Selasa, 21 Juni 2011

Aku ingin Jadi Polisi

            AKU bangga kalau melihat bapakku sudah mengenakan pakaian dinas polisi. Dia berjalan tegap dan gagah sekali, sehingga aku ingin sekali menjadi polisi.
            “Pak, pokoknya kalau aku sudah besar, aku ingin seperti bapak menjadi polisi,” kataku setiap kali aku melihat ayah berpakaian dinas.
            “Bapak akan mendoakan agar apa yang kamu cita-citakan  terwujud. Meskipun berat amanat menjadi polisi tetapi kalau kita menjalaninya dengan ikhlas akan terasa ringan,” ujar bapakku yang sekarang berpangkat Ajun Komisaris. Di kantornya bapak dipercaya sebagai Kapolsek, sehingga tugasnya sangat banyak dan sibuk sekali. Terkadang bapak pulang malam atau ditugaskan selama beberapa hari keluar kota. Namun bapak tetap akan menelepon aku dan ibuku.
            “Kalau bapak tidak ada di rumah, kamu jangan cengeng kepada ibu…bantulah ibu di rumah,” ucap bapak dalam  telepon. Aku mengiyakan. Kuakui aku memang kerapkali cengeng kepada ibu, mungkin karena aku ingin diperhatikan saja oleh bapal. Meski aku sudah menginjak kelas 6 SD, namun aku kadang-kadang menangis kalau meminta sesuatu yang aku inginkan belum dikabulkan. Tetapi lama-kelamaan aku sadar, kalau ibu di rumah kerepotan bila tidak ada bapak, sebab harus mengasuh adikku yang berusia tiga tahun. Adikku yang perempuan memang cerewet dan sering ngadat, sehingga ibu terkadang kewalahan.
            Sebagai ibu rumah tangga, pekerjaan yang dilakukan ibuku sangat berat. Pagi-pagi sudah bangun menyiapkan sarapan bauat kami, kemudian mencuci pakaian dan membereskan rumah, lalu memasak. Aku kasihan kalau sudah begitu. Maka aku tidak tinggal diam, tetapi membantu ibu, sekedar untuk membersihkan ruangan yang kotor bekas dipakai bermain adikku Nina.
            Sebagai aparat Negara, tugas sangat berat. Bapak pernah ceritera kalau beberapa hari yang lalu menangkap seorang penjahat yang membawa senjata.
            “Untung saja bapak tidak kena tembak. Penjahat itu sudah sangat meresahkan warga masyarakat…maka akhirnya sama bapak ditembak saja, sebab kalau dibiarkan dia sangat berbahaya?” katanya.
            “Kalau begitu kasihan juga ya penjahat itu. Bagaimana keadaan anak dan istrinya?” kataku.
            “Polisi harus berani menembak penjahat yang membawa senjata, sebab kalau tidak duluan kita membunuh, maka kita yang akan dibunuh. Maka segera saja bapak tembak penjahat itu!”
            Aku hanya mendengarkan saja apa yang bapak katakan. Kalau ada di rumah, bapak kerapkali berceritera tentang penjahat yang ditembak.
            Pernah suatu hari, ada tamu datang ke rumah bapak malam-malam. Aku waktu itu belum tidur sebab sedang  mengerjakan tugas PR  matematika. Kudengar ada yang mengetuk pintu. Bergegas aku mendekati pintu rumah depan. Aku membuka pintu. Ada dua orang lelaki bermata sipit dan berkulit putih hendak bertemu dengan bapak. Aku persilahkan mereka untuk segera duduk. Aku bergegas memberitahu bapak yang sedang menonton TV bersama ibu.
            Bapak segera saja ke ruang tamu untuk menemui dua orang lelaki itu. Ruang tamu dengan kamarku hanya terhalang dinding, jadi aku bisa mendengar jelas percakapan mereka.. Namun aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Hanya saja setelah lama mereka berbincang-bincang, aku mendengar bapak sangat marah kepada kedua orang ini.
            “Kalian jangan mengangap polisi itu bisa disogok! Terus terang harga diri saya dihina oleh kalian berdua, pokoknya saya tidak mau melanggar sumpah saya sebagai polisi!” ujarnya  keras hingga terdengar keluar rumah.
            Aku terkejut, sebab selama ini bapak jarang marah. Rupanya tamu itu sangat menjatuhkan harga diri bapak. Kulihat ibu juga kaget ketika mendengar suara bahwa marah-marah kepada dua orang tamu itu.
            “Pokoknya uang ini ambil lagi oleh saudara. Saya tidak mau menerimanya. Saya sudah memegang sumpah sebagai polisi untuk tidak melanggar janji yang sudah saya ucapkan. Silahkan saudara tinggalkan rumah saya. Saya tidak mau bertemu lagi dengan saudara berdua,” ucapku bapakku tegas.
            Dari celah-celah jendela aku melihat dua lelaki bermata sipit dan berkulit putih itu bergegas keluar rumah meninggalkan bapak yang masih duduk di kursi. Mereka menjinjing koper  saat naik ke mobil sedan yang diparkir di pinggir jalan.
            Setelah tamu itu pergi. Aku dan ibu bergegas mendekati bapak. Beliau nampak sudah tenang.
            “Bapak koq marah-marah kepada mereka…kenapa?” tanya Ibuku penasaran.
            “Iya….ada apa sih Pak!” aku pun penasaran.
            Kulihat bapak menarik napas panjang. Air yang ada di meja segera diminumnya, lalu disimpan kembali di tempat semula. Kemudian bapak berkata:
            “Dua orang lelaki itu sudah menghina bapak…seorang temannya yang tertangkap polisi karena terlibat jaringan narkotika minta dibebaskan besok, dan mereka memberi uang ratusan juta. Disangkanya bapak akan menerima uang sogokan itu. Bapak tolak dan merasa dihina oleh mereka, maka bapak marah-marah kepada keduanya dan segera mengusirnya!” ujar bapak menjelaskan.
            “Wah! Kalau sama diambil uang yang tadi di tas…mungkin kita sudah kaya raya!” ujarku.
            “Hus! Jangan sekali-kali kita menghianati tugas sebagai polisi. Jangankan satu tas berisi uang ratusan juta rupiah. Satu milyar pun jangan berani menerima  yang bukan hak kita!” ujar bapak.
            “Tapi kita  bisa cepat kaya raya?” kataku polos.
            “Hus! Kamu jangan sembarangan ngomong. Dengar kata bapak!” tiba-tiba Ibu menimpali.
            “Ingat Ahmad…salah satu tugas polisi itu tidak hanya bisa melindungi dan mengayomi  masyarakat, tetapi juga menjaga keluarga dari siksa api neraka….bapak tidak ingin kamu dan ibumu menjadi penghuni neraka kelak …lebih baik hidup kita sederhana dan uang yang bapak peroleh halal dimakan sama kita…insya Allah hidup kita akan dirahmati Allah Swt…!” kata bapak menasihati kami.
            Aku terdiam mendengar bapak berkata begitu. Tiba-tiba ibu menimpali,
            “Uang yang diperoleh dengan cara haram, maka masuk ke dalam tubuh kita menjadi  kotor hati kita. Kalau hati  kita sudah kotor, maka setan akan sangat mudah masuk ke dalam tubuh kita. Maka ibu tidak mau diberi uang yang diperoleh dengan cara haram…semua itu akan menyebabkan hidup kita dijauhi dari rahmat Allah SWT. Makanya kamu harus menjadi orang yang jujur sejak  masih kecil….kejujuran itu sangat mendekati kepada ketaqwaan . Insya Allah, dengan berbuat jujur, hidup kita akan mendapat hidayah dan karunia Allah Swt.,”
            Aku hanya mendengarkan apa yang mereka katakan. Aku sangat bangga memiliki kedua orangtua yang menanamkan kejujuran pada diriku. Makanya aku akan rajin belajar dan berbuat jujur dalam menjalani kehidupan ini. Aku ingin seperti bapakku menjadi seorang polisi yang jujur dalam melaksanakan tugas dan tidak mudah disogok oleh orang-orang yang ingin menjatuhkan harga diri sebagai polisi..***
                                                            Bandung, 01 Oktober 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar