Kamis, 23 Juni 2011

Anita Anak Jenius dari Panti Asuhan

ANITA memalingkan wajah ketia ia melihat anak seusianya tengah bermain-main gembira bersama kedua orangtuanya. Setiap hari Anita sering melihat anak-anak yang diasuh oleh ibunya saat sedang bermain. Ia yang suka lewat ketika pulang sekolah,  hatinya merasa teriris, sedih dan terluka sebab sudah hampir 4 tahun, dia tinggal di panti asuhan ini tidak pernah melihat kembali wajah ayah dan ibunya. Dia sangat rindu sekali ingin bertemu mereka, namun kerinduan tinggal kerinduan, mereka tidak pernah lagi datang ke sini. Entah mengapa!  Padahal ia masih ingat janji ayah dan ibunya akan kembali mengambilnya dari panti asuhan kalau sudah mempunyai rumah sendiri. Namun ternyata janji itu tidak  pernah ditepati. Mereka ternyata pembohong besar!
            Anita tidak pernah mengerti, mengapa mereka begitu tega meninggalkan di panti asuhan ini? Tidak itu saja, mereka pun seolah tidak suka dengan kehadirannya. Dia selalu bertanya-tanya dalam hati, apa yang menyebabkan mereka membiarkannya di tempat ini. Apa kesalahanku?, keluh Anita dalam hati. Ia ingin protes kepada Tuhan, mengapa ditakdirkan hidup jadi begini? Ia tidak ingin tinggal di panti asuhan. Ia ingin tinggal di rumah yang bagus bersama kedua orangtuanya.
            Pengasuh yang dekat dengan Anita di panti asuhan itu, namanya Ibu Yani selalu menghibur dan tak pernah bosan menasihatinya,
            “Sabarlah…suatu ketika mereka datang. Kamu harus tabah!” ujarnya ketika anak yang berambut lurus berawajah bundar itu selalu menanyakan kedua orangtuanya.
            “Tapi mengapa sudah lama, mereka tidak pernah ke sini…dimana sih mereka tinggalnya?” tanya Anita dengan tatapan kosong kepada Ibu Yani.
            “Mungkin mereka sedang sibuk. Ibu tidak tahu dimana mereka tinggal!”
            Wajah Anita terlihat sedih. Ibu Yani memahami keadaan jiwa anak itu. Ia pun tahu, mengapa ayah dan ibunya menitipkan di panti asuhan. Dia masih teringat empat tahun silam, ada pasangan suami istri datang ke sini ingin menitipkan anaknya .
            “Mengapa anak ini dititipkan?” tanya Ibu Yani.
            “Kami sibuk bekerja, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengurus anak. Kami mohon agar anak ini tinggal di sini…!”
            Ibu Yani menatap ibu muda itu. Merasa aneh dan tidak mengerti, pasangan muda biasanya ingin mempunyai anak, tetapi mengapa ini dititipkan ke panti asuhan. Rasa penasaran Ibu Yani baru terjawab ketika melihat anak yang dititipkan ternyata memiliki  cacat, yaitu tidak memiliki kedua kaki, hanya sebatas paha. 
            Ibu Yani sempat bengong  ketika melihat anak yang lucu itu tidak sempurna. Ia beberapa kali menarik napas panjang dan tidak percaya. Ketika itu Anita sudah sekolah kelas 2 SD.
            “Apakah ibu malu memiliki anak cacat begini?” tanya Ibu Yani seraya menatap wajah mereka.
            Kedua orangtua itu tidak menjawab pertanyaan Ibu Yani, bahkan mereka mengalihkan pembicaraan dan menanyakan biaya selama perawatan di panti asuhan ini.
            “Kasihan sekali kau nak,” bisik hati Ibu Yani seraya menerima anak itu dengan penuh kasih sayang. Ia baru berusia 8 tahun  tahun tatkala dititipkan di panti asuhan ini. Artinya sudah agak mengerti. Anita pun sempat protes mengapa dititipkan di panti asuhan? Namun dengan berbagai alasan, Anita tidak bisa mengelak keinginan orangtuanya. Meski ia menagis terisak-isak saat ayah dan ibunya meninggalkan asuhan , namun hati mereka sudah tertutup.
            “Sudahlah kamu bersama Ibu saja di sini…kamu tidak sendirian, banyak anak-anak seusia kamu di tempat ini,” ujar Ibu Yani ketika melihat anak itu masih terus mencucurkan air mata.
            Sebagai pengasuh, Ibu Yani telaten memperhatikan anak-anak di panti asuhan ini. Rasa cinta kepada anak-anak tumbuh dalam hatinya seiring dengan keadaan dirinya yang tidak dikarunia anak dan hidup menjanda sejak puluhan tahun. Dia ingin mengabdikan sisa hidupnya menyayangi anak-anak yang menjadi korban kedua orangtuanya yang tidak menerima  keadaan anaknya yang cacat atau hamil diluar pernikahan. 
            Ibu Yani tinggal bersama anak-anak di panti asuhan itu dengan gaji yang cukup untuk kebutuhan sendiri. Ia tidak banyak menuntut sebab niatnya juga semata-mata untuk meringankan beban panti asuhan yang kekurangan tanaga perawat sementara banyak ana-anak yang dititipkan di panti asuhan, termasuk anak-anak yang tidak jelas kedua orangtuanya.   
            Terlalu banyak duka yang dirasakan Ibu Yani  hidup bersama dengan anak-anak yang lugu, polos dan lucu. Di balik semua itu, tersimpan dalam hati yang dalam, kepedihan menyaksikan anak-anak yang menjadi korban orangtuanya.
            Anita kerapkali menjadi perhatian utama bagi  Ibu Yani, sebab ia anak yang cacat yang kurang diperhatikan kedua orangtuanya. Rasa kasihan semakin tertanam dalam dirinya, ketika tahu ternyata kedua orangtuanya tidak mau lagi mengakui dan datang lagi ke panti asuhan. Mereka membuang begitu saja. Sungguh kejam! Bisik hatinya. Pernah Ibu Yani mencari alamat yang tertera di KTP, namun ternyata penghuni  rumah itu sudah pindah dan tidak memberitahu kepada tetangga. Tentu saja dia  kehilangan jejak. Padahal sudah satu tahun biaya perawatan di panti asuhan belum dilunasi. Ah, kasihan sekali anak itu. Mereka membuang  begitu saja Anita.
 Kemana pun Anita melangkah harus mengenakan kayu penyangga. Ibu Yani selalu memperhatikan anak yang satu ini. Selama beberapa tahun berada di panti asuhan, diam-diam, ia kagum dengan kecerdasan otak yang dimiliki Anita. Anak cacat itu, ternyata memiliki kemampuan otak yang luar biasa. Itu sebabnya, dia selalu menghibur dan memberikan bahan bacaan yang bermanfaat bagi anak ini. Anita sangat suka sekali membaca dan keranjingan buku.
“Kamu mempunyai bakat yang luar biasa. Kamu harus yakin, suatu saat kamu akan menjadi anak yang berhasil!” ujar Ibu Yani saat bercakap-cakap di kamar.
“Tapi Bu, tetap aku tak bahagia sebab ayah dan ibuku ternyata tidak lagi ada rasa kasih sayang. Mereka meninggalkan aku!” ujarnya.
“Biar saja. Ibu menyayangi kamu setulus hati. Anggap saja aku adalah ibumu…kamu enggak usah khawatir!”
“Ah, ternyata tidak setiap ibu kandung menyayangi anaknya, padahal binatang saja akan membela dan memelihara anaknya sendiri. Tapi manusia tidak sama dengan binatang,”
“Sudahlah, jangan terlalu banyak kamu pikirkan. Sekarang jadilah kamu anak yang berprestasi. Ibu yakin prestasi kamu di sekolah selalu bagus. Siapa tahu kamu bisa mengikuti lomba tingkat nasional dan nama kamu menjadi perbincangan setiap orang,”
“Apakah itu mungkin Bu?”
“Siapa bilang tidak mungkin. Kalau Allah sudah memberi jalan, tidak ada seorang pun yang bisa menghalang-halangi.”
            Anita merasa  bahagia hidup bersama Ibu Yani yang memahami keadaan dirinya. Ia ingin sekali membalas kebaikannya. Itu sebabnya, Anita bertekad untuk bisa menjadi anak yang berprestasi di sekolah.
            Meski cacat, namun di sekolah dia anak istimewa dan dihormati oleh teman –temannya. Bukan apa-apa, sebab Anita mempunyai kelebihan dibidang fisika, bahkan anak ini menjadi kebanggaan sekolah sebab belum lama ini mendapat panggilan untuk dilatih oleh Tim Olimpiade Fisika untuk diikutsertakan dalam lomba tingkat dunia.
            “Bapak yakin kamu akan mengharumkan nama sekolah, maka bekajarlah fisika secara sungguh-sungguh!” ungkap Ibu Nani, kepala sekolah yang mendorong Anita untuk rajin dan tekun belajar. Fisika memang menjadi kesenangan anak yang satu ini. Bahkan dengan bimbingan guru di sekolah, Anita hampir setiap hari berada di laboratorium sekolah untuk mempelajari fisika. Tidak itu saja, Anita pun dibimbing oleh dosen dari ITB yang melihat bakatnya yang luar biasa. Sejak beberapa bulan ini, terlihat kalau anak cacat ini ternyata mempunyai otak cemerlang yang berbeda dengan siswa yang lain.
            Anita memang bukan anak sembarang, bahkan di sekolah seringkali disebut anak ajaib, sebab sepintas siapapun tidak akan mengira kalau anak yang cacat itu memiliki kelebihan yang luar biasa. Semula Anita sering diejek dan dilecehkan di sekolah, bahkan ia mengaku paling benci dengan anak yang bernama Johan, sebab anak itu tidak segan-segan menghina dan membuat Anita sakit hati. Pernah satu kali, Johan mengejek dengan ungkapan yang sampai sekarang masih terngiang di telinga, “Dasar kamu anak cacat,  anak miskin, hidup di panti asuhan lagi,”  Anita berusaha menahan marah yang  sudah ada di ubun-ubun, namun ia berusaha untuk menahan kesabaran.
            Sakit hati membuat Anita berpikir keras dan berusaha ingin membuktikan diri kalau ia anak yang berprestasi dan memiliki keunggulan di sekolah. Sejak itulah, dia selalu berlajar dan banyak membaca buku. Apalagi ia teringat ucapan Ibu Yani, ketekunan dan kesabaran akan membuahkan hasil…kamu bisa menjadi orang yang pintar dan pandai, asal sejak sekarang terus belajar keras.
            Ternyata memang benar, kegigihan belajar terutama Ilmu Pengetahuan Alam, membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Setiap ulangan, dia selalu mendapat nilai rata-rata 9 atau 10, dan belum pernah kurang dari itu. Tentu saja pihak sekolah pun merasa heran dengan perkembangan otak yang dimiliki Anita. Tidak hanya itu, setiap kali ada perlombaan cermat cermat yang diselenggarakan di tingkat kabupaten maupun  propinsi, Anita selalu menonjol jadi juara.
            Hari demi hari bakat Anita semakin terlihat dibidang fisika, terlebih setelah beberapa kali diikutsertakan lomba fisika yang diselenggarakan di perguruan tinggi di Bandng, Anita selalu lolos dan bisa menjawab semua pertanyaan juri. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ketika diadakan lomba fisika tingkat nasional, dia berhasil menjadi juara pertama. Kemudian bulan berikutnya diikutsertakan olimpiade tingkat dunia, anak ajaib ini sungguh menggemparkan, sebab dia berhasil merebut juara pertama dan mendapat hadiah ratusan juta rupiah.
            Tentu saja, prestasi Anita menjadi kebanggaan bagi para penghuni panti asuhan. Tak heran kalau Ibu Yani yang mengurus dan memperhatikan kegiatan sehari-hari  merasa bahagia sekali melihat perkembangan otak Anita yang semakin cemerlang.
            “Ternyata kamu sebenarnya anak yang hebat dan luar biasa, meski fisik kamu ada kekurangan,” tutur Ibu Yani saat mereka berbincang-bincang di kamar.
            “Aku sendiri sekarang menyadari bahwa sesungguhnya Allah itu betul-betul Maha adil, dulu aku tidak berpikir begitu, tetapi setelah aku belajar sungguh-sungguh Allah memperlihatkan karunia-Nya,” kata Anita.
            Saat sedang berbincang-bincang itu, tiba-tiba ada yang memberitahu kepada Ibu Yani kalau di ruang tunggu ada tamu yang sedang menunggu. Ibu Yani bergegas ke ruang tamu, memang sudah biasa ia melayani tamu yang datang ke panti. Namun ketika melihat wajah pasangan suami istri itu, langsung saja Ibu Yani tersentak kaget. Dia tidak menyangka kalau keduanya akan datang lagi ke sini, padahal sudah lebih dari 4 tahun.
            “Apakah kalian akan mengambil Anita?” tanya Ibu Yani setelah tamu duduk dan saling bersalaman. Pasangan suami istri itu adalah orangtuanya Anita.
            “Ya kami akan mengambil Anita?” ujar bapak Anita.
            “Tapi bapak harus menyelesaikan semua administratif termasuk biaya pengeluaran selama Anita berada di sini,” ujar Ibu Yani.
            “Kami akan membayar semuanya!....berapa yang harus kami bayar?” ujarnya.
            Ibu Yani segera menghubungi bagian administrasi dan meminta seluruh biaya selama Anita berada di panti asuhan. 
            Ada perasaan sedih tergambar di wajah Ibu Yani, karena ia sudah mengangap Anita sebagai anaknya sendiri. Kini tanpa di duga, kedua  orangtuanya datang untuk mengambilnya. Padahal dulu ketika Anita menangis ingin bersama-sama mereka, tetapi mereka tidak mengacuhkannya.
            Ibu Yani segera menghubungii Anita yang tengah membaca buku di kamar. Ketika disampaikan kepadanya, ada ayah dan ibunya di ruang tamu dan berniat membawa Anita kembali, terlihat wajah Anita tegang dan sama sekali tidak menunjukkan kegembiraan.
            “Temuilah mereka, bagaimana pun juga mereka adalah ayah dan ibumu!”  kata Ibu Yani sebab Anita diam saja tidak hendak beranjak dari tempat duduk. Lama Anita tidak menjawab dan tiba-tiba bola matanya terlihat ada titik air mata yang hendak jatuh, lalu dia berkata:
            “Tidak Bu, aku tidak mau menemui mereka. Sampaikan kepada mereka, aku tidak ingin bersama mereka. Aku ingin tetap tinggal di sini bersama Ibu, Mereka ternyata datang ke sini, setelah tahu kalau aku meraih prestasi. Dulu sewaktu kecil mengapa mereka menitipkan aku di panti asuhan? Apakah mereka merasa hina memiliki anak cacat seperti aku?”
            Napas Ibu Yani sesaat terhenti, tidak mengira sama sekali anak itu akan berkata begitu. Mungkin selama ini Anita merasa sakit hati dibiarkan dan ditelantakan selama bertahun-tahun oleh kedua orangtuanya. Kini mereka datang setelah tahu kalau nama Anita menjadi buah bibir di masyarakat.
            Ibu Yani terdiam dan tak kuasa menahan air mata yang terus membasahi wajahnya. Bagaimana pun juga ia merasa keberatan kalau Anita akan diambil lagi oleh kedua orangtuanya. Selama ini, Anita telah menjadi bagian dalam kehidupannya, apalagi dengan prestasi Anita yang begitu hebat telah ikut pula membahagiakan mereka. Segala hadiah dan uang yang diperoleh Anita setiap mengikuti perlombaan dan memperoleh beasiswa,  diberikan kepada Ibu Yani. Ibu Yani sendiri telah menyimpan uang tabungan di bank yang cukup besar untuk melanjutkan sekolah Anita.
            Ibu Yani kembali ke ruang tamu dengan mata masih berkaca-kaca.
            “Mana Anitanya, Bu?” tanya suami istri itu hampir berbarengan.
            Ibu Yani hanya menggelengkan kepala dan berkata dengan suara pelan,
            “Ia sudah betah tinggal di sini. Dan ia tidak ingin menemui kalian, dia sudah merasa sakit hati dibiarkan selama bertahun-tahun di panti asuhan!”
            Mereka tersentak mendengar ucapan itu. Suami istri itu saling tatap dan nampak raut wajah mereka menyimpan rasa penyesalan mendalam. Mereka tidak mengira kalau anaknya sama sekali tidak mau menerima kehadirannya lagi.
            Ketika mereka ingin masuk ke kamar Anita, ternyata kamar itu sudah dikunci rapat dari luar. Anita tidak mau ditemui.
            “Kami meyayangi kamu Anita. Kami sengaja datang ke sini untuk mengambil kamu dan berkumpul di rumah lagi!” ucap Ibu Anita dengan suara lemah lembut.
            “Tidak!….aku tidak mau bertemu dengan kalian. Kalian jahat telah membiarkan aku bertahun-tahun di sini. Sekarang kalian datang ke sini, karena aku telah menjadi anak yang berprestasi…karena aku telah menghasilkan uang…karena aku menjadi terkenal..aku tidak mau memiliki ayah dan ibu yang  begitu. Aku akan tinggal di sini. Kalian tidak perlu datang lagi ke sini…biarlah aku di sini”
            Suami istri itu tak mampu berkata sepatah katapun. Rasa penyesalahan terpancar di wajah mereka. Namun apa mau dikata, anaknya sudah tidak mau mengakui lagi kepada mereka, karena mereka pun sesungguhnya saat Anita lahir sama sekali tidak berharap kehadiran anak cacat ini ke dunia. Mereka malu dan merasa rendah diri melahirkan anak yang cacat kakinya. Namun hidup adalah rasahasia Allah Swt, ternyata anak cacat itu memiliki prestasi yang luar biasa dan jenius. Kini tinggallah penyesalan menghantui mereka. *** Tamat
                                                                                                Selasa, 20 Mei 2008   
           
           
               
           
              
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar