Selasa, 21 Juni 2011

Kawan yang Nakal



          
            MEMANG Doni dikenal sebagai anak yang nakal dan kerapkali di sekolah membuat keonaran. Beberapa kali pernah dipanggil di ruang kepala sekolah dan diberi peringatan oleh Ibu Nining untuk tidak pernah lagi membuat masalah. Namun, dia tak pernah kapok, bahkan seringkali mengejek dan menghina teman sekelas.
            Bukan sekali dua kali Doni mengejek dan menghinaku. Terakhir dia mengatakan kalau aku adalah anak orang miskin yang tidak pantas sekolah. “Kamu sebaiknya jangan sekolah, urus saja kerbau di sawah,” ucapnya. Aku sangat terpukul dengan ucapan itu, namun aku sabar dan tidak pernah melawan apa yang dikatakan dia. Aku merasa memang keluarga miskin. Ayahku hanyalah seorang petani yang setiap hari berada di sawah milik Pak Haji Anwar. Sementara Ibuku untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga seringkali membantu mencuci pakaian milik tetangga.
            Tentu saja aku  berkeingina sekali untuk bisa merubah nasib keluargaku. Aku bercita-cita ingin menjadi orang yang berhasil, bisa membahagiakan kedua orangtuaku. Itu sebabnya aku berusaha sejak masuk sekolah untuk rajin belajar dan bisa meraih prestasi di sekolah. Alhamdulillah, sejak kelas 1 sampai sekarang kelas 6 SD, aku selalu menjadi juara kelas dan bisa mengalahkan teman-temanku.
            Aku bertekad akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan kalau bisa aku harus menjadi sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan besar. Aku sangat ingin sekali bisa membahagiakan ayah dan ibu, yang setiap hari harus sibuk dengan pekerjaannya. Seakan tidak ada waktu untuk beristirahat, mereka membanting tulang demi menutupi kebutuhan setiap hari.
            Ayahku selalu menasihati agar menjadi anak yang jujur dan jangan sekali-kali berkelahi di sekolah. Ada kalimat yang sampai saat sekarang terngiang-ngiang di telingaku, yaitu  balaslah kejahatan dengan kebaikan. Itulah ucapan yang menerap dalam sanubaribu, sehingga aku tidak pernah untuk  membalas kejelakan yang dibuat oleh Doni yang selalu menghina.
            “Pokoknya belajarlah untuk mengalah, itulah kemenangan yang besar. Kamu berhasil menaklukkan nafsumu sendiri,” ujar ayahku ketika aku ceritakan kalau di sekolah ada seorang teman yang selalu mengejek dan menghina.
            Makanya ketika si Doni menghina aku tak pernah menghiraukan, bahkan aku anggap kalau dia itu adalah orang gila. Dia tidak menghina saya tetapi sebenarnya menghina dirinya sendiri, kataku dalam hatiku. Jadi aku sama sekali tidak pernah menghiraukan apa yang dia katakan.
            Aku terus belajar dan semakin rajin membaca buku, sebab sebentar lagi akan tiba masa ujian. Aku membuat kelompok belajar sendiri yang setiap hari harus belajar dan saling berdiskusi. Biasanya kelompok belajar kami sengaja mencari tempat berdiskusi di sawah yang tidak terlalu jauh dengan sungai Cinulang. Kami biasanya berenang bersama. Aku, Tono, Riki, Rina dan Dewi. Kami sangat kompak untuk belajar bersama, bahkan sama-sama berlatih matematika dan IPA sebab mata pelajaran ini sangat sulit. Namun dengan belajar bersama, kami bisa mengatasi bersama.
            Seperti hari itu, kami sudah berada di sungai Cinulang. Sungai itu airnya sangat bersih dengan batu-batu besar berada di tengah-tengah. Kami berlima sudah berada di sungai, menikmati air sungai yang mengalir cukup deras. Kami berenang ke sana kemari mengelilingi sungai itu sambil tertawa bersama teman.
            “Coba sebutkan siapa presiden RI yang ketiga?” kataku menguji teman-teman.
            “Ya Gus Dur…..!” ujar Dewi.
            “Bukan Gus Dur….presiden ketiga kita adalah Habibie!” ujar Tono
            “Ya itu yang betul…Habibie!” kataku.
            Kami sudah terbiasa selama berenang saling bertukar pikiran dan saling menjawab setiap pertanyaan yang diajukan teman-teman. Cara seperti itu ternyata sangat efektif dalam belajar sebab kami berusaha untuk saling menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh siapa saja. Cara itu pula mendorong kami untuk banyak membaca buku atau menambah pengetahuan melalui Koran atau majalah.
            Di saat kami sedang asyik berenang, tanpa diduga kami melihat ada  teman yang tengah berlarian di tepi sungai. Aku kenal dengan mereka, yaitu Amir, Deden dan Ujang yang tampak wajahnya pucat. Mereka adalah teman sekelas. Aku bergegas saja naik dari sungai. Langsung saja aku bertanya pada mereka,
            “Ada apa ? Apa yang terjadi?”
            “Tolong si Doni tenggelam di sungai. Dia terjatuh saat sedang bermain!” ujar Amir dengan wajah pucat.
            “Tuh dia lagi meronta-ronta minta tolong” Amir menunjuk  ke sungai yang disitu terlihat ada anak yang timbul tenggelam di arus sungai yang sangat deras. Aku kaget melihat Doni yang sudah kehabisan akal. Ia meronta-ronta, tangannya menggapai meminta pertolongan.
            Tanpa pikir panjang, aku yang sudah biasa berenang di sungai itu, langsung saja terjun ke sungai mengejar Doni yang terbawa arus air yang sangat besar. Aku hapal betul sungai Cinulang, sebab daerah itu tempat bermain aku bersama teman-teman. Kuikuti arus air sungai yang besar dan aku berenang ke tengah sungai. Bagiku sudah terbiasa menghadapi arus air yang besar.
            Aku bergerak cepat mengejar Doni yang terlihat sangat kelelahan. Air sungau sudah banyak yang masuk ke tenggorokan. Ia sangat kepayahan dan tangannya menggapai-gapai. Ketika aku sudah dekat, tangan Doni aku pegang sekuatnya lalu dengan kemampuanku berenang di sungai, aku membawa tangannya kepinggir sungai. Kebetulan tidak jauh dari situ ada pohon besar, naka aku segera saja memegang ranting pohon itu.
            Doni memegang erat tangan kananku, dia nampak pucat pasi ketika sudah berada di pinggir sungai. Aku berusaha menenangkan Doni. Ia beberapa kali mengeluarkan air yang telah masuk ke dalam perutnya.
            “Alhamdulillah kamu selamat! Makanya kamu harus hati-hati bermain di sungai!” kataku. Tidak lama kemudian, beberapa rekan Doni sudah berada disitu dan segera memberi pertolongan dengan memberinya minum dan menangkan.
            “Terima kasih kamu telah menolong aku!” ucap Doni yang terlihat matanya memerah dan tangannya bergetar. Ia tampak syok mengalami persitiwa yang sama sekali diluar dugaan.
            “Bagaimana awalnya sampai kamu terjatuh ke sungai?” tanyaku.
            “Aku memang tidak hati-hati. Aku hendak bermain  ke sawah menyusuri sungai Cinulang. Padahal teman-temanku sudah memperingatkan, namun aku membandel …akhirnya aku terpeleset jatuh ke sungai!” katanya dengan suara pelan.
            “Makanya jadi orang itu jangan sombong. Kamu baru tahu sekarang, kesombongan itu tidak bisa menolong kamu saat kamu kepepet” ucapku menyindir Doni yang sudah berulangkali selalu menghina dan mengejekku.
            “Aku mohon maaf. Sekarang ternyata kamulah sahabat yang terbaik bagiku. Aku tidak akan menghina kamu lagi!”
            “Ya sudah, aku maafkan apa yang pernah kamu katakan kepadaku!” kataku seraya meninggalkan Doni yang masih dikelilingi teman-temannya.
            Aku bersyukur bisa menolong Doni. Aku jadi teringat akan ucapan ayahku, balaslah kejelekan dengan kebaikan. Aku tersenyum bisa membalas kejelekan dengan kebaikan. Padahal sebenarnya, kalai saja Doni dibiarkan dan mati tenggelam di sungai, aku bisa puas. Namun tidak demikian. “Ayah telah mengajarkan kebaikan yang sangat mulia!” ucapku dalam hati merasa bangga mempunyai ayah yang berhati mulia.***
                                                                        Bandung, 15 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar