Selasa, 21 Juni 2011

Anak Nakal

           
            NAKALNYA bukan main, dan hampir semua anak-anak SD Pasirwangi mengenalnya. Selain memiliki  kulit yang hitam, ia pun perawakannya pendek-besar dan rambutnya keriting. Anak-anak perempuan paling takut kalau sudah didekati oleh si Aming ini. Ia memang bukan asli dari Pasirwangi, tapi pendatang dari desa lain. Kedua orangtuanya sudah merasa kesal dengan perilaku Aming yang kerapkali keterlaluan. Namun di samping itu, Aming tetap seorang anak yang memiliki kecerdasan yang cukup baik di sekolah. Terbukti nilai setiap mata pelajaran rata-rata tujuh.
            Di sekolah sering sekali berkelahi dengan teman. Berulang kali pula ia dipanggil ibu kepala sekolah dan dimarahi. Namun tetap saja, ia tidak bisa menghilangkan kenakalannya. Pernah ia dipanggil kepala sekolah karena memukul  kepala anak perempuan sampai menangis.
            “Kamu ini bagaimana sih? Setiap hari selalu saja ada yang kamu lakukan? Kenapa kamu nggak bisa diam?” tandas Bu Dewi, kepala sekolah dengan mata melotot.
            “Habis sih anak itu selalu mengejek aku dengan menyebut si hitam…ya aku pukul saja,” ujar Aming.
            “Awas kalau kamu main pukul lagi, ibu akan hukum kamu..”
            Aming mengangukkan kepala dan disuruh masuk ke kelas.
            Di kelas terdengar anak-anak sedang ribut karena pelajaran matematika kebetulan gurunya sedang ada keperluan. Beberapa anak-anak saling tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat wawan, anak yang lucu sedang mempraktikkan gaya monyet yang sedang berjalan.
            “Tahu nggak, itu gaya siapa?” tanya Wawan kepada anak-anak yang sedang mengelilinginya.
            “Bukan …itu gaya si Aming kalau sedang berjalan…”
            “Ha…ha…ha..” anak-anak tertawa ketika menyebut nama Aming. Kebetulan saat itu Aming baru masuk ke ruang kelas. Ketika namanya disebut, ia segera saja mendekati mereka dan ikut bergabung.
            “Hay…mengapa menyebut nama aku…memangnya ada apa?” tanyanya.
            “Oh…kamu sudah masuk. Kebetulan kalau begitu. Begini Ming, kamu coba praktikkan kalau Ibu Dewi sedang memarahi kamu….” Kata Wawan.
            “Begini nih….hay Aming kamu ini nggak bisa diam? Kamu  ini bagaimana sih?” Aming menirukan gaya Ibu Dewi, tentu saja anak-anak tatkala melihat gayanya yang lucu, mereka semua tertawa.
            Di kelas setiap hari ramai kalau tidak ada guru yang masuk. Bahkan mereka saling  kejar-mengejar antarsesama kawan. Tentu saja suasana sangat gaduh. Namun ketika ada Ibu Dewi yang masuk, seketika mendadak sepi dan tidak ada yang berani bicara. Wajah Ibu Dewi mendadak cemberut kalau mendengar anak-anak berisik. Tidak ada yang berani seorang pun yang berkata-kata.
            Ibu Dewi memang sangat disegani sekolah, tetapi sekaligus juga dibenci, karena terkadang ia sangat galak kepada anak-anak yang nakal atau anak-anak yang tidak mengerjakan  tugas PR. Kalau menghukum anak-anak, tidak segan-segan ia akan memukul siswa dengan sapu lidi ke kakinya. Aming sudah terbiasa terkena pukulan lidi Ibu Dewi. Namun ia memang sangat bandel dan tidak pernah kapok.
            Pernah suatu kali Ibu Dewi dibuat menangis oleh Aming, karena dengan sengaja Aming menyembunyikan kacamata milik Ibu Dewi. Masalahnya bukan apa-apa, Aming kesal kepada Ibu Dewi karena marah-marah tatkala mengajarkan matematika, banyak anak-anak yang  tidak mengerti. Ketika satu orang-satu orang ke depan untuk mengerjakan soal, anak-anak yang tidak bisa langsung disuruh berdiri di depan. Hampir semua anak-anak berdiri di depan karena tidak bisa mengerjakan soal yang memang sulit.
            “Nah inilah anak-anak yang bodoh dan nakal. Kalian tidak pernah memperhatikan ibu kalau sedang menerangkan, akibatnya kalian tidak bisa mengerjakan,”  ujar Ibu Dewi dengan suara tinggi.
            Saat sedang memarahi anak-anak, Aming yang kebetulan  berdiri dekat meja Bu Dewi melihat kacamata terletak di situ. Diam-diam Aming mengambil kacamata Bu Dewi lalu diselipkan di belakang baju. Tak seorang pun yang tahu, Aming sudah mengambil kacamata Bu Dewi.
            Selesai memarahi, anak-anak disuruh duduk kembali. Aming bergegas duduk di bangku. Ia bersikap tenang sebagaimana anak-anak yang lain. Selang beberapa menit kemudian, Bu Dewi berteriak: “Siapa yang mengambil kacamata Ibu?”
            Anak-anak semua terdiam. Aming pun tidak memperlihatkan wajah yang tegang, ia tenang saja. Terlihat Bu Dewi wajahnya memerah, itu pertanda marah.
            “Mungkin Ibu lupa menyimpan?” ujar Santi, yang duduk di depan.
            “Ibu nggak lupa…kacamata Ibu tadi disimpan di sini?” telunjuknya menunjuk pada meja.
            “Pasti ada yang mengambil…”ujar Bu Dewi, “Sekarang semua anak-anak berdiri dan Ibu akan menggeledah baju kalian….”
            Anak-anak semuanya berdiri. Satu orang satu orang oleh Bu Dewi  digeledah. Namun sampai yang terakhir, Bu Dewi tidak menemukan kacamata itu. Ia terlihat mulai marah dan berang…apalagi waktu belajar sudah habis dan anak-anak sudah waktunya pulang.
            “Ibu barangkali lupa menyimpan?” kata anak-anak.
            Bu Dewi terdiam, napasnya turun naik dan wajahnya terlihat gelisah. Sementara Aming diam saja. Ketika digeledah, Aming tak memperlihatkan gelisah, ia tenang saja. Dan memang tidak ada kacamata di Aming. Entah bagaimana anak itu menyembunyikan kacamata milik Bu Dewi.
            “Sudah sekarang kalian pulang!” ujar Bu Dewi.
            Anak-anak bergegas keluar kelas berlarian. Bu Dewi masih duduk di kursi. Ia tak bergairah, mungkin masih menahan rasa marah dan kesal. Namun ia tidak mengerti, siapa yang mengambil kacamata dirinya?
            Aming berjalan bersama teman-teman.
            “Tahu nggak siapa yang mengambil kacamata itu?” tiba-tiba Aming berkata kepada kawan-kawan. Semua menggelengkan kepala.
            “Kalian ingin tahu, siapa yang mengambil kacatamata itu?” tanya Aming.
            “Tentu saja  kami ingin tahu,”
            “Yang mengambil kacamata itu adalah….Aku!” ujar Aming seraya mengeluarkan kacamata yang disimpan dibalik celana dalam, dekat alat vitalnya.
            “Hah!” semua anak-anak bengong.
            “Kamu keterlaluan, Bu Dewi sampai menangis…!” ujar Sinta.
            “Biarin saja…supaya dia mikir,  kalau ngajar jangan sampai marah-marah sama kita. Aku nggak suka cara dia begitu!” ujar Aming.
            “Jadi sekarang kacamatanya mau diapakan?” tanya Wawan.
            “Aku kembalikan saja ke rumahnya. Aku akan katakan, kalau kacamata ini aku temukan di bawah meja,”
            Anak-anak menggelengkan kepala. Aming memang terlalu berani berbuat konyol seperti itu. 
            Bu Dewi sempat kaget ketika Aming mengembalikan kacamata dan mengatakan kalau kacamata itu ditemukan di bawah meja. Sesaat Bu Dewi terdiam tidak bicara  sepatah katapun. Ia bingung; padahal beberapa  kali ia mencari-cari ke bawah meja, namun tidak ditemukan. “Aneh sekali,” bisik hati Bu Dewi. Ia tidak marah kepada Aming, hanya lidahnya kelu, sehingga lupa mengucapkan terima kasih.
            Meskipun nakal, tetapi Aming mempunyai jiwa patriot yang luar biasa. Ia tak segan-segan menolong kepada teman yang membutuhkan, bahkan ketika ada siswa yang dikejar anjing kampung, Aming tampil  bak seorang pahlawan. Dengan membawa tongkat besar, Aming menghantam anjing  yang hampir saja menggigit seorang siswa yang sudah jatuh terkapar di jalan. Untung saja Aming cepat bertindak, ia  bergerak cepat menolong anak perempuan itu.
            Kejadian yang sungguh luar biasa menimpa  Bu Dewi saat  pulang sekolah. Ketika itu hujan cukup deras, Bu Dewi berjalan dekat sungai. Ia tidak menyadari kalau air sungai sangat besar. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja kaki Bu Dewi menginjak lubang dan akibatnya ia terjatuh ke sungai. Seketika tubuh Bu Dewi terbawa arus.  Saat itu kebetulan Aming melihat peristiswa itu.
            Tanpa pikir panjang, Aming berlari  mengejar tubuh Bu Dewi yang sudah terbawa arus air yang besar. Anak hitam yang nakal itu mendadak timbul keberanian untuk menolong Bu Dewi, padahal guru itu seringkali memarahi di kelas dan memukul dengan sapu lidi.
            Entah ada kekuatan dari mana, Aming langsung terjun mengejar tubuh Bu Dewi yang terlihat timbul tenggelam di permukaan air. Sungai itu sangat besar, namun keberanian Aming  memang luar biasa. Tanpa sedikit pun rasa takut, Aming bergerak cepat mendekati tubuh Bu Dewi yang sudah tenggelam. Napas Bu Dewi sudah kehabisan, dan air sungai sudah banyak yang masuk ke mulutnya. Ia tersengal-sengal.
            Aming dengan sekuat tenaga menggenggam tangan Bu Dewi.  Tangan Bu Dewi ditarik, sehingga tubuh Bu Dewi terangkat ke permukaan air dan ia bisa bernapas. Dengan kecepatan berenang, yang memang dikuasainya, Aming membawa Bu Dewi ke pinggir sungai. Tampak Bu Dewi terlihat schok dan beberapa kali ia  mengeluarkan air dari mulutnya.
            Beberapa orang yang terlihat ikut mengejar di darat, bergegas menolong Aming dan Bu Dewi yang sudah ada di pinggir sungai. Air yang deras menghantam tubuh mereka, namun untung Aming sudah memegang pohon yang tidak jauh dari situ. Para guru yang kebetulan menyaksikan peristiwa tersebut merasa salut dengan keberanian Aming.
            Bu Dewi masih terbaring dengan muka pucat di pinggir sungai dan masih belum sadar apa yang sesungguhnya terjadi. Para guru bergegas menolong Bu Dewi mengeluarkan air sungai yang sudah banyak masuk ke perutnya. Sementara Aming hanya terduduk dekat Bu Dewi dengan napas terengah-engah. Ia sangat gembira karena bisa menolong Bu Dewi dalam keadaan masih selamat.
            Pelan-pelan Bu Dewi membuka mata. Badannya terasa sakit karena berbenturan dengan benda-benda yang ada di sungai.
            “Siapakah yang menolong Ibu?” tiba-tiba Bu Dewi berkata dengan suara pelan.
            “Aming yang menolong Ibu,” ujar Pak Asep seraya menunjuk Aming yang masih terduduk tidak jauh dari situ.
            Bu Dewi sesaat terdiam, ia seperti tak percaya.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar