai tangan yang bisa melakukan aktivitas lain. Aku menulis menggunakan kursi. Semula banyak kawan-kawanku yang heran dan tidak mengerti, bagaimana aku bisa menulis dengan kaki. Namun setelah kuperlihatkan bahwa kakiku juga bisa digunakan menulis, barulah mereka mengerti.
Sebagaimana anak-anak yang lain, aku pun suka bermain sepakbola. Aku memiliki kelebihan bisa menendang bola dengan kecepatan yang tinggi dan berlari kencang. Bahkan pernah ketika ada perlombaan lari seluruh siswa, aku menjadi juara pertama lomba lari. Tidak ada yang bisa menandingiku kecepatan berlari. Banyak para siswa dan guru bengong dan tidak percaya kalau aku mempunyai kecepatan dalam berlari.
Tak heran kalau aku sering dijuluki anak ajaib. Namun aku merasa biasa-biasa saja. Kalau ada kelebihan dalam diriku, itu semata-mata hidayah yang diberikan Allah Swt. Aku sangat bersyukur, ternyata dibalik semua itu ada hikmah yang tersembunyi.
Tetapi dalam benakku selalu saja ada rasa kepenasaran, yaitu tentang bapakku yang sampai sekarang tidak pernah ada kabar beritanya. Samar-samar aku masih teringat wajah bapakku saat aku masih kecil. Dia seringkali mengendong dan membawaku jalan-jalan. Ada rasa keriduan ingin bertemu dengan bapak, namun dimana harus mencari?
“Sudahlah, bapak tidak perlu lagi dipertanyakan….ibu sendiri enggak tahu kemana?” kata ibu saat aku menanyakan.
“Bukan apa-apa, Bu! Malam tadi aku bermimpi bertemu bapak. Aku yakin bapak masih ada dan masih hidup…hanya kita tidak tahu dimana adanya?”
“Mudah-mudahan saja mimpi kamu itu betul. Ibu juga enggak mengerti sudah lebih 5 tahun tidak ada kabar berita, sementara kita banyak sekali kebutuhan,”
“Yang penting bapak selamat dan sehat. Dan bisa berkumpul bersama kita,” kata adikku, Sumarni.
“Mudah-mudahan saja pulangnya membawa rezeki yang banyak,” kata Ibu sangat berharap sekali.
Namun harapan tinggal harapan, bapak kami tidak pernah ada kabar berita sama sekali. Bapak seperti ditelan bumi, hilang entah kemana. Kami pun sudah jenuh menunggu setiap hari di pintu rumah, tetapi sia-sia.
“Sudahlah, anggap saja bapak sudah meninggal dunia, agar kita tidak berharap lagi bisa bertemu..!” kata ibu.
Aku dan Sumarni saling tatap dan tidak berkata sepatah kata pun. Kalau memang bapak sudah tiada di bumi, kami ikhlas menerima takdir, namun kami ingin tahu dimana kuburannya?
Namun suatu hari betapa kami gembira karena mendapat kabar kalau bapak masih hidup. Kabar itu diperoleh dari Pak Suganda yang baru saja pulang bekerja di Malaysia. Dia mengabarkan kalau bapakku Pak Suwarman sehat.
“Tetapi dia itu mendapat musibah, Pak Suwarman dituduh telah membunuh majikan. Dia masuk penjara selama beberapa tahun. Setelah diproses di pengadilan, dia tidak bersalah dan difitnah oleh seorang karyawan yang tidak senang kepada bapak,” ujarnya.
Tentu saja kami kaget mendengar kabar itu.
“Mengapa bapak tidak memberi kabar kepada kami kalau masih hidup?” kata ibuku dengan mata berkaca-kaca.
“Pak Suwarman merasa malu kalau harus menyampaikan berita berada di penjara. Jadi lebih baik tidak mengirim kabar,” katanya.
“Tapi sekarang bagaimana keadaan bapak?” tanyaku penasaran.
“Alhamdulillah, akibat fitnah itu, bapak mendapat ganti rugi dari pemerintah Malaysia. Minggu depan ia akan pulang ke Indonesia. Aku disuruh menyampaikan hal ini kepada kalian. Bahkan aku membawa surat dari bapak untuk disampaikan kepada Ibu,” katanya.
Pak Suganda memberikan sepucuk surat yang langsung diterima Ibu. Tangan ibu nampak gemetar menerima surat itu, sebab tidak menyangka sama sekali kalau Pak Suwarman masih hidup. Aku dan Sumarni pun penasaran ingin tahu, apa isi surat itu?
Setelah Pak Suganda pamitan. Kami bergegas membuka surat itu.
Ibu dan anak-anakku tercinta!
Bapak mohon maaf yang sebesar-besarnya, tidak bermaksud menyengsarakan kalian. Musibah ini sungguh ujian yang harus diterima dengan kesabaran. Bapak difitnah oleh orang yang tidak suka kepada bapak bahwa bapak telah membunuh majikan, padahal majikan itu dibunuh oleh orang yang memfitnah kepada bapak. Bapak masuk dalam penjara selama beberapa tahun. Namun bapak sabar dan menerima dengan ikhlas semua itu. Bapak malu untuk menyampaikan kabar berada dalam penjara.
Selama di penjara bapak berdoa agar diberi kekuatan dan kesabaran serta diperlihatkan siapa sesungguhnya yang membunuh itu. Ketika bapak mengajukan peninjauan kembali terhadap vonis pengadilan karena bapak tetap tidak merasa membunuh, mereka mengabulkan dan sang pembunuh atas izin Allah ketahuan.
Akibat kesalahan pengadilan memvonis bapak masuk penjara, maka pemerintah Malaysia memberikan ganti rugi kepada bapak. Alhamdulillah bapak mendapat uang Rp 100 juta. Insya Allah bapak akan pulang secepatnya setelah semua administrasi beres dan bapak dinyatakan bebas.
Selesai membaca surat itu, kami tak kuasa menahan air mata, menangis berpelukan sebab tidak menyangka kalau bapak ternyata masih ada dan akan pulang dari Malaysia. Tak terbayangkan betapa gembiranya hati kami bapak bisa berada di tengah-tengah kami.
Kami tentu tidak akan lagi capai untuk berjualan. Ibu pun akan berhenti menjadi pembantu rumah tangga. Hati kami berbunga-bunga, terbayang dalam benak kami wajah bapak yang dihiasi kegembiraan bisa berkumpul lagi di rumah.
Kami pun akan mengadakan syukuran bersama warga di sini; sebagai ungkapan kebahagiaan kalau bapak sudah pulang dalam keadaan selamat. ***
Senin, 12 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar