AKU hanya bisa terdiam saat meminta uang kepada ibu untuk membayar SPP, karena sudah tiga bulan belum juga dibayar,
“Mudah-mudahan saja bapak nanti sore pulang, kamu bisa bayaran,” kata ibu dengan suara pelan seraya menatap kearahku. “Ibu sudah tidak mempunyai uang, ada juga uang lima ribu rupiah untuk makan kita nanti sore,”
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Teringat tadi di sekolah, kalau Pak Anwar menagish bayaran SPP yang sudah tiga bulan dibayar. Aku malu kepada teman-teman yang semuanya menatap kearahku, tatkala Pak Anwar mengatakan kalau di kelas 6, hanya aku yang belum bayar sekolah. Aku hanya tertunduk, hatiku bergolak tidak menentu. Aku harus bagaimana, bisik hatiku, sudah berulang kali aku mengatakan kepada ibu, namun jawabannnya selalu sama.
Aku menarik napas dalam-dalam, dengan perasaan yang tidak menentu. Aku kasihan sama ibu, yang setiap hari membanting tulang untuk sekedar mencari makan sehari-hari.Bapak pulang sebulan sekali. Ia bekerja sebagai buruh bangunan di kota. Pernah bulan lalu ia datang ke rumah, namun sungguh sedih mendegar ceriteranya karena sudah dua bulan tidak memperoleh pekerjaan, jadi tidak bisa membawa uang untuk bayaran sekolah.
Aku sudah putus asa, ketika ibu tidak dapat lagi memberi jawaban, kapan akan membayar SPP di sekolah.
“Biarlah kalau begitu aku akan keluar sekolah saja. Aku akan bekerja apa saja yang bisa aku kerjakan. Aku akan pergi ke rumah Pak Haji Juned, karena ia suka menyuruh aku untuk mencari rumput di sawah, dan aku dapat uang buat makan kita sehari-hari,”
“Kamu jangan keluar sekolah. Bagaimana masa depan kamu?” suara ibu agak keras.
“Habis bagaimana aku mau sekolah kalau tidak dapat membayar. Aku malu, Pak Anwar suka menagih,”
“Sabar saja. Mudah-mudahan bapak pulang membawa uang. Pokoknya ibu harap kamu tetap sekolah seperti biasa,”
Aku tak menjawab, hanya segera saja berlalu meninggalkan ibu untuk mengambil makanan di dapur karena terasa perutku sudah berbunyi minta diisi.
Sudah terbiasa kalau makan nasi dengan kerupuk atau ditambah ikan teri, seperti juga hari itu. Aku jarang sekali makan daging karena keadaan kami yang sangat terbatas. Kalau bisa makan daging, biasanya pemberian tetangga yang sedang hajatan atau ketika ada yang meninggal dunia.
Rumah kami sangat sederhana. Tidak ada TV di rumah, cukup dengan radio berukuran kecil yang setiap malam ibu suka menyetel mendengarkan dongeng. Aku suka mendengarkan seraya mengerjakan PR yang ditugaskan guru di sekolah.
Aku hanya dengan ibu berdua saja di rumah yang berukuran 3 x 4 meter persegi. Rumah kami terbuat dari bilik kayu dengan atap dari genteng pemberian tetangga. Rumah itu dibangun bapak setahun yang lalu. Asalnya kami mengontrak rumah tidak jauh dari situ. Untung saja, kami tidak terus menerus ngontak rumah, sebab secara kebetulan bapak mendapat rezeki cukup banyak dan dibelikan tanah dengan dicicil.
Meski rumah kami kecil tapi kami merasa bangga dan bahagia, karena rumah itu murni hasil keringat bapak bekerja bertahun-tahun. Ketika itu untung saja bapak banyak sekali proyek rumah yang dikerjakan.
Aku anak lelaki tunggal. Entah mengapa aku tidak tahu, mengapa ibu tidak lagi melahirkan adikku. Ketika aku tanyakan, jawabannya sangat sederhana, bapak takut sekali kalau nanti adik kamu lahir, semakin bertambah miskin. Aku tidak bisa apa-apa. Padahal sebenarnya aku ingin protes sebab aku sangat menginginkan sekali mempunyai adik, agar tidak terlalu kesepian di rumah. Alasan bapak begitu, aku pikir bisa dimengerti pula. Sekarang saja dengan mempunyai anak satu, ternyata bapak dan ibu sangat kewalahan, terutama menutupi kebutuhan sehari-hari.
Meski ibuku menyuruh aku tetap bersekolah, namun aku diam-diam tidak pergi ke sekolah tetapi menuju rumah Pak Haji Juned untuk bekerja mencari rumput, sebab setiap kali aku membawa rumput l karung, maka aku akan memperoleh upah dua ribu rupiah. Bagiku uang itu sangat berarti meski kecil.
Ketika tiba di rumah Haji Juned, kulihat wajahnya agak sedikit kaget,
“Koq kamu kenapa tidak sekolah, biasanya kan hari minggu mencari rumput itu?” tanyanya.
“Aku sedang butuh duit Pak Haji? Aku sudah tiga bulan belum bayar SPP di sekolah, jadi sekarang aku akan mengumpulkan uang untuk dibayarkan ke sekolah?” kataku dengan suara tertahan.
“Kalau bapak kamu kemana?”
“Sudah sebulan tidak bertemu. Kata ibu sedang bekerja di kota, tetapi sampai sekakrang belum juga pulang,”
“Kasihan kalau begitu. Kamu harus sekolah…biar Pak Haji akan membantu kamu. Berapa yang dibutuhkan untuk SPP itu?”
Aku terbelalak, tidak percaya kalau Haji Juned akan berkata begitu. Aku sangat bahagia mendengar ucapannya.
“Tiga bulan belum dibayar berarti hanya tujuh puluh lima ribu rupiah. Kalau Pak Haji akan menolong, saya sangat berterima kasih sekali…akan saya bayar dengan mencicil mengambil rumput,” kataku dengan hati riang.
Kulihat Haji Juded mengeluarkan uang dua lembar lima puluh ribuan, lalu diberikan kepadaku,
“Nih, uangnya harus disampaikan ke sekolah. Kebetulan hari ini pak Haji dapat untung dari menjual tanah..” katanya seraya menyodorkan uang itu kepadaku.
“Pak Haji, aku butuh hanya tujuh puluh lima ribu rupiah?”
“Sisanyan buat ibu kamu saja di rumah. Pokoknya kamu doakan agar pak haji dapat untung kembali menjual tanah ya!”
Aku menganggukkan kepala bahagia. Tidak lama aku segera pamitan akan segera ke rumah dan menyampaikan kabar bahagia itu kepada ibu. Pasti ibu akan sangat bahagia aku mendapat pemberian uang dari Haji Juned.
Ketika sampai di rumah, ibu nampak kaget melihat aku, sebab belum waktunya pulang sekolah, apalagi jam masih menunjukkan jam 09.00.
“Lho, kenapa kamu tidak sekolah?” tanya ibu keheranan.
“Tidak bu, aku ke rumah Pak Haji Juned. Tadinya aku mau mencari rumput, namun oleh Pak Haji malah dikasih uang untuk bayaran. Nih uangnya!” kataku seraya memperlihatkan uang seratus ribu rupiah. Mata ibu terbelalak, tidak percaya namun terlihat wajahnya gembira.
“Alhamdulilah, kita dapat rezeki yang tidak terduga. Jadi kamu hari ini tidak sekolah?” tanya ibu.
“Biar saja, Bu. Besok aku akan ke sekolah dan memberikan uang SPP agar Pak Anwar tidak lagi menanyakan, aku malu sekali!”
“Ya sudah kalau begitu. Kamu tanya ke teman kamu, barangkali ada PR dari bapak guru, kamu harus mengerjakan,” ujar Ibu yang terlihat wajahnya ceria. Apalagi ia mendapat uang dua puluh lima ribu rupiah. Besok uang Rp 75.000 akan aku berikan kepada Tata Usaha sekolah, agar aku tidak malu kepada kawan-kawan. Aku bertekad bulan depan untuk bayaran, harus bekerja lebih giat di rumah Haji Juned, karena aku telah mendapat bantuan yang cukup membahagiakan.
Semula aku tidak begitu dekat dengan Haji Juned, aku merasa minder dan malu kalau berada di dekatnya, itu sebabnya aku suka menjauh dan bergegas mencari rumput di kebun atau di sawah. Aku jarang sekali ngobrol, kecuali kalau aku disuruh untuk membeli rokok atau keperluan lain.
Haji Juned memang orang kaya di desa kami dan banyak jasanya dalam pembangunan di desa. Mesjid bisa diselesaikan berkat bantuan infaq yang diberikan olehnya, demikian pula jalan. Usaha jual-beli kendaraan bekas terutama mobil dan motor terus mengalami peningkatan. Semua orang hormat dan kagum kepada Haji Juned, di samping itu dia pun tidak segan-segan membantu tetangga yang memerlukan bantuan.
Aku sendiri kenal dengan Haji Juned karena bapakku suka membantu pekerjaan di rumahnya. Bapak sering diminta bantuan memperbaiki rumah Haji Juned yang bocor atau saat akan membangun rumah. Saat bekerja aku suka ikut dengan bapak. Di situlah aku tahu tentang Haji Juned. Bila aku ke sana, dia suka memberi uang sekedar untuk jajan atau menyuruh aku segera makan bila waktu sudah siang.
Salah satu kesenangan Haji Juned ialah memelihata domba dan kelinci. Cukup banyak peliharaan kedua binatang itu. Rupanya tidak sekedar hobi, tetapi binatang itu pun dijual kepada masyarakat yang membutuhkan.
Suatu hari aku dipanggil Haji Juned untuk memelihara domba-domba itu dan kelinci setiap pulang sekolah.
“Kamu bantu pelihara domba dan kelinci itu, nah uang yang bapak berikan kemarin itu sebagai uang muka saja, nanti setiap awal bulan kamu dapat lagi uang untuk bayaran sekolah!” katanya.
“Benarkah Pak Haji!” kataku dengan wajah penuh kegembiraan.
“Benar, asalkan sepulang sekolah. Kamu pelihara domba dan bersihkan kandangnya kalau sudah kotor. Ingat kamu jangan sampai putus sekolah, tanpa sekolah kamu mau menjadi apa kelak?”
“Aku ingin tetap sekolah dan Aku siap mengerjakan semua itu,” katanya.
Ketika hal itu aku sampaikan kepada ibu, betapa ibu terlihat wajahnya gembira,
“Syukurlah kalau begitu, kamu bisa meringankan beban bapak kamu,” katanya.
Aku tersenyum bahagia, keinginan untuk sekolah berkobar kembali dalam dadaku, apalagi Haji Juned mendorog aku untuk tetap menuntut ilmu dan berjanji akan membantu aku agar bisa terus melanjutkan sekolah.
Aku bersyukur kepada Allah telah membukakan jalan untuk diriku agar aku tetap sekolah. Aku berharap, bapak yang sedang bekerja dan pulang sebulan sekali ke rumah tidak terlalu berat bebannya untuk menyekolahkan aku, sebab aku tahu, bapak bekerja sebagai buruh demi aku agar tetap bisa sekolah.
Bila teringat bapak aku terkadang tak kuat menahan air mata; betapa kasihan bapak harus membanting tulang bekerja keras, sekedar mencukupi kebutuhan kami sehari-hari.Syukur kalau ada pekerjaan; bagaimana kalau tidak ada?
Aku menarik napas dalam-dalam, tak terasa bola mataku telah mengembang dan jatuh tetes air mata ketika teringat wajah bapak yang setiap pulang keringatnya masih menempel di dahi.***Tamat
Bandung 8 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar