Selasa, 21 Juni 2011

Anjing Sang Penolong



            Sebenarnya aku tidak suka dengan anjing yang berwarna hitam itu, tetapi hampir setiap hari ia selalu ada di kebun belakang rumahku. Aku tidak tahu, anjing itu milik siapa. Usianya belum dewasa, masih kecil. Beberapa kali aku mengusir anjing kecil itu, namun tidak lama kemudian ia datang lagi. Aku kesal.
            “Kamu ini  bagaimana sih! Datang lagi ke sini?” tanyaku saat  kulihat anjing itu sudah ada lagi di kebunku.
            “Sudah biarkan saja. Dia mungkin ingin tinggal di kebun kita…beri saja makanan!” kata ibuku yang saat itu melihat aku marah pada anjing.
            “Aku tidak suka anjing!”
            “Asal jangan dekat-dekat saja! Biarkan saja dia bermain di kebun kita”
            Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menurut apa yang dikatakan Ibu. Aku segera saja mengambil nasi dan kepala ikan, lalu kuberikan pada anjing itu. Rupanya anjing itu kelaparan, sebab ketika kuberikan, langsung saja disantap dengan lahapnya. Kuperhatikan dengan seksama, lucu juga ketika kulihat. Selesai makan, ia berlari-lari kian kemari, seolah menunjukkan kegembiraannya. Aku tersenyum melihat tingkah laku anjing berwarna hitam itu.
            Sepulang sekolah, aku biasanya bergegas ke kebun. Kebun kami cukup besar dan ditanami beberapa pohon diantaranya pohon jambu, nangka, serta beberapa tanaman obat. Bapakku sangat menyukai berkebun. Sepulang kerja, bapak suka berada di kebun untuk menyiram atau menanam beberapa pohon kegemarannya.
            Sejak ada anjing itu, aku jadi sering berada di kebun untuk sekedar membantu bapak menyiram atau membersihkan daun-daun yang berserakan. Bapak menghabiskan waktu biasanya sedang libur kerja. Dari pagi sampai sore membereskan dan membersihkan tanaman dari hama dan penyakit.
            Anjing itu kuberi nama si Hitam, sesuai keadaan bulunya yang hitam. Ketika kupanggil nama itu, pastilah dia akan berlari mendekatiku dengan gembira dan ekornya digerak-gerakkan ke kanan-kiri, sebagai tanda kalau dia bahagia dipanggil olehku. Dia akan menggonggong ketika aku memanggilnya.
            Namun suatu hari, aku kaget dan terkejut sebab beberapa kali kupanggil dengan suara keras, dia tidak pernah menggonggong dan berlari mendekati.
            “Hitam…hitam…dimana kamu?” teriakku. Namun yang dipanggil tidak ada sahutan. Aku gelisah, jangan-jangan si Hitam ada yang mencuri atau dia ada yang meracun. Aku bergegas mencari ke setiap sudut di kebun, namun si Hitam entah dimana adanya.
            Aku berlari ke rumah dan menceriterakan ketiadaan si Hitam kepada Ibu dan bapakku.
            “Ah masa dia hilang…tadi pagi masih kudengar suaranya?” ujar bapak keheranan.
            “Aku sudah  mencari kian kemari, tapi si Hitam tidak ada. Dimana ya?” tanyaku gelisah dan cemas.
            “Mungkin sedang bermain ke tempat lain…tunggu saja nanti juga datang lagi!” ujar Ibu merasa kasihan melihat aku gelisah.
            “Aduh bagaimana kalau dia tidak kembali lagi?” kataku.
            “Jangan cemas dulu. Tunggu saja…siapa tahu dia akan segera kembali” kata Bapak.
            Aku berusaha untuk menenangkan hati yang gelisah, aku sangat takut kehilangan si Hitam. Dia sudah menjadi bagian dalam hidupku yang sulit untuk dipisahkan. Aku merasa si Hitam adalah keluargaku sendiri. Meski dia seekor anjing, namun aku sudah menyayanginya.
            Ditunggu sampai sore, kemudian malam. Si Hitam tak pernah muncul. Esok harinya aku masih berharap dia akan datang kembali ke kebun. Namun sia-sia, sebab Dia tak pernah datang lagi. Aku menangis di kebun.
            “Sudahlah….mengapa mesti ditangisi…si Hitam mungkin ada yang mencuri?” ujar bapakku tatkala melihat aku mencucurkan air mata.
            “Aku sudah sangat dekat dengannya, jadi aku selalu memimpilan si Hitam….!” ujarku seraya menyeka air mata.
            “Ya mudah-mudahan ada pengganti yang lebih baik!”
            Aku belum bisa melupakan si Hitam. Aku masih berharap dia akan kembali. Namun sudah tiga hari anjing yang lucu tidak pernah muncul-muncul, yang membuat aku harus merelakan.
            Tetapi hari keempat aku kaget karena ada seorang kakek yang datang ke rumah, seraya dia membawa seekor anjing yang ternyata dia adalah si  Hitam, yang aku cari selama ini. Namun kulihat kakinya terluka. Jalannya tertatih-tatih. Bukan main aku gembira melihat anjing itu masih hidup,
            “Lho kenapa dengan anjingku ini dan apakah kakek yang membawa anjing ini?” tiba-tiba aku bertanya kepada kakek dengan nada keras.
            “Aku mau mengantarkan anjing ini….dia terluka di kakinya…..dia sudah berjasa pada kakek!” ujar kakek yang berambut putih dan jalannya agak bungkuk.
            “Hah! telah berjasa….apa yang terjadi dengan si Hitam?” aku penasaran.
            “Betul nak! Anjing ini telah berjasa pada kakek…kakek ditolong oleh anjing ini…!”
            “Apa yang terjadi dengan kakek?” sekali lagi aku bertanya.
            “Begini nak! Ketika aku sedang berjalan kaki mau pulang ke rumah lewat sawah…aku tidak tahu kalau ada seekor ular yang akan menggigit kakek….tanpa sepengatahuanku anjing ini telah berkelahi dengan seekor ular yang akan menggigit kakek. Dia terluka di kakinya dan tidak bisa berjalan maka kakek membawanya ke rumah untuk dirawat!”
            Aku melongo sama sekali tidak mengira si Hitam bisa menyelamatkan seorang kakek.
            “Terus ularnya bagaimana?” tanyaku penasaran.
            “Ularnya sudah mati digigit anjing hitam ini. Aku merawatnya selama beberapa hari di rumah. Ketika sudah sembuh, anjing ini ingin keluar rumah. Maka aku mengikuti anjing ini…dan anjing hitam  ini menuju rumah ini…maka aku mohon maaf kalau anjing ini berada di rumahku selama beberapa hari,” ujar kakek.
            Aku menggelengkan kepala dan bergegas memburu si Hitam yang nampak duduk seraya mengibas-ngibaskan ekornya ke kanan kiri. Dia nampak gembira dan mengeluarkan gonggongan ketika aku mendekatinya.
            “Sungguh luar biasa apa yang sudah kamu lakukan. Kamu bisa menolong orang lain,!” kataku seraya mengusap-usap punggungnya dengan  penuh kasih sayang.
            “Beruntunglah kamu mempunyai anjing yang baik ini…semoga anjing ini menjadi teman kamu yang baik,” ujar kakek itu seraya beberapa kali mengucapkan terima kasih kepadaku yang telah kebingungan mencari-cari anjing yang hilang.
            “Aku sudah tidak berharap si Hitam akan datang lagi. Namun rupanya dia datang bagaikan seorang pahlawan yang bisa menyelamatkan orang lain,” kataku.
            Kakek itu pun tidak lama berpamitan pulang serta beramanat kepadaku agar merawat si Hitam sebaik-baiknya. “Anjing adalah makhluk Allah. Dalam Al-Quran pun tercantum di surat Al-Kahfi kalau seekor anjing menemani para pemuda yang berjuang membela kebenaran, maka anjing itu menyertai mereka masuk ke dalam Gua Al-Kahfi…mereka ditidurkan selama 350 tahun dalam gua bersama anjingnya…!”
            Aku terkejut mendengar itu, sebab rasanya baru pertama mendengar kalau dalam Al-Quran ada seekor  anjing yang disebut-sebut menemani para pemuda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran di jalan Allah.  Aku jadi penasaran ingin bertanya kepada guru agama di sekolah kisah para pemuda dan sekor anjing yang ditidurkan selama 350 tahun.****
                                                                        Bandung, 28 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar