Kamis, 23 Juni 2011

Bapakku Tukang Becak


            TERKADANG aku kasihan melihat bapak yang sedang mengayuh becak membawa penunpang dan barang-barang yang cukup berat. Kulihat keringatnya bercucuran dari dahi dan wajahnya. Dari kejauhan saat aku pulang sekolah aku menatapnya dalam-dalam,  tak terasa kalau bola mataku telah basah dengan air mata. “Ya Allah, berilah kekuatan dan ketabahan pada bapakku, aku ingin sekali membantu, tapi apa yang harus aku lakukan!” bisikku dalam hati seraya berjalan kaki hendak pulang ke rumah.
            Aku seorang siswa SD yang kini duduk kelas 5. Aku memang anak miskin yang tidak memiliki harta. Aku mempunyai adik laki-laki bernama Ahmad yang kini duduk di kelas 1 pada sekolah yang sama. Kami mengontrak rumah yang sangat kecil, yang cukup untuk kami berempat. Meski sempit namun bapak dan ibuku selalu mengingatkan agar kami tidak lupa untuk rajin beribadah dan menuntut ilmu setingg-tingginya.
            “Ibu berharap agar kamu Fitri menjadi anak kebanggaan orangtua, meski kita hidup seperti ini,” ujar Ibu saat kami berkumpul di rumah. Ibuku selalu menekankan agar rajin belajar dan tidak boleh banyak bermain, apalagi menonton televisi. “Jangan terlalu banyak menonton TV, lebih baik waktu dipergunakan untuk membaca buku. Membaca akan membuka cakrawala kamu tentang kehidupan ini,”  ucapnya.
            Aku sangat penurut apa yang dikatakan ibu. Pernah satu kali aku pulang sekolah agak sore dan tidak memberitahu dulu kepada ibu, beliau marah-marah. Aku ditanya mendetail, apa saja kegiatan yang dilakukan? Aku menjawab kalau esoknya ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan sehingga tidak sempat pulang dulu ke rumah. “Lain kali, kamu harus memberitahu, soalnya bukan apa-apa, kamu seorang wanita, ibu takut ada apa-apa sama kamu,” katanya.
            Aku memahami betapa ibu sangat perhatian sekali, sampai-sampai setiap pulang sekolah, beliau selalu memeriksa kantong sekolah dan melihat catatan yang kubuat. Bahkan nilai yang aku peroleh harus diberitahu kepada ibu, baik nilai jelek maupun bagus. “Ibu menanamkan pada kamu, yang penting jujur dalam hidup ini. Itu yang bapak kamu tanamkan kepada ibu; harus berbuat jujur dalam segala hal. Kalau jujur kamu akan menjadi orang yang dihormati, dihargai dan dibutuhkan,” ungkapnya.
            Sebagai tukang becak, bapak memang pekerja keras dan tidak kenal lelah. Kadang-kadang pulang larut malam bila masih ada penumpang yang minta diantarkan. Meski berat dijalani sebagai penarik becak, namun aku jarang mendengar bapak mengeluh, tetapi sebaliknya selalu memberi dorongan kepada kami agar sabar dan tabah menjalani hidup ini.
            “Bapak sudah capai menjadi penarik becak. Bapak ingin mengubah nasib, bekerja di pabrik atau dimana saja, tetapi zaman sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. Bahkan perusahaan pun banyak yang gulung tikar menghadapi perekonomian sekarang ini. Banyak pekerja yang di PHK dan pengangguran semakin membengkak. Namun kita tetap harus mensyukuri karena ada keluarga yang berada di bawah kita. Tuh lihat orang-orang yang tidur di kolong jembatan , kita masih beruntung bisa mengontrak rumah dan ada pendapatan setiap hari,” kata bapakku ketika kami sedang berkumpul di rumah. Bapak pada saat sedang ada di rumah sering mengajak kami  ngobrol dan menceriterakan pengalaman hidupnya.
            Aku suka tertarik kalau bapak sudah berceritera tentang pengalaman semasa kecil yang seringkali membuat kami tertawa. “Bapak dulu pernah diam di pesantren, bapak masih ingat saat itu para santri sudah tidak mempunyai lauk pauk untuk makan malam, sehingga ada yang berinisiatif untuk mencuri ikan di kolam milik pak Kyai. Di malam hari, kami berlima mencuri ikan di kolam itu dan mendapat ikan beberapa ekor yang besar-besar, sekedar untuk makan malam. Setelah mendapatkan ikan, kami segera memasaknya. Kami tidak menyangka ketika sudah masak dan ikannya sudah selesai dibakar, Pak Kyai mendatangi kami untuk ikut makan bersama kami…tentu saja kami ketakutan soalnya ikan itu hasil curian…namun pak Kyai berkata : Abah ridho ikan itu dimakan oleh para santri, tetapi lain kali harus bilang dulu. Yuk kita sekarang makan bersama. Mendengar itu kami merasa malu, sebab Pak Kyai tahu kalau ikan itu diperoleh dari kolam renangnya,” ceritera bapak.  Aku yang mendengar hanya tersipu-sipu. “Jadi jangan sekali-kali kita mencuri…toh akhirnya ketahuan juga.” Katanya.
            Banyak pelajaran yang kami peroleh dari obrolan dengan bapak. Aku sendiri selalu memegang teguh nasihat bapak untuk selalu menjaga harga diri, meski kami sebagai orang miskin.
             Banyak suka dukanya yang dialami bapak sebagai pengayuh becak, namun yang membuat kami menangis, adalah kejadian yang pernah menimpa  bapak  tatkala ditabrak oleh kendaraan kijang. Bapak selama sebulan berada di rumah sakit, karena kakinya patah. Untung saja penabrak mau bertanggungjawab membiayai seluruh perawatan sampai bapak sembuh lagi.
            Meskipun sudah kecelakaan, namun bapak tidak berhenti menjadi pengayuh becak dengan alasan, tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan.”Bapak mampunya hanya menjadi tukang becak, mau apa lagi?” ucapnya dengan suara datar dan menatap kearahku. Aku hanya terdiam tak sepatah katapun keluar dari mulut. Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan menundukkan kepala. Aku ingin sekali membantu meringankan beban berat bapak.
            Pernah  aku ingin membantu bapak dengan bekerja sebagai pengasuh anak balita milik tetangga, namun bapak langsung melarangku: “Jangan…bapak tidak ingin kamu terganggu sekolah karena menjadi pengasuh. Tugas kamu sekolah dan belajar yang rajin, itu sudah membuat bapak bangga dan bahagia. Bapak akan berusaha agar kamu menjadi orang yang berhasil,”
            Namun aku berusaha untuk mandiri. Aku sudah membiasakancmenghadapi kekurangan. Itu sebabnya, setiap berangkat ke sekolah aku tidak sarapan pagi, karena di rumah tidak mempunyai makanan. Tetapi aku tidak banyak menuntut, aku hanya minum teh manis saja. Terkadang juga aku tidak membawa bekal uang ke sekolah. Tetapi di sekolah, ada saja teman yang baik hati. Aku tidak pernah meminta-minta, mereka yang memberi jajan atau mentraktir makanan kalau aku sudah membantu menerangkan matematika karena kebanyakan para siswa sulit belajar matematika.
            Aku beruntung diberi otak cemerlang dan mempunyai prestasi di sekolah. Sejak kelas 1 aku selalu menjadi juara kelas. Aku bersyukur  dengan kelebihan ini dan aku akan berusaha untuk menjadi anak yang berhasil di sekolah. Itu sebabnya, betapa aku gembira ketika mendengar dari Kepala Sekolah, Pak Nurman akan mendapat beasiswa karena prestasiku yang bagus. 
            “Mudah-mudahan kamu berhasil akan bapak ajukan kamu untuk mendapat beasiswa dari PT Pikiran Rakyat,” katanya.
            Mendengar kabar itu, tentu saja aku bahagia. Ketika aku menyampaikan kepada bapak dan ibu, tentu saja wajah mereka ceria dan bersinar terang, “Bapak doakan semoga kamu berhasil!” katanya.
            Beasiswa  yang kutunggu tidaklah terlalu lama, seminggu kemudian aku mendapat panggilan dari  kepala sekolah dan mengabarkan kalau aku berhasil memperoleh beasiswa. Hatiku riang tiada terkira. Soalnya bukan apa-apa, beasiswa akan meringankan beban hidup kami.
            “Kamu akan diberi beasiswa di Hotel Papandayan Bandung oleh Direktur PT Pikiran Rakyat . Nah kamu harus berangkat besok hari dengan kedua orangtua kamu. Jangan khawatir semua ongkos ditanggung oleh perusahaan,” kata Pak Nurman.
            Sulit membayangkan kebahagiaan yang aku rasakan saat itu, aku tak kuasa meneteskan air mata karena beasiswa sangat aku dambakan selama beberapa tahun. Dulu pernah Pak Nurman menjanjikan kepadaku  akan mendapat beasiswa, tetapi selalu gagal, dengan alasan banyak sekali saingannya. Aku sendiri memaklumi.
            Pulang sekolah aku bergegas pulang ke rumah ingin segera mengabarkan kepada bapak dan ibuku. Wajah mereka terlihat riang gembira ketika aku memberikan selembar surat panggilan untuk menghadiri acara pemberian beasiswa di Bandung.
            “Tapi bagaimana kita pergi ke Bandung. Kita kan tidak mempunyai uang…” kata ibu.
            “Kata pak kepala sekolah, ongkos akan diganti oleh perusahaan, jadi kita pinjam saja dulu,” kataku.
            “Pinjam kepada siapa?” tanya ibu.
            Aku terdiam tidak bisa menjawab pertanyaan ibu. Hari itu  kebetulan ayah dan ibuku tidak mempunyai uang, sekedar untuk ongkos ke Bandung. Kami terpaksa berpikir keras bagaimana mendapatkan uang untuk ongkos.
            Ibu sekuat tenaga mencari beberapa orang tetangga yang bisa dipinjami, namun hingga sore, uang belum juga didapat. Bapak sejak tadi sudah pergi untuk menarik becak dan berharap pulangnya membawa uang.
            Sampai larut malam, kami menunggu bapak di rumah sebab satu-satunya tumpuan harapan untuk bisa mendapatkan uang. Namun tidak seperti biasanya, bapak belum juga pulang padahal sudah jam 9 malam. Kami menjadi was-was, takut ada apa-apa terjadi pada bapak.
            “Aneh, mengapa bapak belum pulang?” tanya ibu.
            “Ada apa ya Bu?” kataku penasaran.
            “Mudah-mudahan saja tidak ada sesuatu  yang terjadi pada bapak. Kita berharap bapak pulang membawa uang buat  ongkos besok!”
            Kami hanya berharap dan selalu berdoa agar bapak segera cepat pulang serta membawa uang untuk ongkos besok kami ke Bandung.
            Kami tidak sabar menunggu, bahkan kepala ibu sudah terasa pegal karena setiap mendengar bunyi diluar selalu saja menengok ke jendela ingin melihat siapa yang datang. Namun sampai larut malam, bapak belum juga pulang, tentu saja kami  khawatir, cemas dan bingung.
            Perasaan kami pun menjadi tak menentu, apalagi waktu sudah lebih jam 10 malam. Kami bingung;  kalau mau mencari, kemana kami harus mencari?
            “Bu, kita harus cari, takut terjadi apa-apa?” kataku cemas.
            “Tapi kita mencari kemana? Apalagi malam-malam begini!”
            “Kita tunggu saja di luar, mudah-mudahan saja ada rekan bapak yang bisa kita tanyai!”
            Kami bersiap-siap keluar rumah. Namun belum juga kami membuka pintu, terdengar di luar ada suara yang kami kenal, suara bapakku. Aku segera saja memburu pintu dan membukakan.
            “Alhamdulillah…bapak selamat!” kataku menarik napas dalam dan penuh kegembiraan ketika bapak dalam keadaan sehat, “Kami sudah khawatir ada apa-apa terjadi dengan bapak,”
            Bapak tersenyum ketika melihat kami.
            “Alhamdulillah, bapak dapat ongkos buat pergi ke Bandung,” ujarnya seraya masuk ke dalam rumah.
            “Tapi mengapa sampai malam begini?” tanya ibu.
            Bapak tidak segera menjawab, tetapi duduk di lantai. Aku segera mengambil air minum teh manis kesukaan bapak. Keringat masih terlihat di keningnya. Tidak lama kemudian, bapak berkata:
           “Rezeki itu sudah ada yang mengatur oleh Allah Swt.  Bapak sejak pagi tadi sudah berkeliling ke mana-mana, tapi tidak ada seorang penumpang pun di jalan. Banyak sekali penarik becak. Bapak terus menerus berdoa agar dapat uang buat ongkos kalian besok ke Bandung. Bapak sudah putus asa ketika akan pulang ke rumah tidak membawa uang. Di saat sedang terdesak, bapak pasrah kepada Allah dan memohon agar diberi rezeki….,” katanya sambil menarik napas dalam, lalu melanjutkan ucapannya,”Untung saja ada ibu muda yang terburu-buru akan ke terminal, dia minta diantarkan  karena akan ke Jakarta. Bapak pun segera mengayuh sepeda. Ketika sampai di terminal, ibu muda itu memberikan uang lima  puluh ribu rupiah, sambil berkata :’buat bapa semuanya’. Bapak kaget mendengar ucapan itu. Langsung saja memegang tangan ibu muda itu seraya mengucapkan terima kasih berkali-kali….inilah uangnya,”  bapak memberikan satu lembar uang lima puluh ribu rupiah.
            Ibu menerima dengan penuh kebahagiaan uang itu. Aku tak dapat membendung kegembiraan, sehingga tak kuasa kalau bola mataku  telah basah dengan air mata. Tak dapat terbayangkan, kalau saja uang itu tidak diperoleh bapak malam ini, darimana besok ongkos untuk pergi ke Bandung?
            Uang beasiswa yang kuperoleh akan kumanfaatkan sebaik-baiknya; aku bertekad ingin menjadi anak tukang becak yang  berhasil dan menjadi  kebanggaan keluarga. Aku harus mampu memperlihatkan prestasi di sekolah, karena kalau tidak, tentu keluargaku akan malu!
            Terbayang besok aku akan berada di sebuah hotel yang mewah yang selama ini belum pernah aku menginjakkan kaki ke tempat itu. Betapa bahagia, selama ini aku ingin sekali mengunjungi Kota Bandung. Aku belum pernah bermain ke Bandung, soalnya bukan apa-apa, aku tinggal di sebuah perkampungan  yang jauh dari kota dan untuk pergi ke Bandung, aku harus naik ojek, angkot dan bis, sehingga ongkos yang keluar tidak kurang dua puluh ribu rupiah.
            Aku menarik napas dalam-dalam ketika kulihat waktu
             
                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar